Gereja Semakin Jauh dari Orang Papua

0
2795

Oleh: Octovianus Mote)*

Pertemuan kedua, kami dua ketemu di Kampungnya, Monsfoort. Dia jemput saya di Utrecht, antar keliling kota ini memperlihatkan aneka benda sejarah, termasuk gereja gereja yang dihancurkan oleh kaum Protestan dalam era reformasi. Dalam mobil menuju kampungnya, ia bercerita tentang massa kecilnya bersama orang tuanya yang seorang bekas seminari Katolik yang menjadi penggerak masyarakat kampung. Sebagai anak dari seorang terdidik yang memiliki sekolah, tempat dimana sejumlah biarawan Fransiskan yang saya kenal pun bersekolah disana, seperti Bruder Bloom, Pater Theo Verger dan Bapak Uskup Hermann Muninghof.

Bagian pertama dapat anda baca di sini: Orang Papua Sungguh mau Merdeka

Kami makan siang di rumah salah satu saudarinya yang memiliki peternakan sapi perah, dimana susunya mereka hasilkan keju yang di eksport ke berbagai tempat, selain ke pasar local. Sebagai usaha keluarga semua mereka kerjakan sendiri, anak anak sepulang sekolah membantu orang tua dari memasukkan sapi ke kendang, mencuci puting susu sapi dan memasang tabung yang terhubung langsung ke mesin pengelolaan hingga membolak balik balik balok balok keju dari yang segar hingga masuk ke pengepakkan untuk di kirim.

Sesudah itu, tidak perna jumpa secara fisik kecuali membaca apa yang dia lakukan melalui tulisan. Syukur ada anak angkatnya seperti Markus Haluk yang juga penulis yang rajin, update tatkalah saya bertanya perihal Pater Frans yang memilih menetap di Papua selama 12 tahun lagi sesudah pension tahun 2007. Dalam periode ini dia memanfaatkan waktu untuk menulis selain tetap menjalankan tugas sebagai Imam, mempersembahkan misa bersama umat yang dia cintai.

ads

Sesampai di Belanda, dia tidak tinggal diam. Ia terus kerja walau kesehatannya sudah merosot dimakan usia dan terutama penyakit cancer, paling tidak diwawancarai berbagai media bicara soal Papua. Warisan terakhir akan pengabdian kepada bangsa papua, surat kabar terbesar di Belanda menulis panjang profil pater Frans dan karyanya di Papua. Wawancara itu saya tuliskan dalam bagian ketiga. Saya sudah sampaikan melalui email niat untuk mengunjunginya di Belanda, namun sebelum itu, Tuhan sudah memanggilnya pulang.

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

Ketika menulis catatan ini, saya mengenang membaca beberapa email saya dengannya. Yang saya tulis berikut ini adalah dari email yang dia kirim pada awal tahun 2015, beberapa saat sesudah dia pension. Ya Octo, riwayat hidup seorang misionaris di massa lalu berbeda dengan yang sekarang, demikian Pater Frans mengawali ceritanya. Sekarang ini, para pastor dipindahkan kesana kemari begitu cepat sehingga mereka kurang sempat untuk betul betul mengenal masyarakat yang di layani. Selain daripada itu, saya melihat atasan mereka kurang mendorong untuk mempelajari budaya dan Bahasa local. Apalagi, orang Indonesia pada umumnya kurang berminat untuk itu. Ketika menulis keprihatinan Pater Frans ini, menyegarkan kembali ingatan saya akan kata kata Pastor Yesuit dari Nabire, berkhotbah dalam Misa Natal lalu (2019) di Gereja Katedral Jakarta Bukan saja, menghina anak anak Papua yang dianggap bodok tetapi juga bercerita soal tari susu dalam gereja dari suku Mee dalam konotasi di luar konteks budaya sehingga menimbulkan protes di social media.

Dulu, sambung Pater Frans ada kebijaksanaan, bahwa seorang misionaris tinggal di daerah yang sama untuk sebagian besar hidupnya, supaya ia mengenal masyarakat dengan budayanya secara lebih baik. Itulah sebabnya Pater Ruigrok, Pater Tettero, Pater Andringa, Pater Coenen, Pater Rombouts, Pater Smits, Pater Rosen dan lain lain, habiskan waktu mereka di Papia. Mereka jadi orang Papua karena hidup bertahuan tahun disana. Mereka tidak tahu apa apa mengenai Baliem demikian juga saya, tentang Paniai.

Sejak pertama saya ditugaskan di Baliem, hanya sebentar ke Bilogai. Saya beruntung karena sempat menjadi Rektor di Asrama SPG Teruna Bakti, disini saya berkesempatan berjumpa dan mengenal siswa siswi dari seluruh tanah Papua, terutama dari daerah pedalaman. Namun sesudah itu saya dikirim kembali ke Baliem dalam waktu yang cukup lama, sehingga cinta pertama muncul kembali lagi. Jadi, betul saya belum perna ke Paniai, tetapi saya mengenal banyak putera dan puteri dari Paniai yang juga saya cintai. Walau tugas sebentar di Biak atau Kerom namun saya orang gunung, pasti bukan orang pantai.

Baca Juga:  KPU Tambrauw Resmi Tutup Pleno Tingkat Kabupaten

Itulah sebabnya sesudah masa bakti, saya meminta untuk tinggal di Baliem. Saya lebih mengenal orang Baliem dan budaya orang Baliem. Maka dalam massa pension ini saya menulis beberapa buku, diawali dengan sebuah buku mengenai sejarah gereja Katolik di Baliem. Kemudian sebuah buku lebih kecil mengenai Bahasa Baliem yakni tata Bahasa dan Kamus. Dan yang terakhir adalah sebuah buku kecil lagi kebudayaan Baliem, sebuah refleksi pribadi. Buku terakhir ini saya persembahkan kepada para pastor agar mereka lebih mengetahui jiwa dan pergumulan masyarakat ini.

Octo, saya begitu prihatin karena gereja kita sekarang ini kurang mengenal kehidupan dan kebutuhan orang papua. Di seluruh gereja kita melihat suatu sentralisme, legalisme dan penyeragaman yang kurang memperhitungkan serta menghargai kekhususan masing masing bangsa dan suku. Menyedihkan karena semua ini terjadi ketika dimana mana terjadi perubahaan yang positive dibawah kepemimpinan Paus Fransiskus, sebagai Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik di dunia.

Octo, kemarin kami bikin pesta besar disini karena ada Misa pertama seorang putera Balim baru baru telah di tahbiskan menjadi Imam. Ia adalah Imam asli Balim yang ketiga. Mudah mudahan dengan bertambahnya imam imam Papua, keadaan keadaan gereja akan berubah juga. Saya harapkan bahwa nanti sesudah Uskup Jayapura nanti mengakhiri masa baktinya di tahun depan (2016) katanya. Octo, kita lihat saja soal uskup ini, akan jadi panas nanti.

Membaca email Pater ini menyegarkan refleksi saya sebagai awam Katolik berlatarbelakang Wartawan atas petugas gereja Katolik. Bahwa ketika para biarawan dari Belanda ini berangkat, Papua adalah tanah misi. Mereka tinggalkan semua, untuk mewartakan injil. Ketika mereka berangkat berpikir bahwa yang akan mereka ketemu orang orang Kafir, namun di lapangan mereka jumpai adalah bangsa bangsa yang spiritual, yang memahami kehadiran pencipta dan nilai-nilainya mereka hayati dalam berbagai adat. Yang para misionaris lakukan adalah inkulturasi, bagaimana memasukan nilai adat dalam liturgi gereja dan mempergunakan nilai adat untuk mewartakan Tuhan yang dikenal melalui Yesus.

Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

Sementara, bagi petugas petugas baru dalam gereja Katolik Indonesia, Papua hanya sebuah paroki dalam gereja Katolik di bawah hirarki Konferensi Wali Gereja Indonesia. Mereka yang bertugas di Papua tidak perkenalkan Iman Kristiani melainkan merawat Iman yang sudah ada. Tugas itu gagal karena tidak mampu masuk dalam budaya setempat. Ketika umatnya di bantai di depan mereka, para imam maupun petugas gereja lainnya diam membisu. Uskup Uskup kecuali almarhum John Saklil dan juga Uskup Asmat Aloysius Moerwito, memilih bekerja dengan penguasa guna mengamankan uang yang diterima misalnya melalui Otonomi Khusus. Orang awam yang menjadi pembisik para pimpinan agama adalah orang orang sedaerah menjadi warga paroki karena bertugas sebagai petugas pemerintah dan aparat keamanan. Bagi mereka yang penting, selama misa di penuhi umat, sumbangan kolekte penuh dan tugas selesai.

 Kesedihan pater Frans akan perbedaan antara fakta lapangan gereja di Papua dengan Vatican dibawah Paus Fransiskus pun terbuka lebar. Karena Paus memberikan perhatian yang luar biasa kepada bangsa bangsa pribumi, menekankan pentingnya manusia bersabat dengan alam. Yang terjadi di Indonesia adalah para perusak alam melalui perusahaan besar merupakan penyumbang utama KWI dan PGI. Uskup Maroke misalnya berkeliling sebagai jurubicara dari perusahaan perusahaan itu dan meminta rakyat menyerahkan tanah demi perbaikan kehidupan ekonomi. Akibat ulah mereka demikian, syukurlah Vatican mengambil tindakan, karena yang bersangkutan sudah kelewat batas dan akhirnya di berhentikan sebagai Uskup Agung Maroke.

Bersambung…

)* Penulis adalah Wakil Ketua ULMWP

Artikel sebelumnyaOrang Papua Sungguh Mau Merdeka
Artikel berikutnyaOrang Papua akan Berakhir Seperti Orang Aborigin di Australia