BeritaSoroti Seleksi Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM, Kadepa: Sangat Diragukan

Soroti Seleksi Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM, Kadepa: Sangat Diragukan

ENAGOTADI, SUARAPAPUAcom — Kredibilitas hakim ad hock untuk pengadilan HAM kasus Paniai Berdarah 8 Desember 2014 yang diumumkan Senin (25/7/2022), diragukan. Soalnya, beberapa nama yang terseleksi dinilai sarat dengan konflik kepentingan, sehingga bisa berpengaruh pada putusan akhir.

Laurenzus Kadepa, Anggota Komisi I DRP Papua, mengemukakan penilaian itu menanggapi beredarnya daftar nama hakim ad hoc pengadilan HAM terpilih. Selain empat hakim yang akan bekerja di pengadilan HAM tingkat pertama, panitia seleksi juga mengumumkan empat hakim terpilih lainnya akan mengadili perkara pada pengadilan HAM tingkat pembanding.

Panitia seleksi baru rekrut delapan hakim dari rencana awal 12 hakim sebagaimana dijelaskan Andi Samsam Nganro, ketua panitia seleksi, beberapa waktu lalu.

Dalam pernyataan pers yang dikirim ke suarapapua.com, Rabu (27/7/2022) sore, Laurenzus Kadepa menyatakan,  hakim ad hoc pengadilan HAM terpilih harus benar-benar independen dan tidak memiliki latar belakang yang sarat dengan konflik kepentingan.

“Ada dugaan masyarakat dan dari Amnesty International Indonesia (AII) serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bahwa setidaknya dua hakim ad hoc terpilih yang memiliki potensi konflik kepentingan,” kata Kadepa.

Baca Juga:  Usut Tuntas Oknum Aparat yang Diduga Aniaya Warga Sipil Papua

“Terungkap bahwa salah satu hakim terpilih memiliki latar belakang sebagai instruktur di institusi TNI. Sementara, satunya lagi memiliki hubungan keluarga dekat dengan seorang jaksa. Jika ini benar, maka pengusutan kasus pelanggaran HAM berat ini sangat diragukan,” ujarnya.

Supaya menghindari tudingan miring dari publik dan persidangan bisa berlangsung baik, Kadepa berharap Mahkamah Agung harus memastikan proses seleksi calon hakim ad hoc dilakukan secara transparan dengan mengutamakan figur yang berkompeten, kredibel, independen, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan.

Diketahui, pada Senin (25/7/2022), panitia seleksi calon hakim ad hoc untuk pengadilan HAM telah mengumumkan empat hakim yang akan bekerja di pengadilan HAM tingkat pertama. Yakni Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, Sofi Rahma Dewi, dan Anselmus Aldrin Rangga Masiku.

Siti Noor Laila adalah mantan komisioner Komnas HAM RI. Sementara, Robert Pasaribu berprofesi sebagai analis hukum pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kemudian Sofi Rahma Dewi berlatarbelakang akademisi, dan Anselmus Aldrin Rangga Masiku adalah seorang advokat.

Baca Juga:  Satgas ODC Tembak Dua Pasukan Elit TPNPB di Yahukimo

Adapun empat hakim terpilih lainnya akan mengadili perkara pada pengadilan HAM tingkat pembanding, yakni Mochamad Mahin, Fenny Cahyani, Florentia Switi Andari, dan Hendrik Dengah.

Mochamad Mahin sebelumnya pernah menjadi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi.

Sebelumnya, Amirudin Al Rahab, Anggota Komnas HAM RI, mengingatkan Mahkamah Agung memilih hakim yang berpengalaman dan mengetahui seluk beluk HAM.

Lolosnya hakim ad hoc yang memiliki latar belakang yang sarat dengan konflik kepentingan disesalkan Usman Hamid, direktur eksekutif AII.

Menurut Usman Hamid, dikutip dari laman amnesty.id, semua pihak harus pastikan bahwa seleksi empat hakim ad hoc pengadilan HAM berlangsung transparan dan bebas dari kepentingan apapun.

Senada diungkapkan Fatia Maulidiyanti, koordinator KontraS, yang bahkan menyayangkan lolosnya calon hakim tidak kredibel mengingat rekam jejak aktivitas yang bersangkutan erat dengan institusi TNI.

Fatia juga menyebut pengumuman hasil seleksi nama calon hakim ad hoc tersebut janggal karena seharusnya Jumat (22/7/2022), tetapi baru diumumkan pada Senin (25/7/2022).

Tragedi Paniai Berdarah sebagai perkara dugaan pelanggaran HAM berat telah dilimpahkan berkasnya oleh Kejaksaan Agung RI ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Baca Juga:  Beredar Seruan dan Himbauan Lagi, ULMWP: Itu Hoax!

Hal itu diketahui berdasarkan Surat Perintah Jaksa Agung nomor Prin-41/A/Fh.2/05/2022 tanggal 23 Mei 2022 dan menunjuk 34 orang sebagai Tim Penuntut Umum untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dengan satu tersangka, Mayor Infanteri (Purn) IS.

Pelimpahan berkas perkara a quo berdasarkan Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa nomor B-08/F.5/Fh.2/06/2022 tanggal 9 Juni 2022 dengan nomor registrasi perkara PDS-01/PEL.HAM.BERAT/PANIAI/05/2022, nomor registrasi bukti RB-01/HAM/PANIAI /05/2022, di mana surat dakwaan disusun secara kumulatif.

Dakwaan kumulatifnya, pertama, melanggar pasal 42 ayat (1) huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, pasal 37 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan dakwaan kedua melanggar pasal 42 ayat (1) huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h, pasal 40 Undang-undang nomor 26 tahun 2000.

Tragedi 8 Desember 2014 menewaskan empat orang dan 21 lainnya menderita luka-luka akibat hujan peluru di lapangan Karel Gobai, Enarotali, kabupaten Paniai. Komnas HAM RI nyatakan tragedi tersebut sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

0
“Kami bersama AMAN Sorong Raya akan melakukan upaya-upaya agar Perda PPMHA  yang telah diterbitkan oleh beberapa kabupaten ini dapat direvisi. Untuk itu, sangat penting semua pihak duduk bersama dan membicarakan agar Perda PPMHA bisa lebih terarah dan terfokus,” ujar Ayub Paa.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.