OAP Melawan Rasisme Implisit Penyelenggara Negara!

0
1393

Oleh: Yosef Rumaseb)*

Bila demo-demo di Tanah Papua dilakukan hanya untuk menentang ucapan rasis oknum-oknum di Surabaya saja, mengapa terjadi aksi aksi anarkis terhadap simbol-simbol negara dan pembangunan seperti bakar kantor pemerintah, Kantor MRP, Kantor DPR, objek vital seperti Telkom, pusat ekonomi, hotel, melawan aparat, naikkan bendera Bintang Kejora dan menuntut campur tangan PBB untuk melakukan referendum?

Analisa yang lumrah kita temukan di ruang publik adalah kasus ujaran rasis di Surabaya adalah pemicu luapan akumulasi masalah politik, hukum, HAM, ekonomi maupun sosial budaya. Dan diduga ada peran provokator.

Pertanyaan berikut, ketika protes anti-rasisme dilampiaskan dengan pengrusakan simbol-simbol negara dan pembangunan, apakah itu memberi indikasi akan adanya rasisme yang dilakukan penyelenggara negara RI terhadap orang Papua?

Topik ini sejak tahun 1980-an dikaji oleh almarhum Dr. George J. Aditjondro dari perspektif kebudayaan.

ads

Baca Juga: Harga Bensin Eceran Tembus Rp50 Ribu/Liter di Kota Jayapura

Konteks kebudayaan di Papua pada akhir dekade tahun 1980-an ditandai dengan pembunuhan budayawan Papua Arnold Ap yaitu budayawan yg membangkitkan kesadaran identitas Papua melalui musik dan cerita rakyat dengan grup musik Mambesak dan acara pelangi budaya di RRI Jayapura.

Juga hingga dekade 1980-an, Papua masih merupakan Daerah Operasi Militer di mana terjadi banyak pelanggaran hak azasi manusia tanpa upaya penyelesaian secara hukum.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Hubungan masyarakat adat dengan investasi besar juga ditandai dengan pengamanan aparat yang berpihak pada investor dan membelakangi masyakat adat. Terjadi banyak pelanggaran hak azasi manusia.

Dr. Aditjondro mengumpulkan banyak data dari kampung-kampung melalui jaringan kerja Yayasan Irja Disk (kini YPMD). Juga melalui jaringan kerja Fakultas Antropologi Uncen.

Semua data kebudayaan dan pelanggaran HAM itu dikaji dengan alat analisa yg dibangun dari pengalaman bangsa-bangsa terjajah lain baik di Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Hasil kajian itu dipresentasikan beliau dalam satu diskusi dengan mahasiswa Irja tahun 1989.

Untuk mempersingkat tulisan ini, saya abaikan beberapa definisi misalnya tentang apa itu rasisme dan langsung membahas analisa Dr. Aditjondro.

Aditjondro membagi rasisme menjadi dua kategori. Yaitu rasisme eksplisit dan rasisme implisit. Rasisme explisit terjadi terang-terangan dengan membuat segrasi atau pemisahan/perbedaan berdasarkan warna kulit dan tertuang dalam UU yg berlaku. Misalnya apartheid di Afrika Selatan yang ditentang oleh Nelson Mandela. Juga segregasi berdasarkan warna kulit di Amerika pasca perbudakan yang ditentang oleh misalnya Pdt Dr. Martin Luther King, Jr. Segregasi serupa pernah dialami Indonesia di luar Papua pada jaman kolonial Belanda.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Segregasi dibuat dalam penggunaan fasilitas publik. Ada yang khusus buat kulit putih, kulit berwarna dan kulit hitam. Tidak boleh bercampur. Dan fasilitas terburuk diperuntukan untuk ras kulit hitam. Jika orang kulit hitam menerebos segregasi itu maka hukumannya bui atau mati.

Segregasi rasis secara eksplisit seperti itu tidak terjadi di Papua.

Menurut Aditjondro, yang terjadi di Papua adalah rasisme implisit melalui hirarki kebudayaan.

Aditjondro menggunakan analisa hirarki kebudayaan yang dikembangkan oleh Frantz Fanon dari Aljazair dalam membedah interaksi budaya antara penduduk asli Aljazair dengan penjajah Perancis.

Menurut kajian Frantz Fanon yg digunakan oleh Aditjondro untuk membedah masalah Papua, ada hubungan rasis antara warna kulit, kebudayaan dan penghargaan terhadap kemanusiaan suatu bangsa. Makin putih suatu ras, makin dinilai berbudaya dan makin dipandang sebagai manusia. Makin hitam, makin tidak berbudaya, makin dianggap sebagai binatang.

Semakin hitam suatu ras, semakin diperlakukan seperti binatang yang tidak memiliki hak hukum sebagai warga negara. Tidak ada proses hukum jika hak asasi mereka dilanggar dalam berbagai bentuk.

Aditjondro menyimpulkan bahwa hirarki kebudayaan diterapkan dalam kebijakan negara di Papua sejak awal. Manusia Papua berkulit hitam dan kebudayaannya pada hirarki itu dianggap paling rendah. Sagu dan makanan lokal dianggap rendah dan diganti dengan nasi. Pakaian tradisional diwakili oleh koteka diberantas dan diganti. Pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperkaya penduduk asli malah sebaliknya orang asli jadi penonton.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Paling parah adalah berbagai pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang Papua tidak diselesaikan untuk memberi rasa adil secara hukum bagi OAP sebagai WNI.

Mengapa?

Aditjondro menyimpulkan berdasarkan hirarki kebudayaan itu bahwa OAP ditempatkan pada hirarki terbawah yg lebih mendekati binatang yang hak hukumnya dinilai penyelenggara negara tidak layak dihormati. Itu sebabnya, tidak ada langkah serius pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah HAM di Papua secara hukum.

Pada konteks demikian, resolusi konflik terhadap protes anti-rasis di Papua tidak cukup dijawab hanya dengan tangkap pelaku rusuh, proses tersangka ujaran rasis, pembatasan internet, pemulihan keamanan dan janji membangun orang Papua saja tetapi juga harus ada skema dan komitmen yang jelas dari pemerintah pusat untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM secara hukum untuk memberi rasa adil bagi OAP. Penyelesaian masalah HAM dari akarnya.

)* Penulis adalah anak kampung. Tinggal di Biak

Artikel sebelumnyaHarga Bensin Eceran Tembus Rp50 Ribu/Liter di Kota Jayapura
Artikel berikutnyaDua Mahasiswa Papua Ditangkap dan Ditahan di Polda Metro Jaya