BeritaLingkunganWalhi Papua Soroti Klaim Bahlil Soal “Masih Banyak Nikel di Papua”

Walhi Papua Soroti Klaim Bahlil Soal “Masih Banyak Nikel di Papua”

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia soal cadangan nikel di Papua sangat melimpah untuk dilakukan eksplorasi oleh investor asing mendapat kecaman dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua.

Walhi Papua berpendapat, pernyataan tersebut terkesan mengabaikan masyarakat adat Papua dengan mendatangkan investor guna merusak hutan sebagai mata pencaharian masyarakat lokal.

“Pemerintah pusat ingin memaksa perusahaan-perusahaan besar seperti Migas, Nikel dan Sawit harus ada di Papua, sama saja pemerintah ingin Papua dipenuhi investor kotor dan mematikan yang dampaknya akan menyebabkan kerusakan besar pada kesehatan, mata pencaharian, ekosistem lokal, serta akan mengeluarkan berton-ton karbondioksida ke atmosfer,” ujar Maikel Peuki, direktur eksekutif Walhi Papua, Rabu (13/9/2023).

Walhi menyoroti pemerintah pusat yang seakan mengabaikan dampak sosial dan lingkungan dari keberadaan investor di Tanah Papua. Negara disebut hanya mementingkan investasi dibanding dampak yang merusak tatanan kehidupan masyarakat adat Papua.

Baca Juga:  Titus Pekei Apresiasi Kebijakan Pj Gubernur Papua Wajibkan ASN Pakai Batik dan Noken

“Masalah dampak sosial dan lingkungan soal keberadaan perusahaan migas, nikel, dan sawit itu memang harus mendapat perhatian serius. Faktanya, kondisi masyarakat adat Papua saat ini masih hidup dan masih memprihatinkan,” kata Peuki.

Dampak kehadiran perusahaan pasti akan ada masyarakat yang direlokasi, namun tidak benar-benar diperhatikan sebagaimana dari aktivitas perusahan. Ini sangat miris, mengingat perusahaan sudah sangat lama beroperasi beberapa daerah di Tanah Papua, tetapi masalah sosial dan lingkungannya belum pernah tuntas juga, dan malah meninggalkan kerusakan secara turun-temurun.

“Dan dampak buruk itu terjadi sesuai pengalaman saat ini dengan banyaknya perusahaan masuk di Papua,” ujarnya.

Baca Juga:  HRM Rilis Dugaan Kejahatan Kemanusiaan di Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah

Karena itulah Walhi berharap mestinya penting sekali pemerintah melakukan evaluasi dan review menyeluruh terhadap semua izin perusahaan di Tanah Papua mendorong pelaksanaan AMDAL perusahaan secara terbuka dibahas dengan melibatkan masyararakat adat Papua pemilik tanah adat dan pihak terkait.

“Agar negara tidak semena-mena merampas dan merusak hutan masyarakat adat, selain itu keberadaan hutan Papua menjaga kestabilan suhu di Indonesia. Selain itu, hutan Papua juga menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna. Banyak diantaranya endemik dan beberapa di antaranya masih baru untuk ilmu pengetahuan,” kata Maikel.

Sebelumnya, Bahlil Lahadalia mengatakan, belum ada kajian teknis untuk menyatakan cadangan nikel RI hanya cukup sampai 15 tahun.

Baca Juga:  Rayakan HUT ke-65 PI di Saluk, Pdt Obeth Klin: Injil Kekuatan Kita

“Belum ada satu kajian teknis yang menyatakan bahwa 15 tahun itu kan baru persepsi saja,” katanya usai acara Membangun Ekosistem Baterai Kendaraan Listrik di Jakarta Selatan, Selasa (29/8/2023), dilansir Kompas.com.

Bahlil Lahadalia  mengklaim saat ini cadangan nikel Indonesia di Papua sangat melimpah. Karenanya, ia meminta sejumlah pihak tak perlu khawatir dengan cadangan nikel Indonesia.

“Jadi, saya enggak yakin 15 tahun, masih banyak. Di Papua itu masih banyak nikel. Jadi, saya pikir bahwa apa yang dikhawatirkan 15 tahun itu enggak benar,” ujar Bahlil.

Menurut data dari Badan Geologi, per Desember 2020, sumber daya nikel yang masih tersedia sebesar 13,7 miliar ton bijih, dengan total cadangan terbukti sebesar 4,6 miliar ton bijih. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Inilah Kepala Daerah Terpilih di Papua Barat Daya Usai Putusan Dismissal...

0
Hasilnya, semua gugatan sengketa yang diajukan peserta Pilkada dari wilayah provinsi Papua Barat Daya secara resmi tak berlanjut alias gugur dengan dibacakan putusan dismissal.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.