ArtikelLegalkan Pertambangan Rakyat di Papua yang Disebut Ilegal

Legalkan Pertambangan Rakyat di Papua yang Disebut Ilegal

Oleh: John NR Gobai)*
)* Ketua Kelompok Khusus (Poksus) DPR Papua

Pertambangan adalah kebun bersama, sehingga menurut kami, jangan dirusak dan juga jangan dikotori. Sebaiknya perlu dibicarakan tentang bagaimana sebaiknya dilakukan bagi aktivitas pendulangan emas serta penambangan batuan yang selama ini dilakukan di Tanah Papua.

Terhadap hal itu dihadapkan pada beberapa solusi, yaitu dijadikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) atau dikerjakan oleh pemegang izin usaha pertambangan. Ini tentunya dengan melihat keuntungannya bagi masyarakat asli dan pengusaha asli Papua.

Jika mempertimbangkan kemampuan modal dan keahlian masyarakat adat Papua, maka yang dapat diakses oleh masyarakat adalah jika ditetapkan menjadi WPR dan diberikan Ijin Pertambangan Rakyat (IPR), sehingga diperlukan sebuah konsep pertambangan rakyat yang berkelanjutan. Artinya, ramah lingkungan dan jelas kontribusi bagi pemilik tanah serta minim dampak sosial yang negatif kepada masyarakat.

Dengan adanya ijin tersebut tentunya dapat membayar pajak untuk pendapatan asli daerah (PAD).

Saya harap kita tidak menstigma rakyat ilegal karena mereka mencari hidup, sehingga mereka mendulang apalagi kalau pendulangnya adalah OAP dan orang setempat, maka kita keliru menstigma mereka ilegal. Yang benar adalah mereka dilegalkan dan mereka dibina.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Judicial Review

Ada dua pasal yang telah diuji yakni Pasal 22 huruf e dan huruf f serta Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Minerba. Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat, ketentuan tentang WPR di dalam UU Minerba adalah sebagai wujud pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengamanahkan kepada negara untuk terlibat atau berperan aktif melakukan tindakan dalam rangka penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara.

Namun jika dikaitkan dengan Pasal 22 huruf f, justru berpotensi menghalang-halangi hak rakyat untuk berpartisipasi dan memenuhi kebutuhan ekonomi melalui kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Karena pada faktanya tidak semua kegiatan pertambangan rakyat sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.

Sedangkan terhadap pengujian Pasal 52 ayat (1) UU Minerba, Mahkamah berpandangan bahwa pengaturan tentang WPR, Wilayah Pencadangan Negara (WPN), dan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) sudah jelas dan tegas. Dimana urutan prioritasnya adalah dengan memberikan prioritas untuk menetapkan WPR terlebih dahulu, kemudian WPN, dan terakhir WUP.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dengan adanya judicial review ini, maka sudah semakin jelas keberpihakan dari pemerintah pusat terhadap penambang rakyat. Kini tugas pemerintah daerah untuk mengimplementasikan penetapan WPR dan pemberian Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) sesuai dengan batasan kewenangan yang sudah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Solusi

Pemerintah sebetulnya dengan roh Otsus yaitu perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan kepada penambang rakyat apalagi sekarang sektor ini juga sudah dikerjakan oleh orang asli Papua.

Dengan dasar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, pemerintah mestinya dapat menetapkan kembali WPR yang telah ditetapkan pada waktu lalu, tentunya dengan terlebih dahulu memetakan keberadaan aktivitasnya dan juga lokasi penambangan rakyat pada wilayah-wilayah yang telah dikerjakan sebelum ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, dan karena Perdasi Papua Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pertambangan Rakyat Daerah telah dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan telah ada Undang-Undang baru.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Oleh karena itu, pada tahun 2018 DPRP telah menyiapkan sebuah draft Perda yang telah dibahas dan ditetapkan yaitu Raperdasi tentang Pertambangan Rakyat di Papua. Hanya saja sampai hari ini belum diberikan penomoran.

Hal ini sesungguhnya adalah perintah Undang-Undang, sehingga tidak dapat ditawar-tawar, mutlak harus dilakukan oleh pemerintah provinsi Papua atau kabupaten/kota di Papua dan juga melakukan pemetaan untuk aktivitas yang dilakukan di atas tahun 2009 dan sedang jalan, dalam rangka memformalkan tambang rakyat.

Untuk itulah saya mengusulkan agar kegiatan masyarakat menambang di Korowai, Pegunungan Bintang, Keerom, Mamberamo, Supiori, Waropen, Tolikara, Mimika, Paniai, dan Nabire sebaiknya dilegalkan menjadi tambang rakyat.

Dalam rangka merealisasikan hal ini, Dinas ESDM Papua harus ditugaskan mengurusnya sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021, yang antara lain mengurus perubahan status kawasan hutan, memetakan wilayah (WPR), serta mengusulkan kepada Menteri ESDM menetapkan WPR, kemudian mengeluarkan IPR kepada pemilik tanah, dan membina mereka. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.