MANOKWARI, SUARAPAPUA.com — Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy menilai, situasi menjelang pemilihan anggota legislatif dan Pemilu tahun 2019 ini, Majelis Rakyat Papua (MRP) di Provinsi Papua dan Papua Barat bersama Dewan Adat Papua (DAP) mestinya dapat mendorong amandemen pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua (juga Papua Barat).
Pasal 28 yang merupakan bagian dari bab VII, mengatur mengenai bagaimana orang asli Papua (OAP) dapat membentuk Partai Politik (Parpol) dan ikut serta sebagai peserta pemilu legislatif maupun dalam mencalonkan figur calon presiden dan wakil presiden di masa depan.
“Sudah saatnya sejak sekarang ini, MRP Papua dan Papua Barat bersama DAP dapat segera mendorong amandemen atas isi pasal 28 yang menjadi salah satu syarat bagi kepentingan implementasi hak-hak politik OAP. Hal ini urgen dan mendesak terkait erat dengan aspek keberpihakan dan pemberdayaan hak-hak politik OAP dalam percaturan politik daerah (Tanah Papua) dan nasional Indonesia ke depan,” urai Warinussy.
Advokat senior HAM di Tanah Papua ini menyarankan MRP dan DAP dapat segera mempersiapkan perumusan naskah akademik dan naskah hukum bagi kepentingan amandemen pasal 28.
Menurut Warinussy, Parpol yang dimaksudkan dalam pasal 28 UU Otsus Papua tersebut sesungguhnya tidak sama persis dengan Parpol Lokal di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Oleh sebab itu, perubahan parpol di dalam pasal 28 menjadi parpol lokal Papua harus didorong.
“Sehingga titik berat sasaran dalam perekrutan untuk keanggotaan dan kandidat legislatif ke depan dari parpol lokal Papua itu haruslah OAP tanpa tujuan diskriminasi yang dikuatirkan, tetapi lebih pada aspek afirmasi bagi OAP sesuai tujuan ideal dari kebijakan Otsus sebagai implementasi dari amanat pasal 18B UUD 1945,” lanjut Warinussy.
Beberapa tahun lalu, masyarakat asli Papua membentuk parpol lokal. DPR Papua kemudian mengeluarkan peraturan daerah khusus (Perdasus) Parpol lokal. Namun, upaya itu kandas di tangan Pemerintah pusat di Jakarta. Menteri Hukum dan HAM membatalkan SK parpol lokal, Partai Papua Bersatu, sebagaimana dilansir tabloidjubi.com edisi 18 Januari 2018. Menteri Dalam Negeri juga menolak Perdasus Parpol lokal tanpa alasan jelas.
Upaya Partai Papua Bersatu mendaftarkan diri sebagai salah satu peserta pemilu ke KPU Papua, Oktober 2017 kandas. KPU tidak mau ambil risiko lantaran belum ada payung hukum yang jelas.
Alasan KPU Papua tidak mengakomodir parpol lokal bukan hal yang salah. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPU mengacu pada mekanisme dalam undang-undang dan PKPU. Sebuah parpol ada dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ketua DPP Partai Papua Bersatu, Kris Fonataba mengatakan, pihaknya mendirikan parpol lokal beberapa tahun lalu, untuk mengimplementasikan amandemen UUD 1945 dan Bab VII pasal 28 ayat 1 UU Otsus Papua, yang menyebut Orang Asli Papua berhak mendirikan partai politik.
Sementara keberadaan parpol lokal Papua berbeda dengan Aceh. Parpol lokal di Aceh diakui negara karena salah satu bagian dari perjanjian Helsinki, 2005 lalu, sehingga memiliki tiga kekuatan hukum, yakni diakomodir undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah provinsi.
Bila tidak ada upaya serius dari semua pemangku kepentingan, hampir dipastikan, salah satu amanat Undang-Undang Otsus yang akan berakhir tahun 2021 itu yaitu pembentukan partai lokal, tidak dilaksanakan.
Pewarta: Bastian Tebai