ArtikelOpini129 Tahun Gereja Katolik Masuk Papua dan Perlunya Situs Sejarah Gereja

129 Tahun Gereja Katolik Masuk Papua dan Perlunya Situs Sejarah Gereja

Oleh: John NR Gobai*
*) Penulis adalah Ketua Kelompok Khusus DPR Papua

Fakfak dan Manokwari, dua daerah di Tanah Papua, yang mempunyai sejarah sangat panjang, baik dari sisi pemerintahan maupun dari sisi penyebaran agama.

Manokwari dahulu merupakan pusat pemerintahan pertama sebelum dipindahkan ke Port Numbay sekarang kota Jayapura, juga sebuah kota yang merupakan pusat pemerintahan Belanda mula-mula, pemerintahan ini dinamakan Onderafdeling, Afdeling dan Residen.

Belanda mempunyai sistem pemerintahan dalam pendataan pemerintahan yang selalu saja melakukan pemekaran penutupan daerah dan juga penggabungan daerah.

Perlu dipahami bahwa pusat pemerintahan ini dapat terbentuk mula-mula diawali dengan adanya relasi antara para pemimpin adat yang kemudian dengan relasi itu diikuti dengan penyebaran agama, kemudian juga dibentuklah pemerintahan jadi Fak-Fak maupun di Manokwari.

Pada 5 Februari 1855, Charl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler tiba di Teluk Dore, pulau Mansinam yang kemudian hari ini dirayakan oleh umat di Tanah Papua sebagai hari Pekabaran Injil. Dan ini juga diketahui oleh masyarakat baik tua, muda, anak kecil, anak sekolah semua mengetahuinya dan menjadi sebuah pengetahuan yang baik di Tanah Papua sebagai kelanjutan dari penyebaran gereja, kemudian juga dibangun pusat pendidikan di Miei, Teluk Wondama.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Agaknya kurang lengkap bila tidak dilengkapi dengan adanya sejarah penyebaran bagi Gereja Katolik di Tanah Papua. Dengan kapal, tanggal 22 Mei 1894, Pastor Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville, SJ pertama kalinya menginjakkan kaki di Tanah Papua. Kapalnya mendarat di kampung Sekru, di semenanjung Fakfak.

Pater Le Cocq mulai mengenal olrang-orang di sekitarnya. Hari pertama ia sudah membaptis 8 anak menjadi Katolik. Sembilan hari kemudian ia membaptis 65 orang lagi. Ia terus ke gunung-gunung mencari orag-orang yang tinggal di sana.

Setelah sekian lama dari sejak 1896 umat Katolik di Tanah Papua, secara umum tidak merayakan mensyukuri akan hari besar bagi Gereja Katolik di Tanah Papua, di mana pada hari tersebut Pastor Le Cocq d’Armandville yang datang ke Tanah Papua untuk menyebarkan Gereja Katolik ini seperti terlupakan.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Tahun 2022 awam Katolik di Tanah Papua berkumpul dan mengadakan sebuah seminar dan lokakarya (semiloka) membahas dan coba melihat kembali sejarah masuknya Gereja Katolik di Tanah Papua. Semiloka selama tiga hari (21-23 Maret 2022) berlangsung di aula Paroki Kristus Terang Dunia Waena.

Setelah semiloka, awam Katolik di Tanah Papua merasa kurang cukup bila hanya sebatas berkumpul dan berbicara saja. Maka, dilakukan beberapa kegiatan agar ada sebuah momentum di tempat di mana Pastor Le Cocq d’Armandville tiba pertama kali untuk dirayakan oleh seluruh umat Katolik di Tanah Papua.

Selanjutnya disepakati bahwa pada tahun 2023 akan diadakan sebuah perayaan yang lama dirindukan oleh umat Katolik di Tanah Papua yaitu acara syukuran masuknya Gereja Katolik di Tanah Papua ke-129. Kegiatannya dipusatkan di Fakfak, yang kemudian dilanjutkan acara penting yaitu permulaan pembangunan situs sejarah masuknya Gereja Katolik di Tanah Papua yakni di Fakfak, provinsi Papua Barat.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Sebagai pembanding Pemkab Merauke telah menerbitkan peraturan daerah (Perda) nomor 1 tahun 2011 yang mencanangkan Merauke sebagai Gerbang Hati Kudus Yesus. Melalui perda ini ditetapkan tempat-tempat penting dan bersejarah serta tanggal 14 Agustus sebagai hari peringatan Agama Katolik masuk di Papua Selatan dan menjadi hari libur fakultatif di Merauke.

Dengan demikian, ada beberapa tempat di provinsi Papua Barat yaitu di Sekru dan pulau Bone kabupaten Fakfak, bukit Aitumeri kabupaten Teluk Wondama dan pulau Mansinam kabupaten Manokwari, merupakan tempat-tempat penting dan bersejarah bagi umat Katolik serta umat GKI di Tanah Papua.

Untuk itulah sekiranya Gubernur Papua Barat dapat menetapkan tempat-tempat bersejarah ini sebagai situs sejarah Gereja dan juga hari-hari perayaannya sebagai hari besar yang harus dan wajib dirayakan umat Katolik maupun umat GKI di Tanah Papua dan bila dimungkinkan ditetapkan sebagai hari libur fakultatif dengan peraturan daerah provinsi Papua Barat atau keputusan gubernur Papua Barat. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.