Artikel60 Tahun Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Papua Barat

60 Tahun Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Papua Barat

Oleh: Markus Haluk*
*) Aktivis HAM; Direktur Eksekutif ULMWP di West Papua

Pada tanggal 1 Mei 2023, rakyat Papua Barat memperingati 60 tahun pendudukan Indonesia. Dalam kesempatan ini, banyak yang bertanya-tanya: apa yang terjadi dalam enam puluh tahun terakhir di Papua Barat? Dengan Indonesia, apakah orang Papua hidup damai di tanah leluhurnya?

Memang sampai saat ini banyak terjadi konflik berdarah di wilayah Intan Jaya, Nduga, Puncak Jaya, Puncak Papua, Yahukimo, Kiriwok, Pegunungan Bintang, dan Maybrat. Setiap hari, orang Papua menderita pelanggaran hak asasi manusia dari otoritas Indonesia.

Sebelum berbicara tentang pelanggaran HAM di Papua Barat, izinkan saya mengklarifikasi apa itu HAM.

Secara garis besar, HAM didefinisikan sebagai hak dasar yang melekat pada setiap manusia. Prinsip ini pertama kali dirumuskan di Prancis pada tahun 1789 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Warga Negara: “Manusia dilahirkan dan tetap bebas serta memiliki hak yang sama”. Itu diambil alih oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948.

Pada tahun 1966, pada deklarasi PBB yang sama ditambahkan dua pasal pelengkap, yaitu perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik dan perjanjian internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Indonesia, yang dinyatakan merdeka pada Agustus 1945, memasukkan hak asasi manusia ke dalam konstitusinya. Pembukaannya bahkan menetapkan bahwa “kemerdekaan adalah hak bagi semua orang”. Selama reformasi demokrasi setelah jatuhnya Jenderal Soeharto pada Mei 1998, Indonesia menegaskan kembali kepatuhannya terhadap hak asasi manusia melalui Undang-Undang nomoro 39 tahun 1999.

Indonesia juga meratifikasi berbagai konvensi internasional tentang hak asasi manusia, antara lain konvensi anti-diskriminasi terhadap perempuan, anti-apartheid, anti-penggunaan senjata kimia, perlindungan anak, perlindungan hak sipil dan politik, dan lain-lain.

Namun dihadapkan pada kenyataan, tidak dapat dipungkiri bahwa kekerasan negara serta pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya terhadap orang Papua, tidak pernah berhenti sejak tahun 1963. Memang dengan berbagai argumentasi pemerintah Indonesia, apapun rezimnya, melakukan operasi militer yang mengakibatkan kematian ribuan rakyat Papua.

Sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap orang Papua dapat dikategorikan ke dalam empat periode berikut:

1. Masa Kepresidenan Soekarno yang dikenal dengan “Orde Lama” (1963-1967).
2. Masa Kepresidenan Soeharto yang dikenal dengan “Orde Baru” (1967-1998).
3. Era Reformasi Demokrasi yang dikenal dengan “Reformasi” (1998-2001).
4. Era Otonomi Khusus, yang dikenal sebagai “Otsus” (2001-sekarang).

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

1. Papua di Era Presiden Soekarno

Soekarno, presiden pertama Indonesia (1945-1967), adalah arsitek aneksasi Papua Barat. Invasi Indonesia dimulai pada akhir Desember 1961. Operasi militer besar yang didukung oleh Uni Soviet ini dikenal sebagai Trikora, singkatan dari Tri Komando Rakyat.

Tahun berikutnya, Amerika Serikat, karena takut akan eskalasi konflik, menekan Belanda untuk menyerahkan administrasi bekas jajahannya kepada PBB, meskipun Belanda memiliki itikad baik yang memberikan kemerdekaan kepada orang Papua pada 1 Desember 1961.

Pada tanggal 1 Mei 1963, PBB menyerahkan obor kepada Indonesia: itu adalah awal pendudukan Indonesia. Secara resmi Indonesia hadir hanya untuk memastikan kelancaran referendum yang akan menentukan pilihan rakyat Papua: merdeka atau terikat dengan Indonesia.

Namun kenyataannya sangat berbeda: sejak hari pertama, tentara Indonesia telah melakukan kekejaman terhadap penduduk sipil. Pengeboman udara terjadi di berbagai tempat.

Fasilitas umum, termasuk rumah sakit, dijarah oleh tentara. Di Manokwari kerusuhan anti-Indonesia pecah: dua orang Indonesia luka berat. Sebagai pembalasan, tentara Indonesia menembaki massa. Hasilnya, antara 1.000 dan 2.000 orang Papua terbunuh.

2. Papua di Era Presiden Soeharto

Pada tahun 1967 Soekarno, presiden pertama Indonesia yang pro-Soviet, mengundurkan diri. Dia digantikan oleh Soeharto, seorang jenderal pro Amerika. Mengutip peribahasa Indonesia, Papua yang baru keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau.

Salah satu langkah pertama yang diambil oleh presiden kedua Indonesia adalah memberikan konsesi kepada Freeport, perusahaan multinasional Amerika, untuk eksploitasi deposit Grasberg di Papua, cadangan emas dan tembaga dunia ketiga. Penandatanganan kontrak berlangsung pada 7 April 1967.

Untuk menjaga Papua tetap dalam perlindungannya, Indonesia mengerahkan seluruh kekuatan militer dan sipilnya untuk memastikan kemenangan dalam Referendum 1969, yang dikenal sebagai The Act of Free Choice atau Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Namun, itu benar-benar referendum palsu, karena hanya melibatkan 1.025 dari sekitar 800.000 orang Papua yang hidup saat itu. Rezim Indonesia menganggap mayoritas orang Papua terlalu terbelakang untuk memahami demokrasi.

Ribuan orang yang terlibat dalam referendum itu tidak lain adalah orang-orang Papua yang dipilih oleh pemerintah Indonesia sendiri, untuk memilih, di bawah tekanan tentara, mendukung aneksasi.

Jumlah korban yang terbunuh sebelum Act of Free Choice masih belum diketahui. Ribuan warga sipil dilaporkan disiksa, diperkosa, dan dibunuh. Eliezer Bonay, mantan gubernur Papua, mengungkapkan sekitar 30.000 orang tewas antara tahun 1963 dan 1969.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Sekitar 5.000 orang Papua melarikan diri ke luar negeri, ke negara tetangga Papua Nugini, serta ke berbagai negara Barat, terutama Belanda.

Tak berhenti di situ. Setidaknya ada sepuluh operasi militer di Papua yang dilancarkan selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto, antara lain: Operasi Pamungkas (1971), Operasi Koteka (1977), Operasi Sapu Bersih (1978-1982), Operasi Sate (1984), Operasi Gagak 1-2 (1985-1987), Operasi Kasuari 1-2 (1987-1990 ), Operasi Rajawali 1-3 (1989-1991).

LP3BH Manokwari dan Universitas Yale di Amerika Serikat mengungkapkan sekitar 100.000 orang Papua telah tewas. Benny Wenda, ketua United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) saat ini, menyebut lebih dari 500.000 orang Papua telah kehilangan nyawa selama setengah abad pendudukan Indonesia.

3. Papua di Era Reformasi Demokrasi

Pada Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa dengan tangan besi, Jenderal Soeharto mengundurkan diri. Peristiwa ini menandai dimulainya reformasi demokrasi di Indonesia.

Di bawah kepemimpinan BJ Habibie, ruang demokrasi yang sebelumnya tertutup bagi orang Papua kini terbuka. Orang Papua menyerukan pemerintah Indonesia untuk menarik tentara dan mengakhiri program transmigrasi. Yang terakhir tidak lain adalah instalasi masif dan anarkis penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim di Papua yang mayoritas Kristen. Rakyat Papua juga menuntut penghormatan atas hak kemerdekaannya.

Menanggapi gerakan ini, pemerintah Indonesia melakukan banyak penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi singkat terhadap aktivis kunci Papua.

Pembantaian terjadi di Biak pada tahun 1998, di Wamena, Abepura, dan Nabire pada tahun 2000. Di bawah rezim reformasi, tentara, tetapi juga polisi, terlibat dalam berbagai pemerasan terhadap orang Papua. Antara tahun 1998 dan 2003, setidaknya 2.500 orang Papua terbunuh.

4. Papua di Era Otonomi Khusus (Otsus)

Khawatir dengan pergolakan politik di Papua, pemerintah Indonesia pada tahun 2001 memberikan status otonomi khusus (Otsus) kepada provinsi terbesar di timur itu.

Ironisnya, pelaksanaan Otsus di Papua ditandai dengan pembunuhan Theys Eluay, ketua Presidium Dewan Papua (PDP), oleh Komando Pasukan Khusus Indonesia (Kopassus) pada 10 November 2001.

Penyiksaan dan pembantaian terus berlanjut: di Wasior pada tahun 2001, di Wamena tahun 2003, di Paniai tahun 2004 dan 2014, di Abepura tahun 2006, di Nduga tahun 2018, di Intan Jaya tahun 2019 hingga saat ini. Jumlah korban selama dua puluh tahun terakhir belum terdata dengan baik secara keseluruhan.

Ada juga bentuk-bentuk kekerasan lain yang disembunyikan negara Indonesia: orang Papua yang meninggal karena AIDS, keracunan makanan, kolera, alkohol dan obat-obatan. Jumlah migran Indonesia di kota-kota di Papua meningkat drastis. Perlakuan rasis terhadap orang kulit hitam Papua sedang meningkat di kalangan orang Indonesia. Eksploitasi sumber daya alam dan hutan tidak terkendali.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Sayangnya, di bawah rezim otonomi khusus, orang asli Papua mulai menjadi minoritas di negaranya sendiri.

Kesimpulan

Selama delapan tahun terakhir, tragedi kemanusiaan di Papua Barat secara konsisten menarik perhatian dunia internasional.

Pada tahun 2013, negara-negara Melanesia menyatakan dukungannya terhadap rakyat Papua dan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri. Pernyataan ini disusul dengan pernyataan 16 negara Pasifik pada pertemuan puncak di Port Moresby, mendesak pemerintah Indonesia untuk berdialog.

Pada Desember 2018, di Nairobi, perwakilan dari negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik mengakui pelanggaran HAM berat di Papua Barat.

Pada November 2019, Presiden Dewan HAM PBB menyatakan Papua Barat sebagai salah satu wilayah konflik yang harus diselesaikan.

Pada September 2021, saat Sidang Umum PBB, beberapa peserta mengecam pelanggaran HAM di Papua. Mereka sangat menyesalkan intimidasi terhadap aktivis yang membela perjuangan Papua.

Enam puluh tahun pendudukan Indonesia di Papua Barat ditandai dengan serangkaian kekerasan. Berbagai operasi militer yang dilancarkan Jakarta telah merenggut nyawa ratusan ribu rakyat Papua.

Markus Haluk, Direktur Eksekutif ULMWP, mengatakan: “Bagi kami orang Papua, pembangunan hanyalah dalih bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan pelanggaran: pembunuhan, pemerkosaan, penangkapan sewenang-wenang dan pemenjaraan. Sebagian besar pelakunya belum diadili. Bahkan jika dibawa ke pengadilan keadilan, para tersangka pelaku seringkali berakhir dengan dibebaskan kemudian diberi penghargaan dan dipromosikan. Kenyataannya, masa depan orang Papua semakin tidak pasti. Lebih buruk lagi, orang Papua di ambang kepunahan!”

Pada tahun 2021, kelompok Petisi Rakyat Papua mendapat lebih dari 700.000 tanda tangan. Sudah saatnya pemerintah Indonesia yang saat ini dipimpin oleh Presiden Joko Widodo mengizinkan kunjungan Dewan HAM PBB ke West Papua. Satu-satunya solusi demokratis untuk masalah Papua adalah memberikan hak penentuan nasib sendiri kepada rakyat Papua.

Mengutip Yesus Kristus dalam Matius 7:7-8: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima; dan setiap orang yang mencari, mendapat; dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu dibukakan.” (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemkab Yahukimo Belum Seriusi Kebutuhan Penerangan di Kota Dekai

0
“Pemerintah kita gagal dalam mengatasi layanan penerangan di Dekai. Yang kedua itu pendidikan, dan sumber air dari PDAM. Hal-hal mendasar yang seharusnya diutamakan oleh pemerintah, tetapi dari pemimpin ke pemimpin termasuk bupati yang hari ini juga agenda utama masuk dalam visi dan misi itu tidak dilakukan,” kata Elius Pase.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.