Berkat Trump, Para Mullah Bakal Bangkrut

0
1212

Oleh: Majid Rafizadeh)* 

Para pengkritik kebijakan Presiden Trump atas Iran terbukti salah. Sanksi AS ternyata memberikan rekanan yang signifikan terhadap para mullah Iran yang berkuasa. Termasuk kemampuan mereka untuk mendanai berbagai kelompok antek teror mereka.

Sebelum Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi sekunder terhadap sektor minyak dan gas Iran, Teheran mengekspor lebih dari dua juta barel minyak per hari. Namun, kini, ekspor minyak Teheran merosot menjadi kurang dari 200.000 barel per hari. Jumlah itu sama dengan penurunan sekitar 90% dalam ekspor minyak Iran.

Iran punya cadangan gas alam terbesar kedua dunia. Ia juga punya cadangan minyak mentah terbesar keempat di dunia. Penjualan sumberdaya alam ini menyumbang lebih dari 80 persen pendapatan ekspornya. Republik Islam Iran karena itu secara historis sangat bergantung pada pendapatan minyak untuk mendanai petualangan militernya di wilayah tersebut sekaligus untuk mensponsori milisi dan kelompok teror. Anggaran yang disajikan Iran pada 2019 hampir mencapai $ 41 miliar (sekitar Rp 574 Triliun). Rezim negeri itu berharap bisa mendapatkan sekitar $ 21 miliar (kira-kiraRp 274 Triliun) dari pendapatan minyak. Ini berarti sekitar separuh dari pendapatan Pemerintah Iran berasal dari mengekspor minyak ke negara-negara lain.

Meskipun Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, membanggakan swasembada ekonomi negara itu, beberapa pemimpin Iran baru-baru ini mengakui situasi ekonomi yang mengerikan sedang dihadapi pemerintah. Ketika berbicara di Kota Kerman, 12 November 2019 lalu, Presiden Iran Hassan Rouhani mengakui untuk pertama kalinya bahwa “Iran mengalami salah satu tahun paling sulit sejak revolusi Islam 1979” dan bahwa “situasi negara itu tidak normal.”

ads
Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Rouhani juga mengeluh:

“Walau kita punya beberapa pendapatan lain, satu-satunya pendapatan yang dapat membuat negara terus maju adalah uang minyak. Kita tidak pernah mengalami begitu banyak masalah dalam menjual minyak. Kita tidak pernah mengalami begitu banyak masalah dalam menjaga armada kapal tanker minyak kita … Bagaimana bisa menjalankan urusan negara ketika menghadapi masalah untuk menjual minyak kita? “

Berkat kebijakan “tekanan maksimum” AS, seluruh ekonomi Republik Islam mengalami pukulan serius. Baru-baru ini, Dana Moneter Internasional (IMF) kembali menyesuaikan perkiraannya untuk ekonomi Iran dan menunjukkan bahwa ekonomi Iran diperkirakan menyusut 9,5% bukan 6% pada akhir 2019.

IMF memberikan gambaran suram tentang ekonomi Iran. Salah satu penyebabnya terkait dengan  keputusan pemerintahan Trump untuk tidak memperpanjang pernyataan pembebasan hukuman terhadap delapan pembeli minyak terbesar Iran; yaitu Cina, India, Yunani, Italia, Taiwan, Jepang, Turki, dan Korea Selatan. Alih-alih menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada 2019, ekonomi Iran menjadi 90% besarnya pada akhir 2019 dibandingkan dengan dua tahun lalu, demikian dilaktakan dalam sebuah laporan terbaru dari Bank Dunia.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Mata uang nasionalnya pun terus merosot nilainya. Turun ke posisi rendah dalam sejarah. Satu dolar AS, yang pada Nopember 2017 lalu setara dengan sekitar 35.000 real, sekarang bisa membuat anda membeli hampir 110.000 real.

Selain itu, Republik Islam tampaknya berebut untuk mengkompensasi hilangnya pendapatan yang sedang dihadapinya. Beberapa hari lalu, misalnya, para pemimpin Iran menaikan harga bensin tiga kali lipat. Tampaknya keputusan itu menjadi tanda putus asa Iran berupaya memperoleh pendapatan supaya bisa untuk mendanai petualangan militer mereka di wilayah ini dan mendukung antek-antek beserta kelompok teror mereka.

Peningkatan drastis harga bahan bakar minyak ini segera mendorong orang bangkit melawan pemerintah. Dalam beberapa hari terakhir, beberapa kota Iran menjadi tempat protes dan demonstrasi yang meluas. Protes pertama meletus di Ahvaz kemudian menyebar ke banyak kota lain di provinsi Khuzestan serta di ibukota Teheran. Juga terjadi di Kota Kermanshah, Isfahan, Tabriz, Karadj, Shirad, Yazd, Boushehr, Sari, Khorramshahr, Andimeshk, Dezful, Behbahan dan Mahshahr.

Semakin merosotnya sumberdaya Teheran juga menyebabkan para pemimpin Iran itu memangkas dana bagi kelompok teror Palestina Hamas dan kelompok militan Lebanon, Hizbullah. Hamas dipaksa “melakukan rencana penghematan.” Pemangkasan dana itu memaksa Hassan Nasrallah, pemimpin antek Iran, Hizbullah, meminta kelompok penggalangan dana kelompoknya “untuk memberikan kesempatan para anggota melakukan jihad dengan uang supaya bisa membantu pertempuran yang sedang berlangsung ini.”

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Para pengkritik Washington mungkin kecewa terhadap kebijakan Presiden Trump atas Iran. Tetapi bagaimanapun, kebijakannya terbukti menuju ke arah yang benar. Dengan meningkatnya sanksi ekonomi, para mullah yang berkuasa berikut kekuasaannya akan bangkrut. Negara-negara lain kini perlu bergabung dengan AS untuk menerapkan kebijakan “supaya maksimal menekan” Iran. Langkah itu perlu dilakukan meski mereka lebih suka melanjutkan bisnis dengan Iran dan melemahkan pemerintahan Presiden Trump. Karena bagi mereka, tindakan itu sama dengan “menjual dua barang dengan satu satu  harga” (twofer). Soalnya, jika berhasil mengembangkan kemampuan peledakan senjata nuklirnya, Iran pada akhirnya akan menggunakannya untuk secara tepat memeras mereka.

)* Dr. Majid Rafizadeh adalah seorang ahli strategis dan penasehat bisnis. Tamat dari Universitas Harvard, ia menjadi cendekiawan politik, anggota dewan redaksi Majalah Harvard International Review, sekaligus Presiden  International American Council on the Middle East yang didirikannya. Beberapa buku tentang Islam dan kebijakan luar negeri AS sudah ditulisnya. Dia bisa dihubungi pada [email protected]. Penterjemah Jacobus E. Lato.

SUMBERGatestone Institute
Artikel sebelumnya“Terlampau Banyak untuk Dihitung”: Penganiayaan Global atas Umat Kristen
Artikel berikutnyaIntelektual: HUT Otsus Kenapa Hanya Libur Saja?