Pasca Insiden Berdarah di Wamena, Benny Wenda Desak Perhatian PBB

0
1689

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Ucapan belasungkawa disampaikan Benny Wenda, presiden pemerintahan sementara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menyusul insiden berdarah di Wamena, kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, 23 Februari 2023, yang menyebabkan korban meninggal dunia dan luka-luka oleh aparat keamanan.

Dilansir website resmi ULMWP, Wenda mengungkapkan kesedihannya begitu mendengar kejadian tragis yang menimpa puluhan orang Papua di Wamena, kampung halamannya sesaat setelah kerusuhan pasca isu penculikan seorang anak Papua yang memicu konflik antara masyarakat sipil dan aparat bersenjata.

“Saya menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada keluarga para korban dan berdoa untuk pemulihan yang cepat bagi warga yang luka-luka,” kata Benny Wenda, Sabtu (25/2/2023).

Kasus penembakan oleh aparat Indonesia terhadap masyarakat sipil Papua yang tak terukur hingga korban berjatuhan itu menurutnya tak hanya terjadi pada 23 Februari 2023 saja. Tetapi sudah berulangkali terjadi. Karena itu, Wenda mendesak Komisaris Tinggi HAM PBB segera kunjungi West Papua.

Tragedi berdarah terbaru ini menurut Benny, bagian dari sejarah panjang pembantaian rakyat West Papua. Setelah Paniai berdarah tahun 2014, Abepura berdarah tahun 2000, dan Wamena berdarah tahun 2003.

ads
Baca Juga:  KKJ Ajukan Perlindungan Saksi dan Korban Bom Molotov Kantor Jubi

“Kini kita melihat Wamena berdarah baru di tahun 2023. Kapan dunia akan berkata cukup?. Di manakah para pemimpin Pasifik dan Melanesia?. Lebih dari 500.000 dari kami telah terbunuh sejak mereka menginvasi tanah kami. Kami adalah korban genosida. Kisah kekuasaan Indonesia atas West Papua diceritakan dalam darah penduduk asli,” kata Wenda.

Benny Wenda menegaskan, kata-kata penghukuman saja tidak cukup tanpa tindakan nyata. Menurutnya, Indonesia akan terus bertindak dengan impunitas total di Tanah Papua.

“Rakyat West Papua telah berulangkali menunjukkan bahwa kita tidak aman dibawah kekuasaan Indonesia,” ujarnya.

Dengan dasar itu, Benny Wenda menyerukan adanya perhatian dunia internasional untuk menangani persoalan kemanusiaan yang menimpa warga asli Papua.

“Dunia harus campur tangan. Kami sangat membutuhkan kunjungan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, sebagaimana janji Indonesia untuk memfasilitasi pada tahun 2018,” ujar Benny.

“Ini bukan hanya permintaan saya, tetapi permintaan lebih dari 80 negara, termasuk anggota Forum Kepulauan Pasifik, Organisasi Negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik, Spanyol, Belanda, dan Uni Eropa.”

“Jika Indonesia terus menggunakan taktik penundaan, masyarakat internasional harus memaksa mereka [Indonesia] untuk mengizinkan PBB masuk [di West Papua]. Tidak ada alasan lagi,” tegasnya.

Baca Juga:  Melihat Kompleksitas Pelanggaran HAM Papua, GA Amnesty Akan Gelar Seminar

Satu-satunya cara untuk menghentikan pertumpahan darah di West Papua, kata Benny, Indonesia menarik pasukannya dan mengakhiri pendudukan brutal mereka.

Pemberlakuan ‘Otonomi Khusus’ selama ini menurut Wenda, hanya membawa lebih banyak pembunuhan dan malapetaka bagi rakyat Papua.

“Otonomi macam apa yang kita miliki jika tentara Indonesia membunuh anak-anak di Paniai tahun 2014, hanya pengadilan Indonesia yang membebaskan mereka delapan tahun kemudian?. Satu-satunya otonomi nyata yang ada adalah otonomi tentara Indonesia untuk membunuh kami dengan darah dingin. Mengakhiri itu satu-satunya keadilan sejati akan datang melalui pembebasan,” tandasnya.

Data korban yang diperoleh Benny Wenda, dalam tragedi berdarah itu menewaskan Ramot Siagian (28), suku Batak (luka parang di kepala belakang, luka panah di punggung); Albert Sitorus (26), suku Batak (luka parang di kepala belakang, luka panah di punggung); Stepanus Wenda (Kepala Desa) dari distrik Kelokbeam, kabupaten Lanny Jaya, tertembak di perut; Alfredo Elopore luka tembak di leher; Korwa Wanimbo luka tembak di punggung; Tinus Yelipele luka tembak di paha kanan; Temias Pokneangge dan Vicky Kogoya luka tembak di ketiak.

Baca Juga:  Political Will dan Konstelasi di Papua Rendah, ASHTMP: Salah Pilih, Susah Pulih!

Terpisah, Theo Hesegem, direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, mengungkapkan jumlah korban tewas dalam kerusuhan di Wamena mencapai 10 orang. Delapan diantaranya mengalami luka tembak.

“Korban jiwa sebanyak 10 orang, dua diantaranya masyarakat pendatang akibat kena panah. Sementara delapan korban orang asli Papua meninggal akibat luka tembak,” kata Theo.

Berdasarkan identitas korban tewas tertembak sebagian berasal dari kabupaten Lanny Jaya, Nduga, dan Yahukimo. Kata Theo, mereka mengalami luka tembak di bagian leher, dada, punggung dan bagian tubuh lainnya.

Setelah memfasilitasi proses mediasi yang berlangsung di Kantor Dinas Otonom Wamena, Jumat (24/2/2023) malam, disepakati penguburannya dilakukan secara massal.

Sembilan jenazah dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Sinakma, Wamena, Sabtu (25/2/2023) siang.

Sedangkan jenazah Alberth Sitorus dan Ramot Siagian telah diberangkatkan ke kampung halamannya.

Sementara itu, 17 orang lainnya luka berat dan ringan tengah menjalani perawatan.

Pewarta: Onoy Lokobal
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaOknum Polisi Penembak Yulianus Tebai di Dogiyai Harus Ditangkap
Artikel berikutnyaMenggali Potensi Unggulan di Kabupaten Dogiyai, Deiyai, Paniai dan Nabire