Rasisme Papua Di Antara Fakta dan Hoax

0
1909

Oleh: Thosiro Narahawarin)*

Suatu kejadian adalah fakta. Tetapi kejadian atau peristiwa tersebut bilah dipublikasikan di media sosial akan menjadi dua berita yakni diantara fakta atau hoax. Antara fakta dan hoax sama-sama menjalankan misi yang sama pula yaitu untuk meyakinkan publik bahwa kejadian itu benar-benar terjadi. Jika fakta dan hoax dianalogikan, maka keduanya bersifat positif-negatif, baik-buruk, pro-kontra dan berlaku setan- manusia yang sering berlawanan arah.

Banyak di antara kita telah menjadi korban dari berbagai media yang sering kita menonton, mendengar bahkan mengalami sediri dari berbagai peristiwa yang sudah disajikan di antara kita yang runtun telah sedang dan akan terus terjadi di tanah air kita dan diperdebatkan kebenaranya yakni rasisme.

Rasisme atau rasialitas adalah musuh dunia yang sudah lama terjadi puluhan ribuh tahun silam dari berbagai bangsa hingga nyata di tanah air Indonesia secara nyata terjadi menimpah masyarakat terbela dua. Maka tindakan rasialitas yang terjadi tanpa henti di tanah Papua khususnya dan Indonesia ummnya adalah fakta seperti fakta rasisme yang terjadi di Surabaya dan sekitarnya pada 17 Agustus lalu berakibat buruk menggoncangkan seluruh tanah Papua, Indonesia bahkan dunia dan terus berlanjut hingga terjadi di Wamena baru-baru ini ( Cepos, 23/09/19).

Berita demikian berkembang cepat karena telah tersebar dalam masyarakat atau khalayak tentunya dapat diketahui melalui hubungan komunikasi secara verbal maupun nonverbal (media masa). Komunikasi media masa menjadi penyalur informasi yang akan diteruskan menyediakan berbagai informasi kepada publik sebagai konsumen dan kemudian menjadikannya sebagai suatu jawaban yang dapat diterima sebagai kebenaran atas peristiwa tersebut atau bohong (hoax).  Pada titik inilah nilai kebenaran dari suatu kejadian akan dinilai berguna  atau mulai mengambil tempat yang sekiranya sudah tidak semestinya.

ads

Hal ini yang kemudian dinamakan dengan HOAX (berita bohong) karena bukan satu kejadian yang jelas dari  informan yang memberi informasi tanpa keterangan jelas dari satu narasumber dan  satu pemberitahuan, dengan demikian dapat mengurangi nilai kebenaran atau validitasnya informasi yang ada. Maka kita sebagai manusia berakal budi, sikap kritis menjadi utama dalam memilah kebenaran diantara beragam informasi yang berisi fakta dan hoax. Kita tahu bahwa fakta (factus) adalah  segala sesuatu yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia sebagai keadaan nyata yang terbukti serta telah menjadi suatu kenyataan. Atau sering kali disebut fakta sebagai suatu hasil pengamatan yang objektif  karena dapat diperifikasi kebenarannya oleh siapa pun dimana pun dan kapan pun. Sementara berita bohong atau hoax memuat berita yang sifatnya tidak benar tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Jadi hoax bisa disimpulkan sebagai berita hasil buatan (manipulative) dari orang dengan sadar atas dasar  kehendak dan kesadaran (tahu dan mau) dengan misi terselubung.

Baca Juga:  Enam Desakan Cipayung Menyikapi Kasus Teror Bom Molotov di Kantor Jubi

Bangsa Papua adalah Bangsa yang cinta damai dan tingginya sikap sosialis yang sudah lama dijaga dan dilestarikan secara temurun menjaga kedamaian. Namun kedamaian itu seakan direbut dari tangannya dengan rasa sakit yang mendalam panjang. Sehingga rasa sakit ini terus dipendamnya sampai tak tahan dan kini ia mengungkapkan rasa sakitnya kepada setiap mata dan telinga pemerintah bangsa ini dalam bentuk rasialitas.

Kejadian RASIS yang baru-baru terjadi terhadap mahasiswa Papua bukanlah suatu accident, melainkan ini adalah peristiwa yang mengangkat. Kejadian ini bukanlah hal yang baru saja terjadi, melainkan hanya saja baru diangkat ke permukaan untuk didengarkan oleh khalayak baik pemerintah maupun masyarakat di berbagai pelosok Negara ini. Dengan satu persoalan ini, telah menjadi goresan yang membuka luka-luka lama yang selama ini di pendam. Sehingga untuk mengobati luka-luka ini, sebagai solusi atas semua kejadian ini adalah seperti peribahasa latin, vox populi vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) perlu didengarkan keluhan dan menjawabnya sesuai kebutuhan bukan sebaliknya.

Di lain sisi juga  pemerintah tidak boleh hanya melakukan dialog kepentingan dengan kalangan atas tetapi harus dilakukan dialog di berbagai lapisan masyarakat, agar dengan demikian terjadi musyawarah untuk mufakat demi terciptanya keadilan sosial ditengah-tengah masyarakat Papua juga pada umumnya.

Berbagai kejadian yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya terkait dengan kasus Rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya dan baru-baru ini kembali terjadi di Wamena di kalangan siswa yang juga telah dilansir di berbagai media sosial adalah kejadian yang memang terjadi sebagai sebuah fakta yang nyata.

Dikatakan fakta karena dari kejadian tersebut telah terjadi banyak akibat yang bisa kita saksikan yang merugikan destruktif maupun konstruktif membangun yang boleh kita dengar, lihat, saksikan bahkan alami sendiri pada setiap kejadian.  Maka itu Fakta  menjadi benar-benar nyata dan benar-benar terjadi, karena meskipun suatu pemberitaan adalah HOAX. Karena  pemberitaan itu tidak dapat mengubah kejadian yang telah terjadi. Pemberitaan yang palsu atau HOAX hanya mampu mengubah cara pandang orang, namun kejadian yang telah terjadi tetaplah sama sebagai fakta. Maka berbagai kejadian yang terjadi di seluruh tanah Papua adalah fakta karena adanya rasisme yang sudah sekian lama tumbuh subur di nusantara ini.

Baca Juga:  Program Transmigrasi dan PSN Ancam Hak Hidup Masyarakat Adat Papua

Dengan menggunakan pola pikir seperti ini, kita sudah dapat mengambil kesimpulan sendiri bahwa kejadian RASIS perlu untuk ditanggapi dan mengakui sebagai kebenaran atas fakta bukan hoax yang selalu ditanggapi dengan hati yang panas dengan presepsi atas dasar kepentingan. Yang dimaksudkan adalah kita yang lahir dan besar di bumi Papua ini, tidak memiliki pola pikir yang sama dengan mereka diluar Papua, dikarenakan kita telah tinggal dan hidup bersama-sama dalam situasi yang damai sosialis. Untuk menjaga kedamaian dan sekaligus menanggapi aksi RASIS, peristiwa yang telah terjadi akhir-akhir ini dapat diselesaikan dengan membuktikan bahwa kami masyarakat Papua tidak serendah seperti yang mereka pikirkan. Cara yang seharusnya kita gunakan untuk mencari jalan keluar adalah dengan berbagai cara diluar kekerasan, karena kekerasan tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan. Analoginya adalah seperti magnet yang takkan saling bertemu jika keduanya berhadapan dengan kutub yang sama, tetapi apakah jika masyarakat Papua hanya berdiam diri tanpa perlawanan yang sama dan yang telah dilakukan ORMAS diluar Papua terhadap anak-anak Papua, apakah semua ini akan berakhir? jawabannya ada pada solusi yang ditawarkan kepada masyarakat Papua.

Kita semua menginginkan kedamaian dan hal itu yang saat ini sedang diperjuangkan oleh setiap manusia Papua, dan jawaban yang diterima oleh masyarakat Papua adalah Solusi untuk mencapai jawaban atas masalah yang telah dan masih terjadi. Lalu saat ini kita semua sudah bisa melihat jawaban dari pemerintah, yakni adalah dengan mengirimkan alat negara (miter) sebagai  kekuatan yang  disebut sebagai jawaban pemerintah  untuk menjaga ketahanan Negara. Lalu kemudian pemerintah pusat mengharapkan agar masyarakat Papua mencari jalan damai sementara kedatangan militer menjadi pemicu problema baru. Maka kekerasan yang dipakai alat negara sebagai jalan keluar menuju kedamain tersebut tak mampu menebus hati rakyat. Menurut seorang Filsuf bernama Thomas Hobbes dengan pernyataannya homo homini lupus, atau “manusia adalah serigala bagi manusia lain”, sehingga untuk menyadari kodrat manusia sebagai makhluk sosial, disitulah fungsinya adanya suatu Negara.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua di Sulut Rayakan Hut Papua Dengan Seminar dan Doa Bersama

Solusi tanpa Polusi layaknya moto pegadaian mengakhiri masalah tanpa masalah. Namun masalah itu telah menjadi jamak sehingga perlu penanganan yang lebih bernilai dan bertujuan baik, untuk itu harus melalui cara-cara yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Jangan menunggu sampai semua ini berlalu begitu saja, karena akan tetap meninggalkan bekas luka baru. Untuk itu harus ada gerak cepat, demi kebaikan banyak orang baik pihak korban maupun masyarakat lain yang menjadi korban pelampiasan amarah. Jangan ada kata nanti untuk berbuat baik, karena kebaikan itu tidak menunggu nanti, melainkan disaat apapun, dimanapun, dan kapanpun kebaikan itu selalu hadir sebagai yang utama.

Untuk menjaga dan menghadirkan damai di Tanah Papua ini, marilah kita bersama mulai dari manusianya terlebih dahulu, jangan hanya terikat pada politik pembangunan, melainkan dengan mencintai sesama kita manusia seperti diri kita sendiri atau kelompok kita masing-masing di berbagai lini kehidupan, seperti yang dikatakan oleh filsuf Blaisse Pascal bahwa yang lebih penting dari rasio atau pikiran yang kritis adalah hati, karena hati mempunyai alasan yang tidak dipahami oleh akal atau pikiran kita.

Akhir kata jangan menunggu waktu yang tepat untuk berbuat baik, karena waktu itu tidak pernah tepat bagi mereka yang masih terus menunggu untuk berbuat kebaikan. Dengan demikian, mengambil sikap yang kritis, kita bukan lagi memanjakan diri dengan menerima informasi tetapi juga menelaah informasi yang datang. Sikap ini bukan lagi diluar kehendak kita, karena dengan bersikap seperti ini kita telah mengambil bagian sebagai makhluk yang berpikir, seperti semboyan yang dikemukakan oleh para filsuf dengan sebutan Cogito Ergo Sun, “saya berpikir maka saya ada”.  Bahwa kita sebagai makhluk yang berpikir dan berkehendak bebas tentunya harus selalu berada dalam rana berpikir yang kritis dapat membantu kita mengurangi sikap keraguan dan  juga dapat membantu kita untuk memberitakan kebenaran yang sebenar-benarnya atas dasar fakta.

 

)* Penulis adalah mahasiswa Semester III di STFT Fajar Timur Abepura -Papua

Artikel sebelumnyaMenyusuri Historis Rasis Terhadap Orang Asli Papua
Artikel berikutnyaKetika Hoax dan Provokasi Menjadi ‘Kambing Hitam’ di Papua