Oleh: Made Supriatma
Pembuh Theys Hiyo Eluay Dipromosi Jadi Ka Bais: Berita ini sungguh tidak menyenangkan. Mayjen TNI Hartomo, yang pernah dihukum karena pembunuhan terhadap pemimpin bangsa Papua, Theys Hiyo Eluay, dipromosikan menjadi Kepala Badan Inteljen Strategis.
Hartomo sebelumnya adalah Gubernur Akademi Militer (Akmil) di Magelang. Bahkan ketika diangkat menjadi gubernur Akmil, dia sudah menuai banyak kritik. Pantaskah seseorang yang pernah dihukum karena melakukan pelanggaran HAM berat diangkat menjadi pendidik utama generasi muda TNI?
Namun rupanya kritik tersebut ditanggapi dengan telinga tuli. Kini Hartomo malah mendapat promosi dan pangkatnya akan menjadi Letnan Jendral.
Pada tahun 2003, Hartomo (ketika itu berpangkat Letnan Kolonel) dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan penjara serta dipecat dari dinas militer oleh Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) III Surabaya. Dia dihukum karena terlibat dalam pembunuhan Theys.
Hartomo adalah Dansatgas Tribuana 10, sebuah Satgas Kopassus, yang bertugas di Jayapura. Theys dibunuh tanggal 10 November 2001 setelah sebelumnya diundang untuk merayakan Hari Pahlawan di markas satgas Kopassus itu. Sopir Theys, Aristoteles, hingga saat ini masih hilang.
Ironisnya, skenario pembunuhan Theys itu mirip sekali dengan skenario penangkapan Pangeran Diponegoro, pahlawan nasional Republik Indonesia. Seperti Theys, Diponegoro juga diundang ke markas tentara Belanda. Hanya saja, Belanda masih jauh lebih ‘manusiawi’. Mereka hanya menangkap Diponegoro dan mengasingkannya. Mereka tidak membunuhnya.
Ada tiga perwira lain dan dua prajurit Kopassus juga dihukum dalam pembunuhan tersebut. Mereka adalah Kapten Inf. Rionardo (Akmil 1994, terakhir teridentifikasi sebagai Komandan Brigif 1/Jaya Sakti dengan pangkat Letkol — atasan Agus Yudhoyono); Mayor Inf. Doni Hutabarat (Akmil 1990, yang pada 2008 dicopot dari jabatan Dan Yonif 731/Kabaresi dan terakhir terlihat sebagai Waasintel Kodam I/BB) ; dan Lettu Inf. Agus Suprianto (tidak teridentifikasi). Mereka masing-masing dihukum 3 tahun enam bulan penjara dan dipecat dari dinas militer.
Sedangkan dua orang prajurit Sertu Asfrial dihukum 3 tahun, dan Praka Achmad Zulfahmi juga dijatuhi 3 tahun 6 bula. Keduanya diberhentikan sebagai anggota TNI.Namun nyatanya tidak ada satupun dari perwira dan prajurit ini yang benar-benar dipecat dan dihukum. Kita tidak tahu putusan banding dan tidak pernah ada keterbukaan tentang soal itu. Yang kita tahu, orang-orang ini tetap berkarir di dunia militer dan mendapat promosi.
Hartomo sendiri kabarnya sempat lemas dan pingsan saat keputusan dibacakan. Namun, semua berakhir manis untuk dia.
Pihak militer Indonesia sendiri tampaknya tidak menganggap pembunuhan Theys itu sebagai sesuatu yang serius. Kasad saat itu, Jendral Ryamizard Ryacudu menganggap para pembunuh ini adalah pahlawan bangsa. Sekalipun mereka membunuh tanpa landasan hukum apapun — dikenal dengan istilah extra-judicial killing. Kita tahu bahwa Ryamizard Ryacudu sekarang adalah Menteri Pertahanan RI dibawah administrasi pemerintahan Joko Widodo.
Apa yang dilakukan oleh para perwira dan prajurit ini adalah pelanggaran HAM berat. Pembunuhan ini dilakukan terhadap warga negara sipil yang tidak bersenjata. Bahkan dalam hukum perang sekali pun tidak dibenarkan membunuh pihak lawan dalam keadaan menyerah dan tanpa senjata. Dalam hal ini, Theys bahkan tidak merupakan lawan dalam peperangan karena tidak pernah dideklarasikan sebagai musuh Republik Indonesia.
Sekali lagi, promosi ini menunjukkan impunitas menjadi anggota militer Indonesia.
Saya membayangkan bagaimana menjadi rakyat Papua di masa-masa seperti ini. Promosi ini seakan-akan mengukuhkan anggapan bahwa menjadi orang Papua itu memang tidak ada artinya.
Bila orang yang membunuh pemimpin Papua saja bisa mencapai kedudukan sedemikian tinggi — dan kedudukan itu dicapainya karena membunuh secara pengecut pemimpin bangsa Papua — maka masih adakah harganya menjadi bangsa Papua itu di Indonesia?
Orang Indonesia mungkin sulit mengerti ini. Namun bangsa Papua tahu persis bahwa mereka bukanlah bagian dari bangsa Indonesia. Impunitas serta keistimewaan untuk naik pangkat secara gemilang ini menjadi penanda bahwa tidak ada keadilan untuk bangsa Papua.
Sebagai konsekuensinya, tidak terlalu mengherankan kalau bangsa Papua minta merdeka. Ketika mereka minta merdeka secara damai, apa yang kita lakukan terhadap mereka?
Kita bunuh!
Bahkan pemerintah kolonial Belanda tidak melakukan hal-hal pengecut seperti ini. Mereka menangkap, mengadili, dan memenjarakan, serta mengasingkan banyak pejuang kemerdekaan Indonesia. Tetapi tidak pernah membunuhnya secara pengecut.
Jadi, kita lebih rendah dari bekas penjajah kita? Apa boleh buat, Sodara-sodara!
Penulis adalah Pengamat Militer dan Peneliti Independen