PolhukamDemokrasiPusaka Rilis Laporan: “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran”

Pusaka Rilis Laporan: “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran”

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka) menemukan 26 kasus yang diduga melanggar hak atas kebebasan berekspresi yang terjadi meluas di berbagai daerah di Tanah Papua: Jayapura, Merauke, Nabire, Wamena, Jayawijaya, Manokwari, Kaimana, dan Sorong, sepanjang tahun 2022.

Aksi protes terhadap kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan pembentukan daerah otonom baru (DOB), dan menyuarakan ketidakadilan, dihadapi dengan pembubaran, kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi, yang melibatkan aparat keamanan negara Polri dan TNI dengan bertindak represif.

Franky Samperante, direktur eksekutif Yayasan Pusaka, mengungkapkan tindakan represif tersebut melanggar konstitusi hukum, yakni Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dan Peraturan Kapolri nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Dalam kasus ini, Pusaka mencatat terdapat tiga korban meninggal dan 72 orang luka-luka, 361 orang ditangkap sewenang-wenang, 26 orang ditangkap dan menjalani proses hukum, diantaranya 18 orang dikenakan Pasal Makar dengan ancaman penjara seumur hidup.

“Pelanggaran HAM, hak atas kebebasan berekspresi paling serius dan berulang-ulang terjadi di Tanah Papua pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo. Penggembosan dan pemenjaraan terhadap hak kebebasan berekspresi akan beresiko merampas hak hidup, tidak demokratis, penguasa menjadi paling benar,” jelas Franky saat rilis laporan bertajuk “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran” di Jakarta, Rabu (3/5/2023).

Baca Juga:  PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di Papua

Dalam siaran pers yang diterima suarapapua.com, Franky mengingatkan pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi dan memajukan HAM. Presiden berkomitmen menyelesaikan pelanggaran HAM dan dialog damai. Jauh panggang dari api, praktiknya pelanggaran HAM di Tanah Papua masih terus terjadi.

“Pendekatan keamanan dan operasi militer dalam penanganan konflik bersenjata saat ini menimbulkan hilangnya hak hidup, hak atas rasa aman damai, hak atas kesejahteraan ekonomi,” tegasnya.

Pusaka juga meminta pemerintah dan aparat keamanan negara untuk menghormati dan melindungi hak untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat secara damai, orang-orang yang menyuarakan hak menentukan nasib sendiri, hak sipil politik, hak sosial ekonomi dan budaya, dan atau menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah nasional di Tanah Papua.

“Pemerintah segera mengevaluasi kebijakan pendekatan keamanan dan penggunaan taktik brutal TNI Polri dalam penanganan dan pengendalian aksi protes, melakukan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran HAM dan memulihkan hak-hak korban, serta melakukan dialog damai yang efektif,” kata Franky.

Sementara itu, Ambrosius Mulait, aktivis dan pegiat HAM mengatakan, dalam laporan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran” lebih fokus pada kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua yang dilakukan aparat keamanan pasca penolakan penetapan UU Otsus jilid II dan DOB.

Baca Juga:  MRP dan DPRP Fraksi Otsus se-Tanah Papua Minta Jokowi Terbitkan Perppu Hak Politik OAP

Kata Mulait, di Papua, sebelum aksi damai, aktivis sudah ditangkap oleh aparat kepolisian dengan dalil tidak ada izin serta dianggap musuh negara.

“Dalam tahun 2022 terjadi penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum, memberlakukan Pasal Makar pada aktivis yang melakukan aksi damai untuk memprotes kebijakan sepihak pemerintah, hingga penganiayaan anak di bawah umur. Di Papua belum aksi, baru seruan aksi disebarkan itu aktivis Papua diintimidasi bahkan ditangkap,” tuturnya.

Bukan rahasia lagi, ujar Mulait, Papua merupakan daerah langganan pelanggaran HAM di Indonesia. Sejak 1963 hingga saat ini belum ada langkah progresif yang dilakukan pemerintah untuk mengakhir pelanggaran HAM di Tanah Papua.

“Sejak 1963 hingga saat ini kasus pelanggaran HAM terus terjadi di Tanah Papua. Pemerintah sendiri tidak memiliki langkah konkrit untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM Papua. Selama ini pemerintah terus saja melakukan pendekatan militer, sehingga kasus pelanggaran HAM di Papua terus terjadi,” kata Mulait.

Untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang terus terjadi di Tanah Papua, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat memberikan beberapa rekomendasi yang tujukan kepada sejumlah pihak terkait.

Kepolisian RI:

1. Menghormati penikmatan hak untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat secara damai, orang-orang yang menyuarakan hak menentukan nasib sendiri, hak sipil politik, hak sosial ekonomi dan budaya, dan atau menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah nasional di Papua, dalam bentuk:

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

a). Menghentikan penggunaan pasal-pasal karet yang bisa disalahgunakan untuk mengkriminalisasi aktivitas politik damai yang dilindungi oleh hukum HAM nasional dan internasional.

b). Menghentikan dalih pemberian izin dalam menerima surat pemberitahuan unjuk rasa damai.

2. Mengevaluasi penggunaan taktik brutal Polda Papua dan Papua Barat dalam penanganan dan pengendalian massa, termasuk mendokumentasikan dan melaporkan penggunaan kekuatan yang dilakukan aparat penegak hukum; menggelar penyelidikan internal terhadap kasus-kasus penembakan dan penggunaan kekuatan berlebih pada demonstrasi di Papua dan Papua Barat.

3. Memastikan seluruh personel Polda Papua dan Papua Barat mendapatkan pelatihan intensif dan asistensi dalam keterampilan pengendalian massa berdasarkan standar HAM nasional dan internasional.

Pemerintah Pusat:

1. Menghentikan pelibatan militer dalam pengendalian massa dan aksi unjuk rasa damai.

2. Bersama Komnas HAM RI membentuk tim penyelidikan independen atas dugaan pelanggaran serius HAM yang terjadi dalam konteks penanganan aksi unjuk rasa. Tim independen juga bisa dibentuk oleh institusi HAM nasional independen.

Pemerintah Daerah:

1. Menyediakan akses pemulihan terhadap para korban dan keluarga yang mengalami kerugian fisik dan atau mental akibat penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam penanganan aksi unjuk rasa, dengan memberikan perhatian khusus pada korban perempuan, anak, dan lansia.

2. Menyediakan informasi yang memadai terkait proses hukum yang berjalan atas dugaan pelanggaran serius HAM.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.