Sejak Dibuka, Posko Ko MaSi Papua Sudah Terima 20 Aduan

0
1196

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Posko Ko MaSi, Papua untuk Semua yang dibuka pada 9 September lalu telah menerima 20 aduan. Rata-rata aduan adalah tentang makar dan UU darurat.

Hal tersebut diungkapkan Antoni Ibra, staf Alinasi Demokrasi untuk Papua (ALDP) yang ditemui suarapapua.com di Posko, Rabu (8/11/2019) di Padang Bulan, Abepura.

Ibra menjelaskan, di Ko MaSi Papua untuk Semua mempunyai dua tim advokasi, tim yang menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan letigasi dan non-letigasi.

Letigasi berkaitan dengan pendampingan melalui jalur hukum. Dan non-letigasi merupakan penanganan terhadap korban dan pengaduan bantahan.

Kata Ibra, Perkumpulan Advokat Ham (PAHAM) Papua dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menangani kasus-kasus yang bisa diselesaikan lewat jalur letigasi dan tim di non letigasi menangani kasus-kasus yang bisa diselesaikan di luar pengadilan.

ads

“Dalam proses penanganannya, tim letigasi tangani yang tersangka dalam proses hukum dan yang non letigasi menangani korban. Hingga saat ini kami sudah terima 20 aduan.  Sedangkan informasi lain yang diterima lewat telepon, Ko MaSi Papua juga sudah banyak menerima aduan. Aduan tentang Makar dan UU Darurat mendominasi puluhan laporan itu,” katanya.

Baca Juga:  Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

Ibra mengatakan, pihaknya menilai  proses penegakan hukum di Tanah Papua belum berjalan dengan baik.

“Proses penangkapan sendiri sudah menyalahi aturan administrasi. Karena banyak penangkapan yang dilakukan tanpa surat penangkapan,” jelasnya.

Ia membeberkan, beberapa tahanan yang kena luka tembak tidak dilakukan penanganan medis sebelum ditahan. Hingga saat ini, kata dia, ALDP mengecek tahanan-tahanan yang kena luka tembak lalu merujuk ke rumah sakit untuk ditangani pihak medis.

Terkait  tujuh tahanan politik yang dibawah ke Kalimantan, Koalisi menilai polisi menyalahi prosedur. Karena kasusnya terjadi di Jayapura, maka para tahanan politik menjalani masa tahanan dan masa persidangan di Jayapura.

“Kalau mereka dibawah ke Kalimantan, polisi salahi aturan. Selain itu psikologi para tahanan politik bisa terganggu,” katanya.

Ibra berharap, dengan adanya ALDP dan Koalisi tumbuh roh-roh yang menjiwai organisasi masyarakat akar rumput untuk membela hak-hak masyarakat yang mendapatkan penindasan dan ketidak adilan.

Baca Juga:  PGGY Kebumikan Dua Jasad Pasca Ditembak Satgas ODC di Dekai

“Kita akan tetap bekerja untuk masyarakat agar mendapatkan perlindungan dan setiap pribadi dapat dihargai secara manusiawi dan bermartabat di Tanah Papua,” harapnya.

Baca Juga: KMS Resmi Buka Posko untuk Korban di Papua

Sebelumnya, Sem Awom, dari KontraS Papua mengatakan, tidak adanya transparansi dari pemerintah terkait jumlah korban luka maupun jiwa baik dari peristiwa di Jayapura maupun di Deiyai dan beberapa kota lainnya di Papua menunjukkan bahwa pemerintah terkesan secara sengaja melakukan praktek-praktek diskriminasi terhadap korban dan keluarga korban di Papua.

“Terkesan pemerintah lebih peduli pada kerusakan materil ketimbang keadilan bagi korban luka dan meninggal. Ini menjadi deret panjang impunitas bagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang serius, seperti perampasan hak hidup, di Tanah Papua,” kata Sem.

Organisasi-organisasi HAM di Papua, nasional, dan internasional telah berulang kali menyerukan adanya investigasi independen, imparsial, dan efektif atas kasus-kasus dugaan pembunuhan di luar proses hukum demi terwujudnya keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat luas.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program

Menurutnya, ketiadaan investigasi independen, imparsial, dan efektif ini merupakan sumber impunitas dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum di Papua.

Koalisi Masyarakat Sipil Papua mendapatkan laporan terkait adanya korban jiwa dan luka-luka yang saat ini masih berada di beberapa rumah sakit di Jayapura dan Deiyai. Namun, keluarga, jurnalis maupun pekerja kemanusiaan tidak diberikan akses untuk melihat langsung korban.

“Pembatasan akses bagi keluarga korban adalah bentuk pelanggaran HAM dan pemerintah dan aparat harus membuka akses bagi keluarga korban, para jurnalis, dan pekerja kemanusiaan,” kata Yuliana Langowuyo, Direktris SKPKC Fransiskan Papua.

Pewarta: SP-CR08

Editor: Arnold Belau

Ralat: 

  • Beberapa isi berita ini telah diubah
  • Judul berita ini juga telah dubah dari judul awal ‘Sejak Dibuka, Posko KMS Papua Sudah Terima 20 Aduan’ dan setelah diubah menjadi ‘Sejak Dibuka, Posko Ko MaSi Papua Sudah Terima 20 Aduan’  
  • Redaksi meminta maaf atas kekeliruan ini
Artikel sebelumnyaPapuansphoto Ajak Mahasiswa Magang Praktik Memotret di Pasar Youtefa
Artikel berikutnyaIngin Bantu Masyarakat, Ricky Kuan Rancang Pembangkit Listrik Tenaga Floating Hydro