ArtikelEsensi Kemerdekaan Papua yang Dikehendaki Tuhan

Esensi Kemerdekaan Papua yang Dikehendaki Tuhan

Oleh: Selpius Bobii*
*) Koordinator Jaringan Doa Rekonsiliasi untuk Pemulihan Papua (JDRP2)

Kata ‘merdeka’ menurut KBBI adalah: 1) Bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri; 2) Tidak terkena atau lepas dari tuntutan; 3) Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa; 4) bebas merdeka (dapat berbuat sekehendak hatinya).

Kata ‘kemerdekaan’ artinya keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan.

Bangsa Papua sudah 60 tahun lebih berjuang untuk menegakkan kembali kemerdekaan Papua yang sudah dinyatakan pada 19 Oktober 1961, yang mana atas restu Ratu Belanda kemerdekaan itu diumumkan secara resmi pada 1 Desember 1961 dalam suatu upacara. Walaupun demikian, sampai hari ini bangsa Papua belum mendapatkan kemerdekaan itu.

Mengapa perjuangan bangsa Papua terasa lama untuk menegakkan kembali hak kesulungannya yang telah dianeksasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Jawabannya adalah “Karena Bangsa Papua belum memahami kehendak Tuhan atas masa depan Bangsa Papua dan belum melaksanakan kehedak-Nya”.

Melalui pergumulan yang panjang, ke luar masuk penjara dan doa puasa, Tuhan telah singkapkan rahasia Allah tentang masa depan bangsa Papua kepada kami dan hamba-hamba Tuhan tertentu. Tentang itu, kami sudah menulis dalam sebuah buku yang berjudul “Bergulat Menuju Tanah Suci Papua”.

Esensi kemerdekaan Papua sesuai kehendak Tuhan adalah: Pertama, Merdeka dari belenggu dosa; Kedua, Merdeka dari belenggu penjajahan dunia.

Baca Juga:  Adili Masalah Yang Tak Bisa Dibuktikan Hukùm Positif Dengan Peradilan Adat di Papua

Sesuai petunjuk dari Tuhan bahwa bangsa Papua sudah merdeka secara politik pada 1 Desember 1961, tetapi Tuhan menunda kemerdekaan itu. Mengapa Tuhan menunda kemerdekaan itu? Jawabannya adalah karena waktu Tuhan bagi bangsa Papua adalah pada menjelang akhir zaman.

Kemerdekaan bangsa Papua sesuai kehendak Tuhan adalah kemerdekaan holistik, yaitu merdeka secara jasmani (politik) dan merdeka secara rohani. Ada tertulis dalam Injil Matius 6:33 “… Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”.

Tuhan menghendaki bangsa Papua harus mencari Kerajaan Allah dan Kebenaran-Nya terlebih dahulu. Bangsa Papua harus merdeka di dalam Tuhan terlebih dahulu. Bangsa Papua harus lahir baru di dalam Tuhan terlebih dahulu. Dengan demikian, pada waktunya Tuhan akan memulihkan kemerdekaan bangsa Papua.

Kemerdekaan bangsa Papua adalah kemerdekaan untuk mempersiapkan jalan bagi kedatangan Tuhan yang kedua kali ke dunia untuk memimpin Kerajaan 1.000 tahun. Maka itu, kita diberikan kesempatan sedikit waktu untuk memulihkan diri, yaitu bertobat dari dosa, berdamai dengan siapapun sekalipun musuh, dan bersatu di dalam rencana kehendak Tuhan.

Sesuai petunjuk Tuhan bahwa hanya orang-orang yang sudah menguduskan diri atau lahir baru di dalam Tuhan sajalah yang akan masuk ke Tanah Suci Papua untuk menikmati susu madu. Tentang hal ini Tuhan juga sudah sampaikan kepada para hamba Tuhan tertentu.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Tanpa kita memahami kehendak Tuhan atas masa depan bangsa Papua dan tanpa kita melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Tuhan, maka perjuangan bangsa Papua akan terus melingkar pada porosnya.

Sebab ada tertulis dalam Kitab Amsal 16:9 “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhan-lah yang menentukan arah langkahnya.”

Dahulu atas restu Tuhan, negara Indonesia menduduki Tanah Papua pada 1 Mei 1963. Demikian pula atas restu Tuhan, Indonesia akan angkat kaki dari Tanah Papua.

Ini proses waktu; bukan waktu manusia, tetapi waktu Tuhan. Karena rencana keselamatan dunia berada dalam ketetapan Allah dari sejak awal mula, termasuk juga keselamatan bangsa Papua.

Hari ini negara Indonesia didukung para sekutunya menggenggam tanah air Papua, tetapi mereka tidak akan sanggup mempertahankan Papua selamanya.

Dunia mencintai Papua hanya karena keindahan alam dan kekayaan alamnya yang melimpah. Tetapi dunia telah menolak bangsa Papua sebagai pemilik hak ulayat atas tanah air dan kekayaan alamnya.

Tuhan yang empunya tanah air dan bangsa Papua, maka Tuhan memiliki tanggung jawab yang mutlak untuk memulihkan keadaan bangsa Papua sebagaimana kehendak rencana-Nya.

Camkanlah bahwa rencana dunia atas tanah dan bangsa Papua akan terus gagal. Tanah air dan bangsa Papua adalah milik Tuhan, maka Tuhan punya hak mutlak untuk memakai bangsa Papua sebagaimana kehendak-Nya pada menjelang akhir zaman.

Baca Juga:  Rasisme dan Penindasan di Papua Barat (Bagian 1)

Yang terpenting bagi bangsa Papua yang harus dilakukan saat ini adalah bertobat dari dosa, berdamai dengan siapapun sekalipun musuh, dan bersatu di dalam rencana kehendak Tuhan.

Pemulihan bangsa Papua bukan hanya Tanah Papua bagian barat saja, tetapi juga Papua bagian Timur (PNG), artinya Tuhan hendak mewujudkan rencana dan kehendak-Nya di atas tanah air Papua dari pulau Gad Sorong sampai Samarai PNG. Maka pertobatan dari dosa, perdamaian dan persatuan di dalam rencana kehendak Tuhan itu wajib dilakukan oleh setiap kita yang mendiami di atas tanah air Papua dari pulau Gad Sorong sampai Samarai PNG.

Kerajaan Transisi Papua sudah berdiri sejak 1 Desember 2020 atas perintah dan kehendak Tuhan di aula Asrama Tunas Harapan, Abepura. Hingga sampai saat ini, negara Indonesia tidak berani memeriksa, menahan dan memenjara kami karena tangan Tuhan menyertai kami untuk mewujudkan kehendak-Nya. Walaupun kami sudah menyerahkan diri setelah “deklarasi pemulihan bangsa Papua lahir baru di dalam Tuhan” itu di Polisi Sektor Abepura, kota Jayapura.

Inilah jalan satu-satunya yang dikehendaki Tuhan. Hanya dengan mengikuti jalan yang Tuhan sudah buka yang sedang dikawal oleh JDRP2 ini, kita akan mendapatkan semua yang Tuhan sudah siapkan bagi Papua dari sejak semula.

Atas pertolongan Tuhan, Papua pasti bisa. (*)

Jayapura, 9 Mei 2023

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.