JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Hendrikus ‘Franky’ Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Senin (13/3/2023) pagi melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.
Gugatan ini menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL).
Hendrikus Woro merupakan pemimpin marga Woro, bagian dari Suku Awyu. Marga Woro mendiami kampung Yare, distrik Fofi, kabupaten Boven Digoel.
Gugatan diajukan ke PTUN Jayapura lantaran pemerintah daerah diduga menutup informasi tentang izin-izin PT IAL yang konsesinya akan mencaplok wilayah adat mereka.
“Kami sebagai pemilik wilayah adat tidak mendapatkan informasi tentang rencana aktivitas perusahaan. Kami juga tidak dilibatkan saat penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal),” kata Franky.
Masyarakat suku Awyu khususnya marga Woro yang wilayahnya kini terancam investasi perkebunan kelapa sawit, sehingga mendatangi PTUN untuk memasukan gugatan terhadap izin yang dikantongi TP IAL segera dicabut agar masyarakat suku Awyu bisa hidup aman dan damai.
“Dampak yang akan timbul ini terutama pencemaran air, karena air adalah sumber kehidupan bagi kami masyarakat asli. Kedua dampak lingkungan yang akan terjadi yaitu masyarakat yang hidup ketergantungan pada alam tempat kami tinggal, ketika hutan itu digusur kehidupan kami akan terancam, karena selama ini kami bergantung hidup dari alam yang ada, sehingga kami mohon majelis hakim untuk memerintahkan pencabutan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL,” tuturnya.
Di tempat yang sama, Emanuel Gobay, kuasa hukum dari LBH Papua, menjelaskan, kedatangan masyarakat suku Awyu ingin memasukan gugatan menyangkut izin lingkungan hidup.
Kata Emanuel, pengajuan gugatan mengingat pemerintah daerah diduga menutup informasi tentang izin PT IAL yang konsesinya akan mencaplok wilayah adat suku Awyu.
“Masyarakat suku Awyu khawatir beroperasinya perusahaan sawit akan merusak lahan dan hutan adat mereka, seperti yang terjadi di daerah lainnya di Papua. Wilayah yang masuk dalam konsesi PT IAL itu bukan cuma tempat suku Awyu mencari sumber pangan, obat-obatan, dan penghasilan ekonomi, tetapi juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua. Bagi masyarakat adat, hutan juga menjadi identitas budaya dan sumber pengetahuan,” ujar Gobay.
Emanuel berharap permohonan gugatan itu dapat dikabulkan, sehingga dapat mencabut izin-izin lain yang diberikan kepada para investor (perusahaan) terutama PT IAL yang nyata-nyata merugikan pemilik wilayah adat.
“Sudah ada sejumlah contoh hilangnya hutan-hutan adat di Papua karena pemerintah memberikan izin untuk perkebunan sawit dan industri kayu. Pola-pola seperti ini semestinya dihentikan, karena hanya akan semakin meminggirkan masyarakat adat Papua. Hutan Papua juga merupakan hutan hujan terluas yang tersisa di Indonesia,” ujar Gobay, kuasa hukum dari Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua.
Diketahui, laporan Greenpeace “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua” mencatat, sejak 2017 PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektare .
Perusahaan ini diduga dikendalikan oleh perusahaan asal Malaysia All Asian Agro, yang juga memiliki perkebunan sawit di Sabah dibawah bendera perusahaan East West One. PT IAL memperoleh lahan tersebut dari PT Energy Samudera Kencana, anak perusahaan Menara Group yang sempat bakal menggarap proyek Tanah Merah di kabupaten Boven Digoel.
Pewarta: Agus Pabika
Editor: Markus You