LME Digugat Ke Pengadilan Tinggi Inggris Karena Memperdagangkan ‘Logam Kotor’ Dari Grasberg

Kasus yang menyoroti kerugian jangka panjang yang terjadi di West Papua (di tanah Papua), dapat berdampak pada seluruh rantai pasok global.

0
862
Grasberg pusat pertambangan terbuka PT Freeport Indonesia di Tembagapura, kabupaten Mimika, Papua Tengah. (Dok. PTFI)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— London Mining Network, didukung oleh Global Legal Action Network (GLAN) telah mengajukan gugatan bersejarah ke Pengadilan Tinggi Inggris terhadap London Metal Exchange (Bursa Logam London atau LME). Penggugat berpendapat bahwa LME melanggar undang-undang antipencucian uang dan hasil kejahatan di Inggris dengan memfasilitasi penjualan “logam kotor” secara global.

Kasus ini menyoroti perdagangan di LME atas logam dari tambang Grasberg yang merusak lingkungan di West Papua (Tanah Papua).

London Metal Exchange (LME) adalah pusat dunia untuk perdagangan logam industri – mayoritas dari semua logam non-besi berjangka. logam non-besi ditransaksikan di platform mereka. Tahun lalu, 134,2 juta lot diperdagangkan, setara dengan $15,2 triliun dan 3,1 miliar ton nosional, dengan minat terbuka pasar yang mencapai 1,8 juta lot.

London Mining Network dan Global Legal Action Network (GLAN) dalam pernyataan resminya menyatakan, jika berhasil dalam gugatan ini kata mereka, kasus ini akan memaksa LME untuk meninjau ulang regulasi yang digunakan untuk mendaftarkan logam untuk diperdagangkan di Bursa mereka.

Hal ini lalu akan memaksa para produsen logam untuk menyesuaikan praktik penambangan jika ingin tetap mengakses platform yang sangat penting untuk menjangkau pelanggan dan menjual produk mereka, singkatnya untuk mengakses kapital.

ads

Dalam kasus ini, secara khusus, perusahaan tambang di Amerika dan Indonesia harus menghentikan praktik pertambangan eksploitatif yang membahayakan lingkungan dan masyarakat adat jika mereka ingin produk mereka tetap terdaftar di LME.

“Kasus ini adalah tentang perjuangan kami melawan mereka yang diuntungkan dari penghancuran sungai-sungai kami, hutan, serta cara hidup kami. Masyarakat kami sedang mengalami dampak pertambangan yang mengancam nyawa, kami tidak punya pilihan selain memperjuangkan perlawanan ini, karena kalau kami diam siapa yang akan berbicara untuk kami?”

Baca Juga:  Paus Fransiskus Segera Kunjungi Indonesia, Pemerintah Siap Sambut

“Kami menyerukan kepada semua pelaku usaha, termasuk bank dan bursa, seperti London Metal Exchange, untuk mengakhiri keterikatan internasional mereka dalam operasi pertambangan ini. Kami ingin hidup bermartabat, dihormati, dan memenuhi hak-hak dasar kami sebagai manusia yang bermartabat dan dapat menikmati alam yang telah dipelihara oleh leluhur kami dan diwariskan kepada kami,” ujar Adolfina Kuum, salah satu tokoh masyarakat West Papua.

GLAN dan London Mining Network berpendapat bahwa tembaga yang berasal dari tambang Grasberg (Freeport) merupakan “barang hasil kejahatan” karena diproduksi dalam kondisi yang dapat melanggar hukum pidana Inggris seumpama terjadi di Inggris.

Kegagalan LME dalam mengecualikan komoditas terlarang ini berpotensi melanggar Undang-Undang Hasil Kejahatan (2002), yang mengharuskan Bursa untuk segera mengidentifikasi dan menghentikan penjualan logam-logam tersebut.

Kegagalan tersebut menjadi pintu bebas hambatan bagi produk-produk kotor memasuki rantai pasok konsumen. Langkah hukum ini akan berpengaruh pada perusahaan-perusahaan lain yang ingin mengakses bursa, tapi kegiatan pertambangannya terkait dengan kejahatan lingkungan hidup di luar negeri.

“Kasus ini merupakan kesempatan bagi LME dan para produsen logam untuk menyelaraskan diri dengan harapan konsumen dan dengan berbagai kriteria yang merupakan kunci untuk memastikan transisi ramah lingkungan berkelanjutan,” ujar salah satu pengacara GLAN, Stéphanie Caligara.

Kata Stéphanie, “Sebagai pusat perdagangan logam global, LME mengatur standarisasi untuk industri logam. Pemerintah memiliki tanggung jawab dan wewenang untuk memastikan bahwa logam-logam yang ditawarkan untuk dijual di Bursa bukanlah produk yang berasal dari kejahatan lingkungan. Hal ini akan berdampak pada seluruh industri pertambangan yang harus secara drastis memperbaiki praktiknya demi kepentingan lingkungan dan masyarakat lokal,” ungkap Stéphanie.

Baca Juga:  Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

Dikatakan, di West Papua, masyarakat adat menanggung dampak dari pencemaran limbah tambang Grasberg yang dibuang ke sumber-sumber air yang selama ini dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari mereka, seperti minum, masak, dan mandi.

Lebih dari 200.000 ton limbah tambang beracun yang disebut ‘tailing’ dibuang ke sungai setempat setiap hari. Praktik tersebut dianggap sangat berbahaya bagi lingkungan, sehingga hampir seluruh dunia melarangnya.

Sementara katanya, di West Papua tetap menjadi pengecualian, karena merupakan satu dari sedikit tempat yang masih menerapkan praktik ini, dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat adat yang mendiami wilayah sekitar pertambangan itu.

Andrew Hickman, dari London Mining Network, mengatakan, “Tambang Grasberg di West Papua, tempat produksi tembaga yang diperdagangkan di LME, seperti borok bernanah di jantung hutan hujan New Guinea.”

“Setiap hari selama puluhan tahun, tambang ini telah membuang lebih dari 200.000 ton limbah tailing beracun secara langsung ke Sungai Ajkwa, sehingga menghancurkan tanah dan kehidupan manusia yang tinggal di hilir tambang. Sudah saatnya bagi mereka yang diuntungkan dari produksi dan perdagangan logam dari West Papua untuk bertanggung jawab atas kejahatan mereka,” kata Andrew Hickman.

Masyarakat West Papua menjadi saksi hilangnya sungai-sungai yang selama ini menjadi pusat kehidupan mereka, untuk memancing dan bernavigasi. Sedimentasi limbah beracun telah menimbulkan masalah kesehatan yang meluas bagi masyarakat.

Baca Juga:  Sidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?

Penyakit kulit dan masalah kesehatan lain akibat pencemaran logam berat di dalam air menyebabkan penderitaan bagi seluruh masyarakat, khususnya anak-anak dan lansia. Masyarakat adat setempat telah menyaksikan hutan West Papua, yang selama ini menyediakan makanan bagi mereka, perlahan-lahan menghilang di bawah gundukan limbah pertambangan.

Kerusakan lingkungan di West Papua yang disoroti dalam kasus ini merupakan gejala dari masalah sistemik yang serius di seluruh dunia. GLAN telah mengidentifikasi pola permasalahan serupa, yang juga terjadi pada perusahaan-perusahaan pertambangan yang beroperasi di Brasil, Peru, Guinea, dan Federasi Rusia.

Global Legal Action Network dan London Mining Network
Global Legal Action Network (GLAN) adalah organisasi independen yang dibentuk para praktisi hukum, jurnalis investigasi, dan akademisi yang mengidentifikasi dan melakukan advokasi kebijakan yang mendorong akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di luar negeri melalui kerja sama dengan organisasi internasional dan organisasi akar rumput. GLAN menyediakan platform yang penting untuk menggali dan mengembangkan strategi hukum dengan menggabungkan keahlian hukum dan investigasi. glanlaw.org

London Mining Network (LMN) adalah aliansi kelompok-kelompok hak asasi manusia, pembangunan, lingkungan hidup, dan solidaritas yang bekerja untuk hak asasi manusia, termasuk hak-hak masyarakat adat dan buruh; dan pembangunan berkelanjutan (pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri) pada masyarakat di seluruh dunia yang terkena dampak aktivitas perusahaan pertambangan yang berbasis atau didanai dari London. londonminingnetwork.org

Artikel sebelumnyaKomisioner KPU Yahukimo Nyatakan Siap Selenggarakan Pemilu 2024
Artikel berikutnyaMenolong Perjuangan Hak Orang Papua, Pilot Philip Mehrtens Harus Dibebaskan!