Lembah Kebar dalam Deru Perubahan Simbolik: Analisa Kepentingan Aksi Tolak PT.BAPP

0
1669

Oleh: Kris Ajoi)*

Tulisan ini membahas apa yang menyebabkan maupun menjadi motif dibalik aksi tolak perusahaan PT.BAPP di Kebar pada tahun 2018 lalu. Tentu saja kasusnya sudah usang dan tak memiliki nilai jual, namun esensi dan eksistensi manusia yang hadir dalam aksi tersebut masih ada bahkan tidak bisa dihindarkan dari dampak negatif perusahaan jagung berkedok kelapa sawit tersebut.

PT.BAPP yang masih beroperasi hingga saat ini mungkin sedang merancang strategi baru, atau menunggu hingga orang-orang yang kontra dengan perusahaan ini mati, baru kemudian mereka mereka terus melebarkan lahan tanam jagung untuk sementara hingga nantinya kelapa sawit. Hal ini menantang masyarakat di Lembah Kebar untuk memperlihatkan keseriusan penolakan yang dilakukan, bukan sekedar memainkan peran seorang aktor di atas panggung untuk kepentingannya.

Pertanyaannya adalah mengapa ulasan ini sengaja diangak, jawabnya sebab PT.BAPP masih beroperasi, di antara massa pendemo ada yang telah melaju ke kursi legislatif di Kabupaten Tambrauw, termasuk masyarakat di Lembah Kebar yang tetap hidup dalam suasana mendua, antara mereka yang menolak penuh perusahaan itu dengan mereka yang terus menerima upah tiap bulanan.

  1. Pengantar

Pada 30 agustus 2018 lalu, warga Mpur, Ireres dan Miyah di Kebar melakukan aksi protes dan pemalangan terhadap operasi PT. Bintuni Agro Prima Perkasa (PT.BAPP). Masa aksi berkumpul di salah seorang Kepala Distrik (Kebar Selatan) untuk melakukan aksi protes dan pemalangan di PT.BAPP yang diketahui mengelabuhi warga enam marga di Kebar Timur (Arumi, Wasabiti, Kebar, Amawi, Wanimer-Anari, dan Ariks). Hal itu diketahui sesuai dari pengakuan Kepala Suku Mpur Hofni Ajoi, Semel Ariks, KPKC Sinode GKI, dan GKI Klasis Kebar melalui Ketua Klasis Z Manim yang mengaku tidak mengetahui proses masuknya perusahaan jagung berizin (SK Menteri Kehutanan) kelapa sawit tersebut (Catatan lapangan Juli hingga desember 2018). Warga juga menyampaikan (klaimnya) bahwa PT.BAPP membabat alang-alang Kebar Timur hingga menghabiskan areal hutan milik warga seluas ± 500Ha. Dalam aksi itu massa aksi membaca pernyataan bersama terdiri dari pernyataan enam marga yang lahanya telah dihabisi oleh PT.BAPP dan pernyataan seluruh warga Mpur, Ireres, dan Miyah yang dibacakan oleh Kepala Suku Besar Mpur.

ads

Aksi ini dipicu oleh peristiwa pemukulan terhadap seorang warga berinisial OM di perkebunan jagung milik PT.BAPP. OM diketahui melakukan protes keras terhadap pihak perusahaan yang sewenang-wenang. Brimob yang mengawasi di perusahaan kemudian memukul korban hingga mengalami memar. Warga kemudian melapor ke klasis dan laporan ini ditanggapi serius oleh Ketua Klasis Kebar. Rombongan bertindak membawa korban ke Manokwari untuk divisum dan melapor ke pihak yang berwajib. Frustasi yang menimpa warga di Kebar menyebabkan mereka cenderung tidak percaya kepada beberapa oknum kepolisian yang dicurigai bermain mata dengan perusahaan.

Mereka enggan melaporkan kasus itu ke polisi di Kebar ataupun Manokwari. Laporan itu dibawa ke hadapan Pangdam XVIII Kasuari Papua Barat.Selanjutnya warga mempersiapkan aksi tanggal 30 agustus.

Protes warga sebenarnya telah dilakukan sejak 2015 kala pertama PT. BAPP masuk. Karena warga mengaku tidak mengetahui jika PT. BAPP akan beroperasi di Kebar. Sebagian besar warga (marga-marga) pemilik lahan mengaku selama tiga kali pertemuan, mereka masih tidak mengetahui maksud perusahaan. Pertama di rumah SA di Kampung Inam, Kebar, kedua di BA, juga di Kampung Inam dan pertemuan ketiga adalah penyerahan uang permisi atau tali asih. Itupun diterima enam marga karena mengira perusahaan hanya menggunakan lahan alang-alang sesuai janji dan kesepakatan.

Alhasil operasi perusahaan di Kebar menuai masalah yang cukup berat karena merampas lahan dengan manipulasi dan menggunakan cara kerja mavia menurut warga di Kebar. Sehingga aksi penolakan terus dilakukan sampai puncaknya tanggal 08 agustus 2018 lalu.

Analisis kepentingan aksi ini penting karena isu Kebar dan Suku Mpur menjadi terkenal di media, diangkat oleh elit politik, termasuk pembentukan pansus di DPRD Provinsi yang dijanjikan oleh anggota DPRD Provinsi Moses Rudi Timisela dan tak tahu kerjanya sekarang sampai di mana hingga aksi ke Jakarta pada awal november 2019 lalu oleh perwakilan orang Mpur Paulus Ajembuani sebagai LMA dan Semel Ariks sebagai warga korban perampasan lahan oleh PT.BAPP.

Maka itu penting mengulas kepentigan dibalik protes warga kepada PT.BAPP.Tulisan ini megulas pemetaan konflik yang ditandai dengan beberapa aksi kekerasan. Tujuannya untuk menjelaskan bahwa investasi pembangunan, eksplorasi yang terkesan eksploitatif terhadap manusia dan sumber daya alam di Tambrauw yang memiliki akar persoalan cukup panjang.

Sehingga Kabupaten konservasi yang dilabelkan kepada Tambrauw ikut membawa kita pada pertanyaan, seperti apakah kepentingan pemerintah Tambrauw dan masyarakatnya dalam kebijakan konservasi yang telah dimasuki oleh berbagai investasi perusahaan? Dan apa kepetingan pihak-pihak yang terlibat dalam aksi penolakan bersama terhadap PT.BAPP saat itu?

2. Kebar dalam ide besar Pemekaran dan Pembangunan

Kebar yang berada di kepala burung pulau Papua atau provinsi Papua Barat juga disebut Lembah Kebar (Kebar Valey) sebab wilayahnya seperti wajan. Daerah yang dipenuhi dengan padang ilalang (alang-alang) kurang lebih 5.391 hektar dan mengalir puluhan kali (sungai) dari selatan ke utama maupun dari utara ke selatan dan kemudian bermuara di sebelah Barat Lembah Kebar yaitu kali kamundan yang menghubungkan Kebar di bagian kepala air (hulu) dan Kais di bagian muara (hilir).

Di sekitar wilayah lembah itu deretan pegunungan menutupinya dan mengelilinginya dengan baik. Kebar terletak antara 1320-1330 dan 0047’-0050’ LS. Kebar berada pada ketinggian 500-600 m dpl dan berjarak kurang lebih 150 km sebelah barat daya Kabupaten Manokwari dan kurang lebih 35 km dari pantai utara Papua yakni pesisir Saukorem (distrik Amberbaken kab. Tambauw). Luas wilayah kebar sekitar 21.841 hektar (Lihat F Pattiselanno, 2011). Lembah yang dihidupi oleh berbagai jenis hewan liar itu dikenal sebagai salah satu tempat perburuan babi dan rusa baik oleh penduduk asli maupun para pendatang yang membeli daging sapi dan rusa dari masyarakat sekitar. Hewan-hewan ini dimanfaatkan warga sebagai bahan makanan dan terkadang dijual atau ditukarkan di kios-kios pendatang dengan barang kebutuhan rumah tangga.

Baca Juga:  Proteksi OAP, FOPERA Desak KPU RI Menerbitkan PKPU Khusus Pelaksanaan Pemilu di Tanah Papua

Selain itu adapula tanaman komoditi dan obat seperti daun gatal dan rumput Kebar (banondit).Beberapa pemandangan alam dan panorama indah memperlihatkan bahwa Kebar layak menjadi salah satu tujuan wisata di Indonesia.

Kebar sebelum adanya pemekaran Kabupaten Tambrauw merupakan distrik tua yang berada di bawah pemerintahan kabupaten Manokwari.Kemudian mekar beberapa distrik, diantaranya distrik Mawabuan, Asiti, Manekar, Kasi, Kebar Selatan, dan Kebar Timur. Penduduk suku Mpur terdiri dari tujuh sub suku. Mpur Ajiw yang terdiri dari marga Anari, Awori, Atai, Aremi, Aropi, Awabiti, Ayeri, Abiri, dan Arwam. Mpur Mawabit ada marga Jambuani, Asimi, dan Api. Mpur Dru ada marga Ariks, Kebar, Anjai, dan Ajoi.Mpur Manabuat ada marga wasabiti, inam, Awuri, Amawi, dan Duri.Mpur Maniun ada marga, Neori, Majiwi, Ambuak, Rumbesu, Bame, Bijanawi, dan Waniopi.Mpur Masam ada marga Maniun dan manimbu.Mpur Mawabuan ada marga Ajembuani, Asentowi, Asiar, Ajokwapi, Amafiti, Songgreri, Ani, dan Amuapon (Manuskrip perubahan hidup suku Mpur di Tanah Papua, Kristofel Maikel Ajoi, 2018, belum diterbitkan dan bandingkan dengan Yafet Syufi, 2014).

Di beberapa daerah batas suku ada percampuran bahasa antara Meyah (Meakh) dengan Mpur di kali Kasi hingga beberapa kampung di sebelah Timur (Kebar Timur), sedangkan bagian Barat ada suku Miyah (Dahulu Karon), lalu Abun di Tambrauwhingga yang berbatasan langsung dengan daerah orang Aifat (Maybrat).

Pada tahun 2004 musyawarah adat (musdat) di Manokwari oleh penduduk Amberbaken Kebar Karon merekomendasikan pemekaran Tambrauw sebagai kabupaten. Nama Tambrauw diambil dari nama deretan pegunungan  di wilayah kepala burung Papua atau Vogelkoop (Papua Barat) di mana berdiam suku Mpur, Karon, Ireres, Abun, dan penduduk migran dari Biak Numfor yang disebut Biak Karon (Bikar). Nama itu kemudian disepakati dan diperjuangkan oleh dua tim pemekaran, satunya dari wilayah empat distrik Manokwari yang lain dari tujuh distrik Sorong. Awalnya disusupi berbagai isu namun melalui beberapa anggota tim, dua tim ini kemudian bersatu dan memekarkan kabupaten Tambrauw yang hanya mengakomodir tujuh distrik sedangkan empat distriknya belum termasuk.

Pada tahun 2014 bupati Asem yang diketahui memiliki sejarah kehidupan dengan penduduk empat distrik memperjuangkan empat distrik untuk masuk sebagai bagian dari kabupaten Tambrauw. Kabupaten Tambrauw memiliki spesifikasi pembangunan yang menekankan pentingnya pemeliharaan lingkungan dan keberlanjutan hidup manusianya. Sayang sekali dari berbagai pergolakan yang belum menunjukan keberhasilan Tambrauw  sebagai daerah otonomi baru (DOB) para elit kepala distrik dan beberapa kepala suku telah  berupaya memekarkan kabupaten baru dengan nama kabupaten Manokwari Barat maupun Mpur. Kabupaten ini akan menambah syarat mutlak bagi kelayakan Papua Barat Daya sebagai provinsi baru dengan kekuataan Tambrauw dan kabupaten Mpur atau Manokwari Barat sebagai bagian dari Papua Barat. Termasuk melepaskan pesaing-pesaing berat dalam kontestasi politik lokal baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.

3. Memahami Akar Persoalan

Pemekaran Tambrauw melalui UU No.56 Tahun 2008 dan UU No.14 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.56 Tahun 2008 menjadi dasar yang membuka daerah itu. Kreasi pembangunan yang menghiasi pendirian kabupaten Tambrauw yang baru itu cukup terkesan eksploratif.Tahun 2011, calon Bupati Tambrauw (Gabriel Asem) mencalonkan diri dihadapan mahasiswa Tambrauw di Wisma UGM Yogyakarta dan berjanji memberikan pengabdiannya. Secara khusus tekad itu diberikan pada masyarakat Mpur, Ireres, Miyah yang merupakan induk genetik (orang tua), materi (tanah, makan-minum), dan relasi (perhatian) terhadap dirinya.

Sebelum DOB Tambrauw dimekarkan menjadi kabupaten di Papua Barat.Ia menjadi lahan konflik dan kekerasan yang potensial. Sebelum musyawarah adat di BLK (tanjung PKN) Sanggeng Manokwari, tim pemekaran Tambrauw ini jelas telah terdiri dari tiga kubu karena persoalan pribadi, ideologi, maupun adat. Dua kubu antara Tim Tambrauw Sorong dan Tim Tambrauw Manokwari, satu kubu adalah Tim Tambrauw Timur yang menginginkan adanya penggabungan wilayah Sidey hingga Senopi.

Masing-masing tim berjalan dengan keinginannya. Tim Tambrauw Manokwari sendiri bersikeras memekarkan wilayah empat distrik menjadi satu kabupaten sendiri, begitupula tim Tambrauw Sorong yang bersikeras dengan enam distriknya yang tentunya terhambat oleh UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa syarat dalam UU ini mengharuskan sepuluh distrik sebagai syarat memekarkan sebuah kabupaten. Maka sesepuh tim Manokwari melobi tim Sorong dan kemudian menggabungkan aspirasi sehingga Tambrauw dimekarkan dari dua kabupaten induk yakni Sorong dan Manokwari. Sebuah anomali bahwa bayi yang dimekarkan (memiliki) dua orang mama.

Konflik masih terjadi antara tim Tambrauw dengan Tambrauw Timur yang memunculkan beberapa aksi kekerasan adalah antara tim Tambrauw dan Tambrauw Timur pada periode 2009-2014. Pada tahun 2011 terjadi penyerangan oleh salah satu tim kepada tim lainnya. Penyerangan ini menimbulkan persoalan, beruntungpolisi cepat mengamankan beberapa rumah tokoh pemekaran Tambrauw.Di tahun 2012 Bupati Gabriel Asem dilantik sebagai bupati Tambrauw dan Gabriel Titit S.S (Alm) dilantik sebagai ketua DPRD Tambrauw. Kedua pimpinan legislatif dan eksekutif Tambrauw ini berhasil memenangkan empat distrik yakni Kebar, Senopi, Mubrani, dan Amberbaken masuk ke dalam Kabupaten Tambrauw melalui revisi UU No.56/2008 dengan UU No.14/2014.

Hal itu tidak mematahkan semangat tim Tambrauw Timur yang kemudian mengubah nama calon DOB yang diperjuangkan menjadi Manokwari Barat (Manbar) karena Tambrauw Timur merupakan nama yang sama dengan DOB Tambrauw yang telah sah secara konstitusional. Tentu hal itu akan menghambat perjuangan pemekaran DOB Manbar. Perjuangan Manbar tersiar pada tahun 2016 hingga awal 2018 lalu  ketika media lokal ramai memberitakan informasi tentang rencana pemekaran DOB Manbar (Misalanya Cahaya Papua). Sampai sekarang perjuangan masih terus dilakukan. Konflik antara Manbar dan Tambrauw tidak hanya di level masyarakat, di tingkatan pers yang diperankan oleh dua koran lokal seperti Manokwari Express yang pro Tambrauw dan Cahaya Papua yang pro Manbar yang saling mengkounter.

Tahun 2013, pemekaran desa di Tambrauw menjadi 216 kampung (desa). Wilayah empat distrik menjadi prioritas pemekaran kampung mengingat langkah pembangunan seperti ini merupakan sarana rekonsiliasi.Rekonsiliasi yang diharapkan itu melibatkan beberapa orang yang dianggap mendukung kebijakan bupati. Sedangkan penduduk yang dianggap sebagai pendukung DOB Manbar sedikit merasakan pembangunan.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Barangkali problem ini disebabkan karena, pertama, perasaan dendam (politik) kepada mereka yang pro Manbar yang disebabkan karena berbagai hal. Salah satunya adalah “sumpah politik”.  Sumpah yang antar berbagai pihak yang saling berkonflik menyebabkan pihak yang kalah (harus sadar diri) tidak pernah akan diterima dalam proses pembangunan. Kedua, prinsip acuh tak acuh dengan pembangunan oleh tim yang kalah. Mereka juga tidak mau membawa diri ke dalam proses pembangunuan. Tidak ada inisiatif untuk membangun perdamaian, baik oleh masyarakat, apalagi oleh elit yang hanya musiman membicarakan masalah orang kecil. Ketiga, sikap pemerintah antara memanfaatkan potensi konflik dan pola efektifitas dan efisiensi pembangunan yang cenderung mengorbankan salah satu pihak masyarakat. Kebanyakan kepentingan politik untuk memperoleh massa politik memberi tanda bahwa pembangunan di Tambrauw berorientasi politik, baik untuk citra seroang penguasa maupun membangun hubungan (politik) patronase (keluarga).

Meski demikian, pembangunan melalui pemekaran desa dan kecamatan telah memberikan pekerjaan kepada calon pengangguran yang betul-betul hampir menjadi pengangguran sejati.Dengan kemampuan yang terbatas dan pemahaman yang minim mereka terpaksa direkrut masuk dalam proyek pembangunan.Alhasil, pembangunan di Tambrauw menuai banyak masalah. Uraianya akan dijelaskan sebagai berikut:

  • Masalah pertama: musyawarah adat marga. Pemerintah Tambrauw menggunakan anggaran APBD di Tambrauw memfasilitasi musyawarah adat untuk memetakan wilayah adat dan pelurusan sejarah silsilah marga. Tujuannya sebenarnya positif. Agar melancarkan proses pembangunan. Namun, di ranah masyarakat timbul masalah yang tidak pernah selesai sampai hari ini. Soal siapa yang asli dan berhak atas suatu wilayah dan tanah adat? Lebih dari itu dimanfaatkan pula oleh elit tertentu untuk kepentingan pemekaran baik kampung untuk mendukung pemekaran distrik dan distrik untuk mendukung pemekaran kabupaten yang sekarang hanya bersisar pada seputar beberapa elit yang ingin jabatan. Musyawarah adat di Anjai misalnya terlalu diisi oleh pembicaraan tentang pemekaran Kabupaten Mpur yang menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin bayi melahirkan bayi karena umur DOB Tambrauw baru beberapa tahun saja, akan diusung pemekaran DOB Mpur. Masalah baru yang muncul adalah konflik antara calon DOB Mpur dan calon DOB Manokwari Barat (Manbar) yang telah diperjuangkan sejak lama. Barangkali akan timbul klaim di sana dan menimbulkan korban akibat konflik yang tak terhindarkan menjadi kekerasan. Musyawarah adat tidak menjadi wadah penelusuran dan pemetaan yang baik melainkan menjadi sarana identifikasi yang membagi identitas keaslian menjadi komoditas politik yang destruktif.
  • Masalah kedua: ketidakmampuan masyarakat dalam merespon pembangunan. Salah satu aspirasi pemekaran Tambrauw adalah mengurangi angka kemiskinan. Barangkali ironis jika dibandingkan dengan kualitas sumber daya manusia di Tambrauw sebelum Tambrauw dimekarkan. Kemiskinan masih merajalela, dilihat dari ketergantungan penduduk terhadap kebijakan (rasa kasihan) pemerintah daerah. Penyebab masalah perubahan orientasi pendidikan di sana juga disebabkan oleh berpindahnya sekian guru yang direkrut pemerintah mengisi jabatan struktural di dinas dan birokrasi pemerintah daerah sehingga sekolah kekuarang guru PNS. Yang lain lagi misalnya, dana pembangunan kampung. Sebagian besar penduduk di perkampungan Kabupaten Tambrauw tidak memahami UU No.6/2014 tentang Desa dan PP No.34/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Mereka hanya tahu bagaimana mengeluarkan dana kampung dan berapa besar dana yang dikeluarkan secara bertahap di bank-bank Papua di Sorong dan Manokwari. Adapula bupati mengganti 56 kepala kampung pada tahun 2018 lalu tanpa mengindahkan mekanisme pemilihan kepala kampung yang ada di dalam pasal 34 uu dan bab IV PP tersebut. Lantas juga tidak ada protes dari masyarakat yang menonjol karena kurang/tidak memahami UU desa.
  • Masalah ketiga: ketergantungan ekonomi yang cukup tinggi. Pembangunan yang memperlihatkan kemegahan fasilitas dan sarana prasarana di Tambrauw secara implisit cenderung memberikan pengaruh besar terhadap prestasi berupa pujian. Hasil pembangunan itu juga memberikan dampak lain. Masyarakat semakin percaya bahwa pemerintah Tambrauw merupakan agen keuangan. Melalui bentukan proyek-proyek berupa CV kecil tanpa kontraktor masyarakat yang mampu melihat potensi ini banyak memanfaatkan peluang ini. Sayangnya, sebagian besar pengusaha local tidak ada yang berhasil dari uang proyek jalan setapak, parit, hingga bangunan public atau pengadaan lain. Pengalaman yang paling parah juga terlihat dari adanya warga yang menghabiskan uang tahap pertama sebelum proyek dikerjakan. Tidak sedikit juga yang menjual atau menyewakan benderanya kepada pengusaha luar. Realitas itu menyatakan kepada kita bahwa uang pembangunan yang besar di sana hanya tersangkut di kantong mereka yang mampu mengambil bagian dari proyek pembangunan.
  • Masalah keempat: sikap elitis yang inkonsistensi. Bupati Tambrauw kelihatanya bingung. Bagaimana menanggapi setiap pernyataan dan pertanyaan dari setiap orang Tambrauw yang mengatasnamakan suku, dan berbagai kelompok kepentingan. Mereka dating orang per orang berbicara, menyampaikan pendapat dan berharap mendapat perhatian personal (pribadi) berupa uang tunai untu transport dan makan di Sausapor atau respon kebijakan melalui pembangunan jalan setapak bahkan paling tinggi janji pemekaran distrik atau kampung. Secara manusiawi bupati Tambrauw dan seluruh pemerintah Tambrauw akan bingung karena secara kelembagaan, system penyaluran aspirasi dan informasi antara masyarakat kepada pemerintah maupun sebaliknya datang dari orang-orang yang berbeda-beda dengan keinginan masing-masing. Fenomena problematis itu datangnya dari alasan ketidakpercayaan masyarakat kepada tokoh adat (kepala suku) dan tokoh masyarakat (kepala kampung) yang seringkali memainkan peran mereka untuk kepentingan diri sendiri. Kita pun sulit menyalahkan hal itu jika kedudukan kepala suku sangat problematis. Pemerintah mengakui sedangkan masyarakat tidak mengakui. Lemahnya pengakuan kepada tokoh adat itu dominan dipengaruhi oleh sentiment politik pasca pemekaran. Sehingga legitimasi (kepercayaan) dan peran langsung tokoh adat seperti kepala suku ini selalu dipertanyakan. Bayangkanlah keparahanya lagi bahwa para tokoh ini dapat bermain di dua sisi, baik di pemerintah maupun di masyarakat. Inilah wujud perpecahan yang terjadi di dalam institusi masyarakat adat.
Baca Juga:  KPU Yahukimo Gelar Acara Pelepasan Logistik untuk Didistribusikan Ke 51 Distrik

Barangkali keadaan itu menjadi alasan beberapa orang dari enam marga di Kebar Timur menyerahkan lahanya kepada PT.BAPP agar mereka merasakan dampak pembangunan dari perusahaan saja.Perusahaan membaca konflik itu sehingga mereka (PT.BAPP) mendatangi oknum marga yang merasa diri jauh dari kepentingan di Tambrauw atau jauh dari kebijakan pemerintah Tambrauw meskipun mereka berada dalam cakupan wilayah administrasi kabupaten Tambrauw.

4. Beberapa Spekulasi Kepentingan

Berbicara tentang analisis kepentingan, tidak hanya soal data yang dirangkum dari realitas yang nyata saja. Melainkan kenyataan-kenyataan yang memiliki kecenderungan yang berpotensi besar akan terjadi. Maka kita dapat berbicara dengan beberapa data yang mendekati kenyataan. Dalam hal ini analisis mengenai berbagai kepentingan yang terselip saat aksi tolak PT.BAPP maupun masyarakat yang berpartisipasi selama ini termasuk melakukan protes atas nama Suku Mpur, Ireres, dan Miyah. Berikut penjelasanya:

  • Pertama: adanya dugaan bahwa proses penentuan masuknya empat distrik lewat pengesahan UU No.14 Tahun 2014 sebagai UU pengganti atas UU No.56 Tahun 2008 melalui suatu kontrak politik yang melibatkan kepentingan investasi proyek industry perkebunan sawit yang mungkin ditutupi selama ini. Mengingat tahun 2014 setelah empat distrik sah dimasukan ke dalam wilayah administrasi Tambrauw, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Sulkifli Hasan yang pada saat itu akan berakhir masa jabatanya mengeluarkan SK Nomor: 873/SK/Menhut II/2014 Tentang Pelepasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi Untuk Perkebunan Kepala Sawit atas nama PT.BAPP di Kab. Tambrauw, Prov. Papua Barat seluas ± 19.368,77 Ha tanpa sepengetahuan masyarakat pemilik hak ulayat. SK ini langsung disambut pada tanggal 8 september tahun 2015, di mana bupati Tambrauw mengeluarkan Surat Ijin Nomor: 521/29/2015. Juga tanpa adanya pemberitahuan kepada masyarakat adat secara menyeluruh. Selama ini keterbukaan inormasi pembangunan dan alasanya jarang sekali diperoleh masyarakat ketika ada yang menanyakan di pertemuan-pertemuan dengan pemda atau DPRD Kabupaten maupun Provinsi.

Hal yang sedikit mengganggu tentunya adalah wacana pemekaran calon DOB Kabupaten Mpur yang telah dikumandangkan oleh tokoh adat di Tambrauw dan pemerintah dari pertemuan ke pertemuan.

Perusahaan yang telah beroperasi sejak 2015 dan seharusnya berakhir pada tahun 2017 lalu, masih beroperasi hingga aksi tanggal 30 agustus 2018 lalu. Masih ada peluang politis yang perlu ditanggapi serius oleh masyarakat adat tentang adanya kemungkinan isu pemekaran kabupaten Mpur dijadikan sebagai posisi tawar perusahaan agar mendapat tempat dihati masyarakat. Mengingat mengurus pemekaran bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan banyak pengorbanan ekonomis (uang). Di ranah ini perusahaan biasanya mudah memainkan peran untuk menarik perhatian masyarakat. Jika menolak perusahaan tidak ada anggaran pemekaran, maka pemekaran 100% tidak akan terwujudkan.

  • Kedua: aksi penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Mpur, Ireres, dan Miyah di Kampung Arumi tanggal 30 agustus 2018 itu merupakan tuntutan aspirasi yang dibuat tidak secara kebetulan, tetapi kebetulan pula terjadi di waktu yang tepat sebelum pemilihan legislative bulan april 2019 mendatang. Maka wadah pertemuan akbar yang dilanjutkan dengan prosesi jalan kaki dari Kampung Arumi ke PT.BAPP menjadi ajang marketing politik yang gratis bagi para kandidat calon legislative baik yang di provinsi maupun kabupaten Tambaruw atau yang hendak mengusung dirinya sebagai calon legislative DPR RI. Hampir menyeluruh yang menggerakan aksi dan yang hadir di pertemuan tersebut memiliki kepentingan pada pemilu 2019 mendatang. Tentu saja hal itu bukan masalah, tetapi menjadi masalah apabila pertemuan itu hanya menjadi aksi unjuk nama bukan unjuk taring untuk menyelesaikan (memberhentikan) PT.BAPP dari Lembah Kebar. Hal itu merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi para caleg yang akan bersaing. Hampir semua penggerak dan pendukung yang hadir saat aksis adalah calon anggota DPRD Kab Tambrauw, Provinsi, dan DPR RI. Status kandidiat mereka juga didukung oleh beberapa pengelompokkan dalam masa aksi yang saat itu menyatakan diri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat Suku Mpur, Ireres, dan Miyah. Namun beruntung aksi orang Mpur, Ireres, dan Miyah itu juga didukung oleh beberapa lembaga lain seperti KPKC Sinode GKI di Tanah Papua yang turut hadir melalui Ibu Dora Balubun dan kordinator bidang hukum  KPKC didampingi Klasis GKI Kebar dan Majelis Daerah GPKAI. Termasuk LP3BH yang selalu dimintai petunjuk dan arahan oleh pewakilan warga dan marga.
  • Ketiga: hal yang sulit ditelusuri dan tidak diketahui masyarakat di wilayah Kebar adalah jejaring PT.BAPP yang merupakan anak cabang dari Grup Salim yang diketahui dimiliki oleh Soedomo Salim (Lim Sioe Liong) orang terdekat Soeharto. Anaknya Antony Salim membeli saham PT.BAPP pada tahun 2014 langsung mendapat SK lahan dari Meteri Kehutanan Zulkifi Hasan di era presiden SBY.

5. Penutup

Operasi PT.BAPP merupakan eksplorasi yang mengganggu masyarakat karena perusahaan didapati melakukan manipulasi data, merampas tanah adat milik warga asli Mpur (enam marga) serta berpotensi menimbulkan protes keras yang berakibat pada kekerasan antara aparat dan masyarakat sipil. Hal ini disebabkan karena inkonsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan pembangunan di Tambrauw yang teralu bias kepentingan elit dan pengusaha. Barangkali itu juga didukung dengan ketertutupan informasi mengenai transparansi peraturan pembangunan dan anggaran.

Warga masyarakat asli dari tiga suku besar Mpur, Ireres dan Miyah telah melakukan pertemuan akbar dan aksi yang diakhiri dengan penyampaian aspirasi yang berisi penolakan terhadap PT.BAPP, namun perlu diingat bahwa protes itu juga bertepatan dengan momen politik pemilihan legislatif pada pemilu 2019 mendatang. Masyarakat antusias memperjuangkan aspirasi ini secara berkelanjutan bersama dengan lembaga pemerintah.Tanggung jawab berat para elit adalah perlu memilah antara kepentingan personal dan kepentingan publik. Barangkali keikutsertaan elit politik di Papua Barat dapat memperbaiki citranya di mata publik Papua barat dengan bukti penyelesaian kasus dan penghentian operasi PT.BAPP di Lembah Kebar yang sampai hari ini masih beroperasi di lahan milik lima marga. Semoga!

)* Penulis adalah Staf Pengajar Jurusan Antropologi, FASBUD, Universitas Papua dan STT-ET Manokwari

Referensi:

https://fpattiselanno.wordpress.com/2011/04/21/potensi-lebah-kebar/diakses 12/11/2018)

UU No.56/2008 tentang Kabupaten Tambrauw

UU No.14/2014 tentang Perubahan atas UU No.56/2008 tentang Kabupaten Tambrauw.

Artikel sebelumnyaHIV/AIDS dan Setahun Perjalanan KPA Papua: Kritis! (Bagian I)
Artikel berikutnyaPON XX dalam Duka Nestapa Rakyat Papua