BeritaKesehatanLayanan Kesehatan di Nduga Mati Total, Legislatif Harus Bersuara

Layanan Kesehatan di Nduga Mati Total, Legislatif Harus Bersuara

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Banyak persoalan dialami masyarakat di kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, namun keluhan tidak bisa disalurkan ke pengambil kebijakan lantaran kesulitan menemui wakil rakyat.

Narik Yimin Tabuni, intelektual muda asal Nduga, mengungkapkan, lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang diharapkan mengangkat persoalan publik, justru terkesan diam, tidak turut memainkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) tanpa alasan jelas.

Kecenderungan lembaga legislatif tidak pro aktif, apalagi belakangan masyarakat mengeluh dengan ditutupnya layanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pratama Elvira Sara Nduga dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Keneyam, dikesalkan Yimin.

Ketua Angkatan Muda Kemah Injil (AMKI) kabupaten Nduga ini menghendaki lembaga DPRD peka terhadap berbagai masalah publik, salah satunya dengan kasus liburnya pelayanan kesehatan masyarakat di ibu kota kabupaten Nduga.

Baca Juga:  KKB Minta Komisi Tinggi HAM Investigasi Kasus Penyiksaan OAP

“Puskesmas Keneyam dan RSUD Nduga masih belum dibuka untuk layani masyarakat. Dalam situasi begitu, harusnya wakil rakyat bersuara. Tetapi sampai saat ini DPRD Nduga masih diam terhadap kondisi ini. Kondisinya sudah parah juga terus dibiarkan saja,” ujarnya kepada suarapapua.com melalui keterangan tertulis dari Keneyam, Kamis (14/12/2023) siang.

Bahkan kabarnya anggota dewan ada di luar daerah, belum kembali ke tempat tugas.

“DPRD Nduga tidak ada di sini. Masalah layanan kesehatan mati total ini kita mau mengadu ke siapa?.”

Jikapun sedang sibuk dengan kampanye Pemilu 2024, Yimin tegaskan, masalah publik yang sangat fatal bagi masyarakat seharusnya jangan dibiarkan begitu saja.

“Lembaga legislatif jangan biarkan persoalan publik ini berlanjut. Tempat masyarakat mau berobat sudah ditutup, DPRD harus desak pihak eksekutif untuk segera lakukan kewajiban supaya pelayanan medis kembali diaktifkan,” tuturnya berharap.

Baca Juga:  Festival Angkat Sampah di Lembah Emereuw, Bentuk Kritik Terhadap Pemerintah

Fakta terakhir, ia akui DPRD yang membidangi masalah kesehatan yakni Komisi C tidak ada di tempat.

“Matinya pelayanan kesehatan ini mau harap siapa lagi kalau DPRD diam? Masyarakat Nduga tidak punya pilihan lagi tempat berobatnya, kecuali Puskesmas Keneyam dan RSUD Nduga yang sudah ditutup itu,” tandas Narik.

Diharapkan, pemerintah daerah segera mengatasi persoalan untuk aktifkan kembali pelayanan medis karena kesehatan merupakan hal fundamental, apalagi Nduga merupakan daerah konflik tentu saja banyak orang butuh pengobatan dan perawatan.

“Siapapun tidak punya wewenang untuk menutup layanan publik terutama pelayanan kesehatan. Sebab semua aktivitas bisa dilakukan apabila setiap orang sehat dan walafiat. Sejak hari Senin lalu, angka kematian, orang sakit baik anak kecil, ibu hamil dan orang tua meningkat. Tidak ada obat, layanan kesehatan tidak dibuka. Kami sangat prihatin dengan kondisi ini,” tuturnya.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Bangun Jembatan Hubungkan Kampung Banti 2 dan Banti 1

Yimin juga menambahkan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dinas Kesehatan provinsi Papua Pegunungan dan Dinas Kesehatan kabupaten Nduga segera bertanggungjawab atas ditutupnya RSUD Nduga di Keneyam.

Sebelumnya diberitakan media ini, RSUD Pratama Nduga meliburkan aktivitasnya sejak 29 November 2023 lantaran kehabisan stok obat-obatan dan tenaga kesehatan (Nakes) belum menerima honornya selama lima bulan (Juli-November 2023).

Per 7 Desember 2023, Puskesmas Keneyam juga menghentikan layanan seperti biasanya karena diduga tidak mendapat stok obat dari Dinas Kesehatan kabupaten Nduga.

Baik di RSUD maupun Puskesmas sudah ditempel informasi mengenai hal itu. Konon, pelayanan kesehatan dihentikan sementara tanpa kejelasan batas waktu. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.