PolhukamDemokrasiGugatan Masyarakat Adat Awyu Ditolak, Putusan PTUN Jayapura Prematur

Gugatan Masyarakat Adat Awyu Ditolak, Putusan PTUN Jayapura Prematur

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura menyatakan menolak gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap pemerintah provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT Indo Asiana Lestari (IAL) yang dilayangkan masyarakat adat suku Awyu sejak 13 Maret 2023 lalu.

Putusan hakim yang dibacakan hari Kamis (2/11/2023), sangat disesalkan Hendrikus ‘Franky’ Woro bersama Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua.

Masyarakat adat suku Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adatnya dari perusahaan kelapa sawit menyatakan putusan tersebut sebagai satu kabar sangat buruk bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat, hutan Papua dan upaya melawan krisis iklim. Karenanya, putusan hakim PTUN Jayapura dianggap prematur lantaran telah mengabaikan berbagai fakta persidangan dan fakta lapangan.

“Saya sedih dan kecewa sekali karena yang saya perjuangkan seperti sia-sia,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, begitu mengetahui putusan PTUN Jayapura.

Walau hakim menolak gugatannya, Hendrikus mengaku tidak akan pernah mundur selangkahpun.

“Saya tidak akan pernah mundur. Saya akan terus maju. Saya siap mati demi tanah saya, karena itu yang tete nene leluhur wariskan untuk saya. Kalau hakim tidak percaya, terjun ke lapangan untuk lihat langsung,” ujarnya.

Hanya saja Hendrikus Woro mengaku berutang budi terhadap semangat solidaritas dari berbagai pihak yang sudah sangat peduli terhadap perjuangan masyarakat adat suku Awyu.

“Saya juga sedih karena teman-teman lain sudah luar biasa mendukung kami selama ini. Mereka tidak punya tanah di sini, tetapi mereka luangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kami masyarakat adat Awyu. Sayangnya, hakim tidak melihat persoalan itu dengan benar dan tidak memutuskan dengan seadil-adilnya,” tutur Hendrikus.

Baca Juga:  Penolakan Memori Banding, Gobay: Majelis Hakim PTTUN Manado Tidak Mengerti Konteks Papua

Selama tujuh bulan lamanya masa persidangan, Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya telah menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga orang saksi ahli. Alat-alat bukti dan saksi dari pihak suku Awyu jelas menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin PT IAL.

“Misalnya, penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat, adanya intimidasi terhadap masyarakat yang menolak perusahaan sawit, hingga tidak diakuinya keberadaan marga Woro dalam peta versi perusahaan,” jelas Tigor Gemdita Hutapea, salah satu tim kuasa hukum penggugat.

Meski begitu, Tigor juga sayangkan putusan hakim yang tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan Amdal karena bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara ini yakni SK kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL.

“Padahal, Amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa.”

Tigor melanjutkan, “Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) kabupaten Boven Digoel. LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak.”

Dikemukakan, putusan tersebut juga tak mengindahkan potensi dampak iklim jika PT IAL membuka kebun sawit dan melakukan deforestasi di hutan adat suku Awyu.

“Jika deforestasi itu terjadi, potensi emisi karbon yang lepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia tahun 2030. Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup,” beber Hutapea.

Baca Juga:  ULMWP Mengutuk Tindakan TNI Tak Berperikemanusiaan di Puncak Papua

Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum suku Awyu, juga menyatakan tak dapat menerima putusan hakim.

“Kami kecewa dengan putusan hakim dan akan memperjuangkan kasus ini sampai menang demi tegaknya hak masyarakat adat, selamatnya hutan Papua dari kerusakan yang masif, dan menahan laju krisis iklim. Ini putusan yang janggal. Hakim bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tetapi juga seperti mengabaikan banyaknya fakta-fakta persidangan,” ujar Sekar.

Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, juga senada.

Gobay bahkan menyatakan, “Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar. Kami akan melakukan upaya-upaya hukum untuk mengevaluasi sikap hakim dalam memutus perkara ini.

Emanuel menyatakan terdapat kekeliruan majelis hakim TUN dalam pertimbangannya untuk memutus gugatan tersebut.

“Meskipun satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan, ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan. Ini misalnya terlihat dalam sikap hakim yang tidak mempertimbangkan substansi Amdal yang bermasalah dan menolak permintaan kami untuk pemeriksaan lapangan,” ujar Gobay.

Selama persidangan bergulir, banyak dukungan mengalir untuk masyarakat adat suku Awyu. Berbagai pihak mengirimkan amicus curiae (sahabat peradilan), mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), ahli litigasi iklim I Gede Agung Made Wardana, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Koalisi Kampung untuk Demokrasi Papua, dan Greenpeace Indonesia.

Baca Juga:  Teror Aktivis Papua Terkait Video Penyiksaan, Kawer: Pengekangan Berekspresi Bentuk Pelanggaran HAM

Gerakan Solidaritas Perlindungan Hutan Adat Papua didukung 258 organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan individu dari berbagai daerah dan negara, termasuk solidaritas dari masyarakat adat Ka’apor, Amazon, Brazil, juga telah membuat surat terbuka dan menyerahkannya ke majelis hakim PTUN Jayapura, ketua Komisi Yudisial, ketua Mahkamah Agung, dan Komnas HAM RI.

Semuanya satu tuntutan: majelis hakim berpegang teguh pada prinsip in dubio pro natura. Artinya, ‘jika hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, hakim mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya’ demi kelanjutan hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Papua.

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua terdiri dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia, dan lain-lain.

Diberitakan sebelumnya, Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dan pemimpin marga Woro, bagian dari suku Awyu, mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura pada 13 Maret 2023. Gugatan diajukan terhadap izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu (DPMPTSP) provinsi Papua.

Gugatan dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan DPMPTSP provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (PT IAL), perusahaan kelapa sawit .

PT IAL mengantongi izin investasi dengan surat keputusan kepala DPMPTSP provinsi Papua nomor 82 tahun 2021 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 90 ton TBS/jam seluas 36.096,4 hektare di distrik Fofi dan distrik Mandobo, kabupaten Boven Digoel, tertanggal 2 November 2021. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.