St. Fransiskus Asisi dan Perdamaian di Papua

0
2259

Oleh: Wilhelmus I. Gonsalit Saur, OFM)*

Santo Fransiskus Asisi adalah salah satu figur penting dalam sejarah Gereja Katolik yang pestanya dirayakan setiap tanggal 04 Oktober.  Ia lahir di Asisi, Italia, pada tahun 1181 dan meninggal pada tahun 1226. Orang tuanya adalah pedagang kain yang cukup terkenal hingga ke Perancis.

Secara sosial, keluarga St. Fransiskus berasal dari kelas bawah (minor) tetapi karena kerja keras orang tuanya, mereka termasuk orang yang cukup kaya. Fransiskus hidup dalam konteks perbedaan kelas sosial dan ekonomi di Kota Asisi, Italya. Ada perbedaan yang tajam antara bangsawan dan kelas bawah, antara orang kaya dan miskin, terbuang dan terlantar. Orang-orang kusta tidak dibiarkan hidup dalam tembok kota. Mereka disingkirkan dan dibuang di luar tembok kota.

Pada 29 November 1979, Paus Yohanes Paulus II menjadikan St. Fransiskus Asisi sebagai “Pelindung Ekologi” (Patron of Ecology). Pada 18 Juni 2015, Paus Fransiskus menerbitkan “Ensiklik Laudato Si”  tentang “Perawatan Rumah Kita Bersama” (On the Care for Our Common Home) yang terispirasi dari tulisan St. Fransiskus “Gita Sang Surya”. Gita Sang Surya merupakan ungkapan pujian dan syukur kepada Pencipta dari St. Fransiskus.

Selain sebagai Pelindung Ekologi, Fransiskus terkenal sebagai  seorang pembawa damai. Doa “Tuhan Jadikanlah Aku Pembawa Damai” (Lord, make me an instrument of your peace) diyakini berasal dari St. Fransiskus Asisi karena kecintaannya pada perdamaian.

ads
Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

St. Fransiskus pada masa mudanya bercita-cita menjadi seorang ksatria, tentara, demi untuk meraih kemuliaan dalam peperangan. Ia hidup dalam situasi perang. Ia terlibat dalam perang antara kota Asisi dan Perugia. Namun sial, ia menjadi tawanan perang selama setahun di Perugia. Pengalaman menjadi tawanan perang secara berlahan mengubah arah hidup dan pencarian makna hidupnya.

Dalam perjalanan waktu, ia tidak lagi melihat perang sebagai pilihan untuk menyelesaikan persoalan dan perbedaan. Ia beberapa kali justru menjadi juru damai antara Uskup dan Walikota, bahkan ia pergi menjumpai Sultan Mesir, Malik al-Kamil,  untuk sebuah misi perdamaian pada saat perang Salib pada tahun 1219. Pada 2019 ini diperingati 800 tahun perjumpaan antara St. Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil dengan tujuan untuk terus membangun dialog dan perdamaian.  

St. Fransiskus Asisi terus menginspirasi para Fransiskan dan Gereja untuk menjadi pembawa damai.  Pada 27 Oktober 1986,  Paus Yohanes Paulus II memprakarsai  pertemuan para pemimpin agama sedunia untuk perdamaian dunia untuk pertama kali dan diadakan di Asisi, kota kelahiran St. Fransiskus. Dalam rangkah merayakan “The Spirit of Assisi” yang ke-30, pada 20 September 2016, Paus Fransiskus kembali mengundang para pemimpin agama ke Asisi untuk berdoa bagi perdamaian dunia.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Situasi kita saat ini diwarnai begitu banyak perbedaan pendapat, sudut pandang, yang mengakibatkan konflik di tengah masyarakat. Konflik itu telah melahirkan duka dan penderitaan yang dalam. Rasa kemanusiaan kita lenyap oleh karena perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu tidak selayaknya diselesaikan dengan kekerasan dan saling merendahkan martabat kemanusian.

Di tengah situasi konflik seperti ini kita membutuhkan “pembawa damai”. Kita bangga dengan orang-orang sederhana yang tanpa kepentingan apa pun, selain kepentingan kemanusiaan, membantu sesama tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan yang ketakutan dan kehilangan segalanya dalam konflik di Papua.

Kita tidak bisa hidup terus dalam konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan telah melahirkan banyak penderitaan bagi kemanusiaan. Ia bisa melahirkan kemarahan, dendam, kebencian, ketakutan, dan kekerasan baru. Sebagai sebuah Persaudaraan Universal, Gambar dan Citra Allah Pencipta, kita semua, betapa pun pahit dan sulitnya, pilihan membangun perdamaian adalah pilihan untuk menghargai martabat kemanusiaan dan perhargaan kepada Pencipta Semesta. Uskup Desmond Tutu dari Afrika Selatan meyakini: No Future Without Forgiveness (tiada masa depan tanpa pengampunan). Kemampuan untuk mengampuni dan rekonsiliasi merupakan sebuah rahmat yang dianugerahkan Allah di tengah konflik kekerasan dan perendahan martabat manusia. Karena itu kita memohonnya kepada Allah yang penuh kerahiman dan belaskasih.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Kita berharap  agar St. Fransiskus dari Asisi bisa terus menginspirasi kita semua untuk membangun perdamaian, rekonsiliasi dan pengampunan di tengah situasi konflik, penderitaan, keterlukaan dan kehilangan orang-orang yang kita kasihi. Semoga Doa Damai Santo Fransiskus Asisi membantu kita untuk membangun Persaudaraan Semesta: Kita adalah Saudara dan Saudari satu sama lain dalam kasih Allah.   

DOA DAMAI SANTO FRANSISKUS ASSISI

Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai-Mu.

Bila terjadi kebencian,
Jadikanlah aku pembawa cinta kasih;
Bila terjadi penghinaan,
Jadikanlah aku pembawa pengampunan;
Bila terjadi perselisihan,
Jadikanlah aku pembawa kerukunan;
Bila terjadi kebimbangan,
Jadikanlah aku pembawa kepastian;
Bila terjadi kesesatan,
Jadikanlah aku pembawa kebenaran;
Bila terjadi kecemasan,
Jadikanlah aku pembawa harapan;
Bila terjadi kesedihan,
Jadikanlah aku pembawa kegembiraan;
Bila terjadi kegelapan,
Jadikanlah aku pembawa terang.

Tuhan, semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur,
memahami daripada dipahami,
mencintai daripada dicintai.
Sebab dengan memberi, aku menerima;
dengan mengampuni, aku diampuni;
dengan mati suci aku bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya.
Amin.

)* Penulis adalah pastor Fransiskan Keuskupan Jayapura, Papua

 

Artikel sebelumnyaKNPB Minta Tahanan Politik Papua Tidak Dipindahkan ke Kaltim
Artikel berikutnyaBupati Yahukimo Kunker ke Distrik Nalca Hadiri Tiga Kegiatan