BeritaSuara MahasiswaMahasiswa Katolik Cenderawasih Mendesak Pemerintah Segera Memulangkan Pengungsi Ke Kampung Halamannya

Mahasiswa Katolik Cenderawasih Mendesak Pemerintah Segera Memulangkan Pengungsi Ke Kampung Halamannya

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Mahasiswa Katolik Cenderawasih Papua St. Albertus Agung Sulawesi Utara (Sulut) mendesak Pemerintah Papua, KWI dan para Uskup se- Tanah Papua agar berperan aktif untuk keselamatan nasib para pengungsi di tanah Papua.

Pernyataan itu disampaikan Mahasiswa Katolik Cenderawasih Papua (MKC-P) usai kegiatan diskusi pembacaan perkembangan situasi tanah Papua di Tomohon, Sulut pada 17 Oktober 2023.

“Kegiatan tersebut dilakukan bertujuan untuk memahami bersama atas situasi sosial gereja Katolik serta mendukung seruan pastoral Sekretariat Keadilan dan Perdamaian gereja se-Papua di Sorong terkait dengan nasib para pengungsi di tanah Papua,” ujar Nicolaus Huby, Ketua MKC Papua kepada suarapapua.com melalui pernyataan resminya.

Huby menyatakan, pimpinan gereja Katolik mestinya membuka mata atas situasi dan kondisi tanah Papua yang memprihatinkan ini.

“Memang situasi diakhir-akhir ini sudah seharusnya pimpinan gereja Katolik membuka mata hati untuk berbicara nasib keselamatan para pengungsi di beberapa tempat. Karena sejauh ini para Uskup di Papua membisu dan lebih banyak bersekutu dengan para petinggi militer dan sipil.”

“Kita lihat saja belakangan ini dalam kurun waktu 6 tahun terhitung 2018-2023, kekerasan dan konflik bersenjata antara TNI -Polri dan TPNPB OPM di beberapa Wilayah di tanah Papua terus meningkat,” tukas Huby.

Sebagaimana beberapa laporan yang dikeluarkan pegiat kemanusiaan terdapat paling sedikit 674 warga Muara Bontoh (Yahukimo) mengungsi ke kota Dekai. Terdapat 2.252 warga di Kiwirok dan sekitarnya mengungsi ke Wilayah Oksibil dan ke negara tetangga Papua New Guinea.

Paling sedikit 37.000 warga Nduga dari berbagai distrik mengungsi ke Kabupaten Asmat, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Jayawijaya. Paling sedikit pula 1.000 warga Intan Jaya mengungsi ke Kabupaten Nabire, Kabupaten Paniai, dan Kabupaten Mimika. Kurang lebih 6.000 warga Maybrat mengungsi ke Kmurkek, Kabupaten Sorong, dan Kota Sorong.

Baca Juga:  Mahasiswa Yahukimo di Yogyakarta Desak Aparat Hentikan Penangkapan Warga Sipil

Termasuk pada 26 Oktober 2020 seorang katekis katolik atas nama Rufius Tipogau mati ditembak militer Indonesia .Persoalan pengungsi bahkan penembakan telah menjadi luka dalam tubuh negara Indonesia di tanah Papua.

Ia mengatakan, dalam laporan di beberapa media mencatat bahwa pemerintah dan TNI/Polri mengaku para pengungsi telah kembali ke kampung halaman mereka. Meskipun demikian, menurut temuan SKP se Tanah Papua, masih banyak pengungsi yang belum kembali ke kampung halaman mereka.

Misalnya katanya, para pengungsi di Maybrat. Temuan ini didukung Komnas HAM RI yang menyebutkan bahwa terdapat 5.296 orang yang masih bertahan di tempat pengungsian.

“Di tempat pengungsian ini kami mengalami banyak kesulitan. Dalam satu rumah terdapat 4 sampai 5 KK, di kos-kosan bisa sampai 12 KK. Kami berharap agar kesehatan dan pendidikan anak-anak kami dibantu. Kami sudah berkebun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, tetapi itu tidak cukup untuk membayar biaya pendidikan anak-anak kami,” tukas pernyataan pengungsi Maybrat.

“Di tempat pengungsian ini sudah lebih dari 10 orang meninggal dunia. Akan tetapi yang paling kami harapkan ialah bisa kembali ke kampung halaman kami sendiri. Kami ingin pulang ke kampung halaman kami, asal saja militer ditarik keluar dari Aifat Timur. “

“Sebab kami ingin hidup seperti situasi dahulu, hidup dalam damai, tenang, dengar suara alam hati damai, tidak ada yang tanya-tanya kami seperti kami orang asing di tanah kami. Perlu semua pihak duduk bicara supaya ada damai. Budaya kami orang Maybrat kalau ada masalah baik kecil maupun besar harus duduk bicara sampai ada perdamaian. Masalah harus dibicarakan, bukan dibiarkan.”

Pernyataan-pernyataan tersebut katanya sama seperti yang disampaikan Paus Fransiskus bahwa nasib mereka (pengungsi) sama seperti nasib Yusuf dan Maria saat hendak melahirkan Yesus  Kristus.

Di mana pengungsi saat ini juga harus meninggalkan kampung halamannya dan ditolak di banyak tempat.

Baca Juga:  IPMMO Jawa-Bali Desak Penembak Dua Siswa SD di Sugapa Diadili

“Begitu banyak langkah kaki-kaki lain yang tersembunyi dalam jejak Yusuf dan Maria, kami melihat jejak keluarga yang dipaksa lari pada zaman sekarang. Kami melihat jejak jutaan orang yang tidak memilih untuk pergi, tetapi diusir dari tanah mereka.”

Katanya, dengan fakta demikian di atas bahwa sangat membutuhkan kehadiran seorang gembala untuk mengembalakan domba-dombanya, (Yoh 21:15-19).

Sebagaimana pernyataan Yesus sesudah sarapan berkata Simon Petrus; Simon anak Yohanis, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini? Jawab Simon petrus kepadaNya; benar Tuhan engkau tahu, Aku mengasihi engkau. Yesus berkata kepadanya; gembalakan domba-dombaKu.

Penugasan ini kata Huby sangat jelas dan tegas bagi umat Tuhan. Tugas ini merupakan tugas mulia dan suci yang diberikan Tuhan Yesus kepada rasul Simon Petrus yakni mengembalakan umat Tuhan, jaga umat Tuhan, dan lindungi umat Tuhan.

“Sering kali kami mahasiswa bertanya, mengapa gereja Katolik melalui gembalanya, Uskup dan Pastor membaptis orang Papua, tetapi membiarkan mereka mati di tembak, hak asasi orang Papua diabaikan, hak tanah dan hutan alamnya dihancurkan.”

“Melihat situasi Papua ini sangat rumit. Kemana orang Papua meletakkan harapan mereka, dan kita menyadari hal ini bahwa orang Papua percaya pada gereja termasuk gereja katolik. Orang Papua masih yakin dan berharap bahwa mereka akan baik-baik saja dalam rumah gereja katolik. Oleh sebab itu pimpinan umat di tanah Papua harus memberi perhatian terhadap para pengungsi di tanah Papua.”

Ia menyatakan, selama ini terlihat  KWI dan lima Keuskupan di Papua memilih jalan diam terhadap situasi Papua dan jarang mendengar seruan, ajakan, dan inisiatif para Uskup Papua untuk menghentikan segala bentuk kekerasan di atas tanah Papua.

Menurutnya, seruan seperti pimpinan umat jarang dijumpai umat Katolik di tanah Papua. Justru melihat para Uskup lebih erat jalan bersama pimpinan militer dan pimpinan sipil Indonesia. Jika keadaan para pimpinan gerakan terus seperti ini, sangat rumit untuk menentukan nasib umat tertindas di tanah Papua.

Baca Juga:  Pemkab Yahukimo dan PGGJ Diminta Perhatikan Keamanan Warga Sipil

Oleh sebab itu, Mahasiswa Katolik Cenderawasih Papua yang tergabung dari lima Keuskupan di tanah Papua mengajak dan mendukung tuntutan seruan pastoral KSP se-Papua dan mendesak para Uskup di tanah Papua, KWI, Pemerintah Pusat dan daerah untuk segera;

  1. Pemerintah pusat dan daerah harus memulangkan para pengungsi ke kampung halamannya dengan terlebih dahulu melakukan konsultasi yang bermakna dengan para pengungsi internal tanah Papua. SKP se-tanah Papua menilai bahwa peran aktif negara sangatlah lamban dan seolah-olah menutupi persoalan pengungsi di tanah Papua.
  2. Pemerintah pusat dan daerah, termasuk TNI/Polri harus menjamin keamanan para pengungsi yang akan kembali ke kampung halamannya. Selain itu, tidak mengintimidasi para pengungsi yang saat ini telah kembali ke kampung halamannya.
  3. Pemerintah pusat dan daerah harus memberikan reparasi atau ganti rugi bagi para pengungsi internal di tanah Papua atas segala kerugian yang mereka alami, termasuk kerugian fisik, harta benda, psikis, dan mental.
  4. Sebelum pemulangan ke tempat asal mereka, pemerintah pusat dan daerah wajib menjamin hak-hak dasar bagi para pengungsi internal di tanah Papua, termasuk membangun tempat tinggal sementara, menyediakan kebutuhan pangan dan kesehatan para pengungsi serta memastikan akses pendidikan bagi anak-anak pengungsi.
  5. Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh menghalangi segala bentuk bantuan humanitarian/kemanusiaan yang diberikan oleh pihak lain kepada para pengungsi internal di tanah Papua.
  6. Hentikan operasi militer di tanah Papua.
  7. Hentikan perampasan hak tanah adat milik rakyat Papua.
  8. Negara harus bertanggung jawab menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM di tanah Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.