ArtikelFenomena Jual-Beli Marga Papua: Telanjangi Diri Sebelum Punah

Fenomena Jual-Beli Marga Papua: Telanjangi Diri Sebelum Punah

Oleh: Benyamin Lagowan)*
)* Anak adat klan Lagowan-Matuan dari sub suku Hubula, Wamena, Lapago

Pengantar

Di Papua akhir-akhir ini lagi marak pemberian gelar anak adat dan nama marga kepada orang luar. Seolah roh Otonomi Khusus (Otsus) yang hadir menyebabkan Orang Asli Papua (OAP) disuguhi banyak uang, buat kita makin terlena dan mengidap penyakit mental instan.

Saya ikuti selama 10 tahun terakhir telah terjadi beberapa pemberian gelar anak adat dan marga. Meski tidak secara kasat mata terjadi jual beli gelar anak adat dan marga.

Tetapi bila melihat motif dibalik pemberian itu yang berkorelasi dengan motif politik dan pemilu maka, dapat diduga memiliki unsur tukar tambah rupiah di belakangnya.

Praktek ini telah menjadi semacam fenomena yang makin sering terjadi akhir-akhir ini di Papua. Umumnya menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Beberapa Kasus

Sejak 2010 hingga 2020 lalu, setidaknya ada beberapa kasus pemberian gelar anak adat dari suku-suku asli Papua kepada pihak luar. Yang mana para penerimanya kebanyakan 100% berlatar belakang politisi.

Pertama, pemberian gelar anak adat kepada Komarudin Watubun saat akan berpasangan politik dengan Aleks Hesegem oleh suku-suku di Port Numbay jelang Pilkada Gubernur Papua 2006/2012.

Kedua, pemberian marga “Wally” kepada dokter John Manangsang saat jelang Pilkada kabupaten Jayapura 2014/2018 oleh suku Wally di Sentani.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Ketiga, pemberian marga Asso-Lokobal di Wamena kepada Jhon R. Banua sebelum/menjelang Pilkada Jayawijaya 2014/2018 oleh oknum marga klan Asso Lokobal.

Keempat, pemberian gelar anak adat kepada Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu oleh Ramses Ohee pada tahun 2019 di Sentani.

Kelima, penyataan dukungan kepada Johny Banua Rouw sebagai anak adat Yapen ketika terpilih menjadi ketua DPRP 2019.

Keenam, pemberian gelar marga Numberi oleh oknum klen Numberi kepada Menteri Sosial Tri Rismaharini tahun 2023.

Mitologis dan Filosofis “Marga”

Marga, keret atau fam merupakan identitas sosial budaya tiap entitas orang asli Papua. Marga menjadi simbol harga diri, simbol sakralitas dan harkat martabat OAP sejak leluhur.

Dalam marga dan keret terdapat nilai, fungsi dan tujuan filosofis hidup OAP sejak zaman leluhur marga itu muncul atau terbentuk pertama kali. Usianya sudah puluhan ribu tahun.

Dalam tata nama nama keret terdapat makna filosofis, mitologis asali yang pure, nature dari perjalanan nenek moyang suatu marga.

Artinya, terdapat ratusan generasi yang pernah hidup dengan jaga nama baik marga itu. Hidup dengan keaslian marga itu. Hidup dan mati mempertahankan eksistensi marga itu.

Buah daripada perjuangan mereka, hari ini generasi kita –yang baru sekitar 70-an tahun bersama Indonesia– masih mewarisi marga itu.

Lantas, pertanyaannya: apakah pantas kita menjual, memberi, menyerahkan, atau menggadaikan marga itu demi secuil hadiah, jabatan, rupiah dan lain-lain kepada orang asing?

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Pantaskah OAP menyerahkan marga mereka kepada suku bangsa di luar dirinya dan komunitas sosial budaya tempatannya? Bahkan mereka yang secara struktur kelas sosial ekonomi orang berada, kaum elit, politisi dan pejabat negara?

Dulu, para leluhur selalu menjaga dengan bangga tiap keretnya. Selalu merasa terhormat dengan famnya. Tidak pernah merebut, menjual atau menolak dan melepaskan marga mereka.

Mereka menghidupi dan menjalani penamaan marganya dengan bangga. Karena ada nilai filosofis dan sosiologis dalam mitologis famnya.

Mitologi Marga “Lagowan”

Sekedar contoh: marga saya “Lagowan” memiliki mitologinya sendiri.

Dikisahkan menurut orang tua, marga ini terjadi, berawal dari perjalanan seekor babi yang tiba-tiba muncul di salah satu kampung, di sekitaran kota Wamena yang kemudian babi itu menjelma menjadi seorang manusia.

Manusia itu disebut sebagai manusia bermarga Lagowan yang pertamakali muncul. Sejak saat itu marga Lagowan dipakai secara langsung untuk kami. Anak keturunan manusia itu diberi marga Lagowan dan terus dipakai turun temurun hingga saat ini.

Marga Lagowan dalam bahasa dan sastra orang Wamena, berarti karakter orang yang sukar menerima sesuatu begitu saja. Orang yang suka bertanya berulang-ulang; orang yang kritis; orang yang tidak bisa begitu saja mau menerima argumen atau pandangan orang lain secara gamblang. Tidak mudah terpengaruh. Tidak suka ikut-ikutan.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Itulah mengapa dalam kehidupan saya sejak kecil, ketika ada orang tua yang berdiskusi dengan saya sering katakan, “Anak ini dikasih tahu tidak bisa dengar, harus tanya/bicara ulang-ulang baru dengar/mengerti”. Ada juga sering katakan, “Kamu ini keras kepala sekali, Lao’wan, jadi tanya terus kah?”.

Ini arti mitologis dan filosofis marga saya. Belum puluhan-ratusan bahkan ribuan marga lainnya di Wamena dan Papua yang memiliki historinya masing-masing.

Kesimpulan

Dengan arti seperti itu, bila ada praktek jual beli marga saat ini, maka secara langsung kita telah menyerahkan, membunuh dan mematikan roh, spirit dan nilai luhur yang berada dibalik makna marga masing-masing.

Kita telah kehilangan jati diri, tidak mempunyai roh dan roh itu berpindah. Kita menjadi manusia tanpa roh, menjadi manusia asing dan tercerabut dari akar historis peradaban leluhur.

Apa jadinya jika leluhur moyang murka atas perilaku kita? Kutuk, musibah dan derita tentu akan terus menerus datang silih berganti. Besar kemungkinan kita akan punah satu per satu hingga punahnya marga secara kolektif yang artinya punahnya OAP yang makin menyata akhir-akhir ini.

Cukup sudah jangan kita jual semua! Mau jadi apa bangsa ini dan masih percayakah kita nubuatan IS Kijne? (*)

Jayapura, 25 Maret 2023

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan

0
Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan SORONG, SUARAPAPUA.com --- Bupati Sorong Selatan, Papua Barat Daya, didesak untuk segera mencopot jabatan kepala dinas PUPR karena diduga telah melanggar kode etik ASN. Dengan menggunakan kemeja lengan pendek warna kuning dan tersemat lambang partai Golkar, Kadis PUPR Sorong Selatan (Sorsel) menghadiri acara silaturahmi Bacakada dan Bacawakada, mendengarkan arahan ketua umum Airlangga Hartarto dirangkaikan dengan buka puasa di kantor DPP Golkar. Obaja Saflesa, salah satu intelektual muda Sorong Selatan, mengatakan, kehadiran ASN aktif dalam acara silatuhrami itu dapat diduga terlibat politik praktis karena suasana politik menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilaksanakan secara serentak tanggal 27 November 2024 mulai memanas. “ASN harus netral. Kalau mau bertarung dalam Pilkada serentak tahun 2024 di kabupaten Sorong Selatan, sebaiknya segera mengajukan permohonan pengunduran diri supaya bupati menunjuk pelaksana tugas agar program di OPD tersebut berjalan baik,” ujar Obaja Saflesa kepada suarapapua.com di Sorong, Sabtu (20/4/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.