JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Mahasiswa dan mahasiswi eksodus dari Pulau Jawa ke Papua atas ujaran rasisme 15-17 Agustus 2019, meminta pemerintah Indonesia untuk membebaskan tujuh orang tahanan Politik yang sedang menjalani proses hukum di Balikpapan, Kalimantan Timur karena mereka bukan pelaku rasis.
Hal tersebut disampaikan Posko Umum Mahasiswa Exodus lewat rilis yang diterima media ini pada Senin (8/6/2020) di Jayapura.
Dijelaskan, persitiwa rasisme di yang terjadi di Surabaya bermula dari rasis yang dilakukan oleh aparat keamanan, Satpol PP dan ormas reaksioner di Surabaya-Jawa Timur pada tanggal 15-17 Agustus 2019.
Hal tersebut telah membuat amarah bagi seluruh rakyat Papua dari Sorong-Merauke, dengan amarah itu seluruh rakyat Papua tanpa dipaksakan dan tanpa konsolidasi jangka panjang seluruh kabupaten di Papua melakukan demo damai serentak memprotes rasis yang terjadi di Surabaya.
Dikatakan, setelah terjadi demo damai di seluruh Tanah Papua, Polisi menangkap mahasiswa dan para aktivis dengan mengalihkan isu rasis kepada kriminal dan isu Politik. Padahal, katanya, demo yang terjadi adalah benar-benar demo rasisme di Surabaya.
“Karena sudah jelas-jelas rasis Surabaya itu dilakukan oleh aparat, Pol PP bersama ormas reaksioner. Kelakuan mereka tidak manusiawi dan melanggar Bhineka Tunggal Ika di negara ini. Seharusnya pelaku ini yang di tangkap dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya. Bukan kepada korban rasisnya,” tegas pengurus Posko Umum Mahasiswa Exodus.
Untuk itu, Posko umum Eksodus Pelajar dan Mahasiswa Papua Se-Indonesia menindak tegas terkait adanya kriminalisasi pasal makar dan diskriminasi hukum terhadap tuju Tapol Papua di PN Balikpapan.
“Jadi berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Papua, ada yang 17, 15 , 10 dan 5 tahun Penjara untuk 7 Tapol sangat berbeda dengan putusan terhadap Surya anta dan kawan-kawan yang baru bebas. Begitu juga beda dengan putusan tahanan di Manokwari, Sorong dan Jayapura,” tulisnya.
Mereka yang ditahan dan yang sedang jalani proses Hukum di kalimantan Timur hingga surat tuntutan JPU Papua turun adalah Buctar Tabuni dituntut 17 Tahun Penjara, Agus Kosay dituntut 15 Tahun Penjara, Stevanus Itlai dituntut 15 Tahun Penjara, Alexander Gobay dituntut 10 Tahun Penjara, Ferry Gombo dituntut 10 Tahun Penjara, Irwanus Uropmabin dituntut 5 Tahun Penjara, dan Hengky Hilapok dituntut 5 Tahun Penjara.
Sikap Mahasiswa Eksodus Se-Indonesi di Papua
- Kapolri Negara Kesatuan republik Indonesia Stop Kriminalisasi tujuh Tapol Papua di Balikpapan selaku anti Rasisme, karena mereka bukan pelaku Rasis Surabaya 2019.
- Mahkamah Agung Republik Indonesia segera memutuskan mata rantai praktek kriminalisasi pasal makar mengunakan sistem peradilan pidana di Papua sebagaimana yang dialami oleh tujuh Tapol Papua korban kriminalisasi pasal makar sembari mewujudkan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan cara Mahkamah Agung Republik Indonesia melakukan pengawasan terhadap proses persidangan tujuh tapol Papua korban kriminalisasi pasal makar di PN Balikpapan sebagai bentuk implementasi pasal 29 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
- Majelis hakim pemeriksa perkara tujuh Tapol Papua di PN Balikpapan diharapkan mengedepankan prinsip kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan untuk menyelamatkan sistem peradilan pidana dari kriminalisasi pasal makar yang sudah sering dilakukan oleh institusi penegak hukum di Papua dengan cara memberikan putusan bebas kepada tujuh Tapol Papua Korban Kriminalisasi pasal makar mengunakan sistem peradilan pidana dari surat tuntutan jaksa penuntut umum kepada tuju Tapol Papua yang dirumuskan tanpa mengikuti arahan surat edaran Jaksa Agung Nomor: 001/J.A/4/1995 tentang pedoman perumusan tuntutan dalam perkara tindak tindak pidana biasa.
- Presiden republik Indonesia segera bebaskan tuju Tapol Papua di Balikpapan selaku korban kriminalisasi pasal makar tanpa syarat.
Pewarta: Ardi Bayage
Editor: Arnold Belau