Oleh: Topilus B. Tebai
Saya mengamati ada sebuah fenomena ketidaksadaran diri dan fenomena apatis yang akut yang menurut saya lebih berbahaya dari kedunguan para pemimpin politik-pemerintahan di Papua: kegagalan rakyat Papua memahami realitasnya sehingga gagap, gugup dan terlambat merespon secara positif dan solutif perubahan yang ada.
Saya membatasi pembahasan hanya pada fenomena ketergantungan sekaligus konsumerisme yang mengikuti ‘banjir uang’ melalui beberapa saluran dari pusat ke rakyat Papua, dan fenomena oligarki dan korporatisme di sisi lain, termasuk di dalamnya, hubungan-hubungan kuasa yang dibangun antara elit Jakarta-asing dengan elit-elit lokal Papua. Beberapa kata kunci pembahasan ini adalah ketidaksadaran atas realitas, ketergantungan, konsumerisme, oligarki, koorporatisme, dan hubungan kuasa.
Ada sebuah masalah yang esensial ketika Otonomi Khusus (Otsus) Papua di dalam pelaksanaannya hanya terlihat sebagai ‘banjir uang’. Tiap desa/kampung menerima dan mengelola uang 1 miliar lebih tiap tahun, kecamatan/distrik dan kabupaten juga secara struktural menerima dan mengelola dana besar. Masalah mendasar itu adalah, peredaran uang yang amat banyak itu justru menghasilkan rakyat Papua yang ‘sakit’ ketergantungan, konsumerisme, dan yang lebih kronis: tidak ‘move on’ menjadi masyarakat produktif.
Memang kita paham tujuan Jakarta baik, seperti yang selama ini selalu disampaikan: ‘banjir uang’ dimaksudkan agar rakyat Papua bangkit dari ketertinggalan. Sudah lebih dari 17 tahun Otsus berjalan namun pembangunan dan pertumbuhan ekonomi statistiknya tidak berkembang signifikan. IPM rakyat Papua masih rendah. Seperti biasa, pusat menyalahkan daerah yang kurang kontrol, evaluasi. Gubernur menyalahkan kabupaten, kabupaten ke distrik dll. Tapi ketika pejabat Papua korup, menyimpang, atau katakanlah, ada yang tidak beres baik secara konsep maupun realisasi kebijakan yang dirumuskan, dengan ketakutan disintegrasi, negara diam dan membiarkan semua yang tidak beres tumbuh dan berkembang dalam tubuh Otsus menjadi penyakit kronis yang akut hari ini.
Lalu kita bertanya: mengapa pejabat Papua begitu korup? Mengapa rakyat Papua jadi konsumtif ketika ada ‘banjir uang’ dan bukan produktif? Jawabannya Papua bukanlah Jakarta! Ada perjalanan peradaban masing-masing, baik rakyat Papua dan rakyat Jakarta, yang membentuk realitas masyarakat kedua wilayah itu hari ini. Memang terdengar abstrak, tapi mestinya itu dulu yang penting dipahami agar tidak membabibuta membuat kebijakan yang tidak dilandasi analisa realitas agar paham tentang dari mana hendak menuju kemana. Rakyat Papua tidak seperti kebanyakan rakyat Jakarta yang pruralis, mengandalkan pasar sebagai orientasi ekonomi, mengenal Iptek dan maju pendidikannya sehingga mampu melihat ‘banjir uang’ bagai oasis, sumber modal bagi pengembangan kapasitas usahanya.
Rakyat Papua baru saja keluar dari hidup mengandalkan alamnya yang kaya-raya sebagai sumber semua kebutuhan hidup (rakyat Papua konsumtif ketika mengandalkan alam), yang diikuti oleh belum sampainya kualitas hidup yang produktif. Oleh karenanya, ada semacam sikap mental dari rakyat Papua yang ingin ada semacam/sejenis alam yang mampu berposisi sebagai mama/ibu yang mampu memberi segalanya bagi mereka (sikap mental bergantung/tidak mandiri) di zaman ini (diperparah oleh pendidikan dan kebijakan pemerintah yang tidak mampu menjadi sosusi bagi permasalahan ini). Konsumerisme adalah turunan dari sikap mental di atas. Masalah mendasarnya adalah: ‘banjir uang’ tadi telah menjadi semacam ‘alam/hutan’ baru bagi rakyat Papua, dimana mereka dapat menggantungkan kehidupannya. Banyak contoh kongkret bila kita ingin untuk memahami dalil ini. Pergeseran cara pandang ini dijembatani dengan baik oleh ketidakketatnya sistem pelaksanaan Otsus, lemahnya memahami konsep otonomisasi, lemahnya audit atas dana Otsus dan lemahnya peran KPK, sistem pendidikan yang goblok, pemerintahan yang tidak mampu melihat persoalan mendasar, dan seterusnya (sangat banyak).
Maka ketika doktor Antrolopogi dari Unipa, I Ngurah Suryawan, melalui karya-karya tulisnya mengemukakan pada kita seberapa ganasnya siasat-siasat yang dijalankan oligarki ekonomi-politik yang terdiri dari para elit politik lokal Papua yang masing-masing membangun relasi kuasa yang saling menguntungkan dengan kubu-kubu di Jakarta dengan sikap ‘menghamba Jakarta menjilat rakyat Papua’, kita akan segera mengerti dengan baik dalil di atas. Maraknya pemekaran, maraknya pengerukan kekayaan alam Papua dimana elit politik lokal justru menjadi makelar investasi kapitalis, dan bagaimana sandiwara politik lokal (Pileg dan Pilkada) berjalan penuh intrik (serangan fajar) baik di tingkat kabupaten-kota dan provinsi; Upaya elitnya membentuk kubu-kubu oligarki/dinasti kekuasaan yang memunyai garis hubungan hingga ke Jakarta, yang justru terjadi di depan mata rakyat Papua tanpa banyak protes/kontrol karena merasa ‘aman-aman saja’ selama uang sebagai sumber kehidupan mereka (yang menggantikan posisi alam tadi) ada di tangan mereka; semua itu adalah contoh bagaimana ampuhnya siasat Jakarta dengan satu kata kunci tadi: ‘banjir uang’. Sayangnya itu terjadi justru di saat tanah, hutan dan semua kandungannya yang diabaikan rakyat Papua itu sudah dan sedang dirampok dan dijarah tanpa ampun oleh oligarki kekuasaan kapitalis (Jakarta-asing) melalui makelarnya (elit lokal).
Karena setelah 17 tahun berjalan, bila kita tengok kembali, dalam pelaksanaannya Otsus gagal total dalam hal lain kecuali yang satu itu: ‘banjir uang’. Lalu, apakah ‘banjir uang’ adalah politik Jakarta? Iya! Tujuannya mengikat walayah serta rakyat Papua agar tetap dalam NKRI dan di saat yang sama, duet Jakarta-asing mengeksploitasi sumberdaya alamnya. Dalam politik nasional, ketika menempatkan dan membaca Papua dari kacamata sejarah, kebijakan Otsus (banjir uang) adalah semacam tali pengikat rakyat Papua yang hendak membentuk negara sendiri lepas dari NKRI.
Lalu bagaimana kita membaca Jakarta sebagai yang melahirkan Otsus itu hari ini? Kursi Presiden dan DPR dapat kita baca sebagai semacam ‘dua pintu kunci’ keberhasilan eksploitasi dan ekspansi ekonomi oleh relasi ekonomi global-Indonesia. Di tubuh NKRI hari ini telah bercokol bibit-bibit busuk kapitalisme yang membentuk oligarki kekuasaan, koorporasi-koorporasi bisnis, dan pertarungan-pertarungan ekonomis yang hanya saja memilih panggung politik sebagai panggung pertarungan karena hukum permainannya adalah menguasai ‘dua pintu kunci’ tadi.
Bagaimana solusi ke depan? Tentu saja rakyat Papua harus tegas menentukan sikap politiknya hari ini. Solusi terbaik adalah kemerdekaan politik rakyat Papua, lepas dari pemerintahan NKRI dan membentuk negara sendiri. Inilah solusi terbaik bagi keselamatan hidup rakyat Papua di masa-masa mendatang, agar rakyat Papua berkesempatan menata kembali kehidupannya, ekonominya, pendidikannya, agar menjadi saluran-saluran legal bagi transformasi rakyat Papua menaiki tangga peradaban.
Solusi yang lebih praksis hari ini, sebetulnya kita tidak dapat berharap banyak kepada dua kandidat gubernur Papua dan pemerintahan provinsi Papua Barat hari ini. Dalam tayangan debat kandidat bagi dua kandidat gubernur Papua di TV nasional beberapa waktu lalu, kita mendengar dengan geli sebuah gambaran kedangkalan para pemimpin kita dalam memahami, tidak usah yang berat, sebut saja mereka bahkan kurang mampu menetapkan jenis kemiskinan apa yang ada di tubuh rakyat Papua hari ini. Karena tentu saja memahami sakit/diagnosa sakit adalah langkah pertama sebelum menentukan jenis obat apa yang paling pas. Seperti sebelum-sebelumnya, saya yakin mereka akan tetap mengandalkan sektor Migas, kehutanan, dan perkebunan sawah-sawit sebagai basis utama pendapatan asli daerah. Itu artinya investasi lagi, penambahan militer lagi unt jaga modal, dan seterusnya.
Dalam situasi seperti hari ini, entah mengapa, saya malah mengharapkan sebuah krisis. Krisis finansial, bisa karena karena perang, krisis karena Otsus berakhir dan ‘banjir uang’ ikut berakhir, tak masalah, apa pun itu. Krisis itu, dalam pemahaman saya, tidak akan menjadikan rakyat Papua yang hidup di atas tanahnya menderita. Mungkin terdengar idealis, tapi krisis itu saya percaya akan menjadi alat buat rakyat Papua memahami realitasnya bahwa mereka tidak miskin absolut karena mereka punya otak (hanya saja realitas di sekitarnya memanja sehingga otak tidak diperas untuk menghasilkan perubahan) dan punya tanah yang di atasnya ada sumber daya alam yang kaya. Krisis itu akan membuat rakyat Papua terbuka matanya buat melihat jenis penyakit akut yang membuat mereka jauh dari modal kehidupan (tanah, hutan dan alam yang dirampok habis-habisan) mereka. Krisis itulah yang akan bikin rakyat Papua mulai terangsang berpikir produktif, karena sudah lebih dari 60 tahun lamanya rakyat Papua telah merekam berbagai contoh aktivitas produksi yang dijalankan saudara-saudara mereka dari luar Papua di tanah airnya sendiri. Krisis itulah yang akan menjadikan rakyat Papua mengalami revolusi mental menuju masyarakat produktif berkarya.
Produktivitas rakyat Papua tentu saja tidak akan lari jauh dari tanah dan semua yang mereka hasilkan dari tanah, hutan dan segalanya yang mereka ambil dari hutan, ternak dan semua yang dapat mereka lakukan dari ternak. Saya percaya krisis akan menjadi jembatan bagi rakyat Papua memasuki era industrialisasi. Zaman dimana otak diperas buat berpikir produktif dan pendidikan, kebijakan publik pemerintah dan kebijakan ekonomi betul-betul menjadi saluran/jembatan yang baik bagi berkembangnya produktivitas masyarakat. Tapi, apakah krisis jenis ini akan terjadi di dalam NKRI?
Penulis adalah mahasiswa Papua, kuliah di Semarang.