Liberalisasi PT, Mahalnya Biaya Kuliah dan Minimnya Tindakan Afirmatif Bagi Mahasiswa Papua

0
959

Oleh: Manio Nafaro)*
)* Penulis adalah pemerhati isu demokrasi dan keadilan sosial di Tanah Papua

Prof. Iwan Pranoto, M.Sc,. Ph.D., Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB), saat menyampaikan konsep pendidikan Perguruan Tinggi (PT) masa depan di dalam Forum Guru Besar ITB, memperingatkan dunia pendidikan tinggi bahwa ilmu pengetahuan adalah warisan bersama peradaban manusia. Namun faktanya, kapitalisme yang telah berada pada tahap termaju memberikan efek berupa tertutupnya ruang-ruang publik karena kepentingan lain, termasuk pendidikan, dan ini terjadi terutama di negara-negara dunia ketiga. Tema yang diusungnya di forum itu yakni, “Meng-common-kan Pendidikan Masa Depan,” (edukasi.kompas.com, 2 September 2022).

Di forum itu, dia menjelaskan, “common” yang dimaksud ialah kondisi ideal dimana setiap orang dapat mengakses sumber daya yang ada. “Di Indonesia common harus diwujudkan melalui tiga hal, yakni: ruang, komunitas, dan aturan, yang masing-masing harus berjalan beriringan”. Tentang ruang pendidikan tidak menjadi masalah, namun yang patut dipertanyakan adalah tentang komunitas dan aturan. Menyangkut komunitas dikatakannya, “Apakah yang mengakses pendidikan di Indonesia spektrumnya masih seluas warga Indonesia keseluruhan atau semakin menyempit.” Menyangkut aturan dikatakannya, “Apakah aturan yang dibuat telah memberikan tindakan-tindakan afrmatif untuk membuat setiap orang dapat terlibat secara aktif atau tidak”. Sebab menurutnya penguasaan pengetahuan adalah warisan bersama peradaban manusia, oleh karena itu, “Kita harus berani menulis ulang masa depan kita dan masa depan pendidikan kita.”

Menarik menyimak apa yang dikatakan Guru Besar ITB itu tentang common-pendidikan, sebab sudah bukan rahasia lagi bahwa liberalisasi PT atau swastanisasi kampus adalah wujud nyata kapitalisme yang mulai dirasakan rakyat Indonesia. Subsidi dari pemerintah akan semakin dikurangi dan kampus-kampus dibiarkan mencari jalan sendiri untuk mencukupi kebutuhan uang demi penyelenggaraan pendidikan di masing-masing PT. Akibatnya jelas, biaya PT yang setiap tahun semakin mahal akan memberatkan mahasiswa yang tidak mampu. Jika Indonesia tidak berani menulis ulang masa depan pendidikannya maka pengetahuan yang merupakan warisan peradaban manusia hanya akan menjadi milik orang-orang yang bisa membayar mahalnya harga pendidikan. Dan lambat-laun spektrum pendidikan semakin mengecil, tidak seluas keseluruhan warga Negara Indonesia.

Johanes Sutanto di Kompas (kompas.com, 31 Agustus 2022) menulis bahwa liberalisasi pendidikan sudah berjalan sejak lama di Indonesia dan tidak perlu ditakuti sebab pemerintah dan khususnya kementrian pendidikan di Indonesia akan sangat selektif dan akan menjalankan liberalisasi ini dengan adaptif terhadap nilai-nilai ke-Indonesia-an. Menurutnya, khususnya pendidikan tingkat menengah dan atas sudah lama mengadopsi liberalisasi, yakni terjadi sejak Indonesia ikut serta dalam forum organisasi perdagangan dunia World Trade Organization (WTO). Sedangkan liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesai terjadi sejak Indonesia menjadi anggota WTO di tahun 1994 dan lebih kongkret dengan menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS). Kemudian GATS memperlakukan pendidikan tinggi sebagai komoditas yang diberikan landasan hukum di Indonesia. Yakni, UU No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan WTO, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, peraturan pemerintah (PP) No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum, dan UU No. 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. “Liberalisasi pendidikan di Indonesia dijalankan dengan adab dan bijak sebagai proses adaptasi yang tak terelakkan atas dampak dan kehadiran globalisasi,” demikian tulis Johanes Sutanto.

ads

Perlu memberi sedikit catatan terhadap pikiran Johanes Sutanto yang menganggap Indonesia mampu beradaptasi dengan liberalisasi pendidikan. Sepintas terkesan dia menganggap bahwa orang-orang di Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang juara satu dalam mengusung paham liberal atau negara liberal Barat lainnya tidak beradab dan tidak bijaksana. Bisa jadi dianggapnya kapitalisme itu hanya soal beradab tak beradab atau mungkin bermoral-tak bermoral, dan Indonesia akan sangat mampu membuat ‘jinak’ liberalisme sebagai bagian dari keniscayaan globalisasi.

Coba kita tengok sedikit fakta di AS yang ditulis oleh Syaiful W Harahap berjudul, “Biaya Kuliah Mahal Bikin Mahasiswa di Amerika Bangkrut”. Harahap memuat pernyataan kegelisahan anggota kongres AS dari Partai Republik, Greg Murphy yang mengatakan, “Biaya kuliah jelas terlalu tinggi. Kita jelas tidak bisa terus begini. Kenaikan biaya kuliah, seperti saat ini, membuat mahasiswa kita bangkrut”. Merespon hal itu, para politisi AS, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat bersepakat, “Pendidikan tinggi di Amerika sangat membutuhkan reformasi, tapi cara yang mesti ditempuh masih belum jelas”. Pernyataan anggota kongres AS itu terkait dengan kenaikan biaya kuliah akibat Covid-19, dan jelas ada banyak hal yang membedakan Indonesia dan AS. Tapi pelajaran yang mau kami tunjukan yakni, manausia di AS juga sangat beradab, buktinya ada anggota kongres yang sangat berempati dengan kesulitan yang dialami mahasiswa AS bahkan mahasiswa internasional yang kuliah disana. Kemudian, dengan fakta bahwa para anggota kongers AS sampai berpikir untuk lakukan reformasi sistim pendidikan tinggi di AS, memberi sedikit gambaran bahwa PT di AS yang liberal pun tidak bebas dari masalah mahalnya pendidikan. Atau mungkin saja leberalisme sangat berkontribusi terhadap mahalnya biaya pendidikan disana.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Mari kita kembali ke persoalan di Indonesia. Guru Besar Sains Manajemen ITB, Togar M Simatupang dalam artikelnya, “Manajerialisme di Perguruan Tinggi,” kompas.id, 7 Februari 2022, mengatakan bahwa rendahnya otomi kampus merupakan faktor utama yang membuat lemahnya inovasi di PT. Dan hal ini diakibatkan langkah pemerintah yang menganut neoliberalisme – liberalisme model baru – di bidang pendidikan tinggi dan inovasi manajerialisasi PT. Dengan mengadopsi liberalisasi PT maka PT dikatgorikan sebagai bentuk jasa yang dapat diperjual- belikan, dan ini sejalan dengan agenda reformasi global Bank Dunia terhadap PT melalui privatisasi, deregulasi, dan marketisasi. UU No. 12 tahun 2012 tentang PT, yang mengatur tentang Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) mengarahkan PT untuk menyerahkan tujuan dan misinya pada budaya komersialisasi dan pertukaran menurut mekanisme pasar. “Institusi pendidikan saat ini sibuk mencari keuntungan dari pengajaran, penelitian, dan semua kegiatan lain di kampus, antara lain menawarkan perusahaan mensponsori kursus, membawa penemuan ilmiah universitas ke pasar, bahkan beriklan di kampus,” tulis Togar M Simatupang. Konsep manajerialisme diadopsi oleh PT, apakah itu bentuk struktur organisasi, teknologi, praktek manajemen, sampai dengan nilai-nilai yang lebih umum ditemukan di sector bisnis swasta. Pimpinan di kampus bertindak sebagai manajer, harus memastikan institusi mereka berwirausaha, adaptif dan responsive terhadap pasar.

Dengan mengombinasikan upah lulusan SMA dan upah lulusan sarjana dari data BPS dengan data biaya studi 30 perguruan tinggi negeri maupun swasta, Kompas (kompas.tv 29 Juli 2022) prediksi bahwa orang tua akan semakin sulit biayai kuliah anaknya. Orang tua yang hanya lulusan SMA tidak akan mampu kuliahkan anaknya yang lahir pada tahun 2022 dan berencana kuliah jenjang S1, selama 8 semester, di tahun 2040. Meski untuk maksud itu ia telah menabung 20 persen dari penghasilan per bulannya selama 18 tahun sejak kelahiran anaknya. Sebab kenaikan upah lulusan SMA hanya 3,8 persen per tahun, sementara biaya kuliah masa depan diperkirakan naik 6,03 persen per tahun. Saat anaknya akan kuliah di tahun 2040, tabungan orang tua itu hanya berjumlah Rp 117,2 juta. Dimana jumlah tabungan itu hanya mampu menutupi total biaya kuliah sebesar 41,2 persen. Dengan kata lain, anaknya terpaksa berhenti kuliah pada semester 3 karena uang tabungan sudah habis. Sedangkan orang tua lulusan sarjana, jumlah tabungan selama 18 tahun kedepan sebesar Rp 299,2 juta, hanya cukup kuliahkan anaknya sampai semester 6 saja. Karena total tabungannya hanya 69,6 persen dari total biaya kuliah saat itu, dengan asumsi kenaikan gaji orang tua lulusan sarja sebesar 2,7 persen per tahun.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Lantas bagaimana dengan biaya kuliah dimasa sekarang? Untuk biaya kuliah tahun 2022 Kompas menghitung rata-rata biaya kuliah selama 8 semester per mahasiswa mencapai Rp 149.885.850 juta. Dengan metode analisis yang sama, orang tua lulusan SMA hanya mampu mencapai akumulasi tabungan selama 18 tahun, dari tahun 2004 – 2021 sebesar Rp 72.534.314 juta. Artinya kemampuan orang tua ini hanya sebesar 48,4 persen dari total biaya kuliah S1 pada tahun ini, dan anaknya dapat kuliah hanya sampai semester 4 saja. Sedangkan orang tua lulusan sarjana memiliki akumulasi tabungan 18 tahun sebesar Rp 156.553.949 juta alias 104,5 persen dari total biaya kuliah yang dibutuhkan selama 8 semester. Jadi hanya orang tua lulusan sarja, yang telah menabung sejak 18 tahun lalu sajalah yang mampu kuliahkan anaknya dari tahun 2021 sampai lulus pada tahun 2024.

Menanggapi analisis Kompas tentang naiknya biaya pendidikan, theconversaton.com 17 Agustus 2022, menerbitkan artikel yang cukup komprehensif mengurai faktor penyebab dan cara mengatasinya jika kampus ingin eksis. Menurut artikel dimaksud, mahalnya biaya kuliah itu terkait erat dengan biaya operasional kampus yang harus dikeluarkan tiap tahun. Khusus di kampus swasta, bisa mencapai 85 persen dari total biaya, dimana pengeluaran terbesar yakni gaji dosen, alat praktikum, langganan jurnal serta sarana-prasarana lain. Jadi naiknya biaya setiap tahun tidak bisa dipungkiri, ini terkait dengan kebutuhan meningkatkan mutu agar predikat kampus pun akan naik. Setiap kampus harus berupaya memenuhi standar mutu dan akresditasi yang ditetapkan pemerintah. Misalnya, membangun infrasturtur kampus yang bagus, memiliki dosen tetap yang lebih banyak, kualitas dosen harus ditingkatkan, dan hasil penelitian dosen-dosennya harus banyak dikutip atau dirujuk pada jurnal internasional.

Dalam artikel yang sama dikutip penjelasan Totok Soefijanto yang merupakan rekan senior di Center for Indonesia Policy Studies dan juga mantan wakil rektor Universitas Paramadina. “(Kampus) harus memperkuat kapasitas fiskalnya (kemampuan keuangannya). Kalau tidak, bebannya akan ditimpakan ke mahasiswa”. Agar mahasiswa tidak memikul semua biaya operasional pendidikan, mau-tidak mau setiap PT harus berupaya agar meningkatkan kemampuan keuangannya, apakah itu melalui bantuan atau model bisnis yang dikembangkan setiap PT.

Pada perguruan tinggi swasta (PTS) beban biaya operasional ini akan lebih terasa dibanding perguruan tinggi negeri (PTN), sebab pemerintah masih memberi subsidi bagi PTN, semenatra di PTS harus mencari sumber pendanaan sendiri, dimana uang kuliah dari mahasiswa masih menjadi tumpuan utama. Artikel yang sama juga meengutip penjelasan Elisabeth Rukmini, Manajer Pengembangan Strategis di Binus University, di PTS 90 persen dana operasional berasal dari tuition fee alias biayah kuliah. “Nah, tapi kebanyakan PTS di seluruh Indonesia masih tuition- dependent (masih menggantungkan pemasukan pada biaya kuliah mahasiswa). Yang paling sehat lah, paling rendah pun ketergantungan pada tuition fee mungkin masih 90% (dari biaya operasional). Sumber lain? Ya hanya 10%”.

Menurut Totok Soefijanto, jalan untuk tidak membebankan sebagian besar biaya operasional pergurun tinggi kepada mahasiswa, maka perguruan tinggi akan melakukan paling tidak dua strategi: Diversifikasi sumber pendanaan, yang artinya perguruan tinggi harus berbisnis dengan berbagai metode; atau kalau tidak lakukan diversisifikasi maka opsinya adalah perguruan tinggi harus melakukan efisiensi pengeluaran.

Namun lama-kelamaan pendidikan tinggi akan diakses hanya oleh orang yang memiliki kesanggupan saja. Sebab biaya pendidikan akan terus naik, setidaknya 7 persen, terutama di PTS, padahal pemerataan pendidikan merupakan visi perguruan tinggi. Skema beasiswa Pemda atau beasiswa Bidikmisi pun tidak akan cukup. “Kalau biaya setiap tahun (naik) setidaknya 7%, terutama di PTS, dan nggak bisa dijangkau orang kebanyakan, makin omong kosong ide pemerataan itu. Terobosan harus dimulai dari model bisnisnya, model macam apa yang bisa menjamin pemerataan ke segenap orang Indonesia,” demikian kata Elisabeth Rukmini.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Menurut BPS di tahun 2022 ini, sebagaimana dimuat detikcom (22 Juli 2022) ada 3.115 perguruan tinggi yang khusus berada di bawah Kemendikbudristek, dimana lebih dari 90 persen (2.990) diantaranya merupakan PTS dan 10 persen (125) PTN. Sedangkan total mahasiswa yang berkuliah pada seluruh kampus di bawah Kemendikbudristek mencapai 7.369.009 orang, terdiri dari 2.994.015 orang kuliah di PTN dan 4.375.994 orang kuliah di PTS. Kemudian ada 80.653 dosen mengajar di PTN dan 182.901 dosen mengajar di PTS. Jumlah perguruan tinggi, mahaiswa, dan dosen ini belum termasuk yang tidak atau belum berada di bawah Kemendikbudristek.

Gratiskan Pendidikan Tinggi Bagi Seluruh OAP

Berdasarkan data Indikator Kesejahteraan Sosial Utama (Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia), kepala rumah tangga lulusan perguruan tinggi tahun 2019 di Papua adalah 9,2 persen, sedangkan Papua Barat adalah 17,2 persen. Kemudian yang lulusan SMA di Papua yakni 24,1

persen dan yang lulusan SMA di Papua Barat yakni 34,0. Jadi yang selebihnya adalah lulusan SMP dan SD atau tidak memiliki ijazah. Artinya, sebagian besar kepala rumah tangga (orang tua) di tanah Papua hanya lulusan SMA.

Menurut Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah XIV/Papua dan Papua Barat, Dr Suriel S Mofu, hingga tahun 2017/2018 ada 89 persen dari 500 ribu yang belum melanjutkan pendidikan ke PT, dimana hal ini disebabkan oleh alasan sangat klasik yakni ketidakmampuan secara ekonomi (hidayatullah.com, 25 April 2018). Mantan Rektor Unipa itu mengatakan bahwa jika ada regulasi khusus yang memperoteksi kelangsungan pendidikan anak- anak OAP, presentasi mereka yang kuliah akan meningkat.

Dr. Suriel S Mofu dalam kesempatan lain juga mengungkapkan kepada bisnis,com 27 Oktober 2019 bahwa dari hasil pendataan Lembaga Layanan Dikti Papua dan Papua Barat di tahun akademik 2019/2020 ada puluhan ribu OAP kurang mampu yang sementara kuliah di 60 PTS di tanah Papua yang teramcam putus kuliah karena tidak mampu bayar biaya kuliah. Dimana pendapatan orang tua mereka di bawah Rp 1 Juta. Kemudian berdasarkan data Kopertis Wilayah XIV Papua dan Papua Barat tahun akademik 2017/2018 sebanyak 37.000 mahasiswa OAP tidak dapat melanjutkan sekolah di 60 PTS yang tersebar di tanah Papua karena tidak punya uang secara pribadi untuk membayar ongkos pendidik PT.

Dari sedikit data dan fakta di atas ada gambaran bahwa di tanah Papua pun liberalisasi PT dan mahalnya biaya pendidikan tinggi berkontribusi bagi terbatasnya akses OAP melanjutkan sekolah ke PT. Dan sekaligus memberi gambaran bahwa pemerintah Pusat dan pemerintah Indonesia di tanah Papua tidak memiliki konsep jalan keluar afirmatif yang lebih progresif agar masalah pendidikan tinggi dan masalah pendidikan secara umum bagi OAP dapat diatasi.

Selama puluhan tahun sejak Papua digabungkan dengan Indonesia atau minimal dalam 20 tahun Otsus Jilid I dijalankan, pendidikan selalu saja menjadi salah satu masalah pokok yang tidak terselesaikan. Padahal Otsus, pemekaran atau DOB, percepatan pembangunan, dan berbagai tetek- bengek kebijakan Jakrta itu tujuannya hanya fokus untuk atasi masalah-masalah pembangunan. Dimana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi adalah dimensi pokok dari persoalan pembangunan.

Skema beasiswa, baik yang ditawarkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah di tanah Papua jelas-jelas tidak akan cukup untuk meng-cover seluruh siswa dan mahasiswa OAP sebagai warga negara yang jelas memiliki hak untuk sekolah. Dalam hemat kami, konsepsi skema beasiswa yang ada saat ini pun tidak cukup adil sebab memberikan peluang hanya kepada sedikit OAP, apalagi kalau tanpa manajeman yang baik, dan belum diukur seberapa besar kontribusinya terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia OAP. Hasil tanah Papua sangat kaya, kalau hanya sekedar gratiskan biaya pendidikan bagi seluruh OAP dari PAUD sampai tingkat pendidikan tinggi mestinya bukan persoalan yang tidak bisa diwujudkan dengan segera. (*)

Artikel sebelumnyaSiapa Pencetus Nama Melanesia?
Artikel berikutnyaPolres Jayawijaya Berhasil Amankan Minuman Keras Jenis CT dan Ballo