Pake Maki Diri

0
1498

Oleh: Daniel Randongkir)*

Gaya kepemimpinan Indonesia yang mencerminkan sistem feodalisme Jawa, tentunya dikelilingi oleh tradisi pencitraan sosok pemimpin yang mengaktualisasikan dirinya sebagai “makhluk titisan dewa”. Sosok pemimpin seperti ini, akan memperkuat posisi kekuasaan dengan mengeksploitasi semua sumber daya yang dimiliki demi memantapkan singgasana kekuasaan politiknya. Taktik lama yang dipakai adalah dengan membentuk barisan penjaga kekuasaan (sebut saja prajurit), afiliasi politik dan konglomerasi ekonomi. Rakyat diposisikan sebagai kelas pekerja, diekploitasi melalui pungutan pajak atas Tanah dan jasa Perlindungan Keamanan. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa Kedaulatan Politik tetap berada di tangan pihak penguasa.

Isu Papua dalam Bingkai Negara Kesatuan Indonesia, dianggap sebagai aib yang memalukan apabila terekspos ke luar. Oleh karena itu, negara menggunakan segala sumber daya yang tersedia guna membungkam dan mengisolasi isu Papua dari perhatian internasional, sekaligus melindungi citra pemimpin negara yang kini menyatakan diri sebagai ‘Negara Demokratis’. Kritik dan aspirasi rakyat yang dianggap bertentangan dan merusak citra pemimpin negara, akan diberantas.

Selama lebih dari lima dekade perlawanan rakyat Papua Barat dalam menuntut Hak Penentuan Nasib Sendiri, berbagai cara telah ditempuh. Aksi penyampaian pendapat secara terbuka (demonstrasi), perlawanan bersenjata, diplomasi politik, upaya-upaya hukum, hingga usulan negosiasi, selalu direspon oleh pemerintah Indonesia dengan cara represif. Tindakan pemerintah Indonesia dapat dimaklumi karena gaya kepemimpinan feodalistik yang masih diterapkan sampai saat ini.

Baca Juga: Rakyat Papua Barat Harus Tetap Bersatu dan Fokus Kepada Tujuan

ads

Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas bagaimana pencitraan yang dilakukan oleh Indonesia melalui pejabat pemerintah maupun para ‘petualang politik Papua Barat’ demi menutup rasa malu dari tindakan represif mereka terhadap rakyat Papua Barat, yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai dan prinsip demokrasi secara universal. Salah satu topik isu yang paling memalukan bagi Indonesia di tengah pegaulan internasional saat ini adalah “Pelanggaran HAM”.  Para pihak yang mempersoalkan atau bahkan mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, akan langsung mendapat bantahan dari pemerintah Indonesia.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Laporan kasus pelanggaran HAM di Papua, pertama kali dirilis oleh Tapol Internasional pada tahun 1984, namun belum begitu banyak menyedot perhatian internasional. Insiden ‘Santa Cruz’ pada 12 November 1991 di Timor Leste, merupakan pukulan telak bagi rezim Soeharto. Peristiwa ini memperlihatkan kesan buruk tentang kebrutalan pasukan bersenjata Indonesia, sehingga memicu gelombang protes masyarakat internasional, terutama di Australia. Tidak lama berselang, Gereja-gereja di Papua mengeluarkan suatu laporan pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar areal konsesi PT. Freeport Indonesia pada tahun 1995. Sejak saat itu, isu pelanggaran HAM di Papua secara perlahan mulai menarik perhatian masyarakat internasional. Ketika era reformasi berlangsung, berbagai organisasi sipil secara reguler terus mempublikasi laporan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, baik di level nasional maupun internasional.

Metode “mempermalukan” pemerintah Indonesia termasuk para pejabatnya, ternyata jauh lebih efektif bila dibandingkan dengan upaya diplomasi politik yang cenderung tertutup dari ranah publik. Kondisi ini semakin ditunjang dengan ‘minat’ wartawan Indonesia yang gemar menulis topik ‘sensasional’ terkait pernyataan atau opini pejabat pemerintah, demi meningkatkan rating berita.

Setidaknya ada 3 insiden “mempermalukan” pejabat pemerintah Indonesia yang cukup menarik untuk disimak. Insiden pertama yang ‘sepi’ dari pemberitaan terjadi pada 5 April 1995, ketika Luciano ‘Romano’ Valentin Conceixao (seorang pemuda Timor Leste) memukul kepala Soeharto (Presiden Indonesia saat itu) dengan gulungan koran. Peristiwa tersebut terjadi di depan Museum Zwinger, Dresden, (Jerman) disaksikan oleh Ali Alatas dan B.J. Habibie. Sementara diwaktu yang sama, para demonstran pro Timor Leste juga melempari rombongan pemerintah Indonesia dengan telur. Insiden Kedua yang lebih menghebohkan terjadi pada 31 Oktober 2012 dalam kunjungan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Inggris, di mana puluhanan demonstran pro Papua Barat melakukan protes sambil membentangkan bendera ‘Bintang Fajar’ di Downing Street, London, Inggris. Peter Tatchell, salah seorang demonstran diamankan oleh polisi setempat, ketika mencoba untuk menyentuh SBY demi memenangkan sayembara ‘menangkap SBY’ senilai 50.000 poundsterling. Insiden Ketiga terjadi dalam kunjungan Joko Widodo ke Canberra (Australia) belum lama ini, di mana beliau dikritik oleh Adam Bandt, anggota Parlemen dari Partai Hijau terkait penyelesaian persoalan pelanggaran HAM di Papua. Sementara di tempat terpisah, Amnesty International Australia berhasil menyerahkan data korban operasi militer di Nduga dan tahanan politik terkait isu Papua Barat.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Masih banyak insiden yang “mempermalukan” pejabat pemerintah Indonesia, dan sejauh ini cukup efektif menarik perhatian publik internasional. Reaksi pemerintah Indonesia (dan warga negaranya) terbilang cukup emosional, dengan memberikan opini terbalik dan argumen murahan lainnya. “Tidak ada pelanggaran HAM di Papua”, “Pemerintah serius membangun Papua”, “Papua adalah bagian integral dari Republik Indonesia”, “Kami sudah memberikan kebijakan Otonomi Khusus”, “Isu HAM adalah propaganda kelompok sakit hati”,  dan masih banyak lagi. Argumen yang disampaikan justru bertolak belakang dengan kondisi sesungguhnya di Papua Barat, di mana masih banyak terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk kegagalan implementasi kebijakan Otonomi Khusus.

Disamping memberikan opini terbalik, pemerintah Indonesia juga menggunakan para petualang politik asal Papua guna menguatkan argumen dan materi diplomasi internasional mereka. Beberapa orang asli Papua diangkat sebagai Duta Besar ataupun penjabat senior di Departemen Luar Negeri, dengan fungsi sebagai ‘corong propaganda’ pemerintah Indonesia. Sebagian orang asli Papua juga dimasukan dalam Delegasi Indonesia ketika menghadiri forum-forum regional maupun internasional, termasuk di dalamnya menjadi duta seni, budaya, ekonomi, pendidikan maupun olah raga.

Upaya rekrutmen orang asli Papua sebagai ‘corong propaganda’ pemerintah Indonesia terus digiatkan, hingga masuk ke lingkungan perguruan tinggi. Belakangan ini muncul seorang yang menyebut dirinya sebagai ‘akademisi’ Papua, nampak aktif menyuarakan opini terbalik tentang upaya-upaya diplomatik yang dilakukan oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Pernyataan terbarunya yang mengatakan bahwa ULMWP gagal dalam upaya lobby di Forum Senior Official Meeting dan Foreign Minister Meeting Melanesian Spearhead Group (MSG) yang dihelat di Suva (Fiji), merupakan kekeliruan informasi yang perlu diluruskan. Forum tersebut sama sekali tidak membicarakan status keanggotaan Papua, karena pembicaraan status keanggotaan Papua merupakan kewenangan di tingkat Leaders Summit Meeting MSG yang akan berlangsung di Port Vila, Vanuatu.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Menurut informasi yang kami terima, ternyata Sang “akademisi” Papua sedang mengajukan berkas lamaran (bersama dengan 22 orang Papua lainnya), agar dapat diterima bekerja sebagai staf “gugus tugas Papua” yang rencananya akan dibentuk oleh Kementrian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Indonesia. Sepertinya pernyataan opini terbalik ini sengaja dilontarkan, demi membuka peluang kelulusan atas berkas lamaran yang sedang diajukan. Trik usang seperti ini, telah banyak dipakai oleh kaum petualang politik Papua Barat, dalam memenuhi ambisi pribadi dengan jalan memanipulasi penderitaan rakyat Papua Barat.

Insiden-insiden memalukan yang dialami oleh pemerintah Indonesia dan para petualang politik Papua, harus dicermati sebagai bukti bahwa upaya pencitraan dan domestikasi isu Papua selalu menemui banyak kendala. Pernyataan pejabat pemerintah Indonesia, seringkali menjadi bumerang bagi upaya diplomasi yang dilakukan. Sebagai contoh: Pernyataan salah seorang menteri Indonesia bahwa data korban pelanggaran HAM di Nduga yang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo adalah “SAMPAH”, telah memicu kritik bahwa pemerintah Indonesia cenderung mengabaikan persoalan HAM di Papua. Lebih parah lagi, para petualang politik Papua Barat yang menjadi ‘corong propaganda’ pemerintah, justru menipu diri sendiri sehubungan dengan situasi nyata di Tanah Papua. Dalam diksi orang Papua, ungkapan “PAKE MAKI DIRI” biasanya disematkan kepada individu yang sedang ‘menipu diri sendiri’.

ONE PEOPLE ONE SOUL

)* Penulis adalah pemerhati sosial.

Artikel sebelumnyaFeri Latief Berbagi Ilmu Fotografi
Artikel berikutnyaTema Tentang Tanah Mewarnai Muspas VI Dekenat Tigi dan Paniai