Penembakan Ayah-Anak di Nduga Kembali Tunjukkan Negara Bertindak Represif

0
2321

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Merespon tewasnya dua warga Nduga, Papua, akibat penembakan oleh anggota TNI, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan tindakan aparat keamanan menembak dua warga Papua kembali menunjukkan negara kerap bertindak represif di Papua.

“Kedua warga yang merupakan ayah dan anak itu akhirnya tewas. Ini adalah tindakan yang tak terukur, brutal dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kami mendesak adanya investigasi segera, menyeluruh, independen, transparan dan tidak berpihak,” kata Hamid dalam rilis yang diterima suarapapua.com pada Selasa (21/7/2020).

Hamid menjelaskan, meski berstatus militer, pelaku harus diadili di bawah jurisdiksi peradilan umum sesuai perintah UU TNI. Tidak cukup hanya disiplin internal maupun di pengadilan militer, karena ini bukan hanya pelanggaran disipliner, tapi merupakan tindak pidana dan pelanggaran HAM.

Jika otoritas hanya membawa kasus ini ke pengadilan militer, artinya negara gagal dalam memenuhi kewajiban internasional untuk melindungi hak asasi manusia setiap warganya, termasuk gagal menegakkan UUD 1945 bahwa setiap warga negara sama kedudukannya di muka hukum.”

“Negara juga harus menyediakan reparasi yang meliputi rehabilitasi, restitusi, kompensasi, dan jaminan tidak terulangnya kembali penembakan itu kepada keluarga korban. Proses dan hasil investigasi harus dipublikasikan dan diberikan kepada keluarga korban dan masyarakat umum. Kami mendesak Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang kerap kali terjadi di Papua.”

ads
Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

“Kami percaya bahwa terdapat hubungan langsung dan kausalitas antara impunitas dan terus terjadinya penembakan yang menyebabkan pembunuhan di luar hukum. Setiap kegagalan dalam menyelidiki atau pun membawa para pelaku insiden kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua ke pengadilan, akan memperkuat keyakinan bahwa memang mereka berdiri di atas hukum,” katanya.

Latar belakang

Kodam Cendrawasih telah mengonfirmasi dan membenarkan adanya penembakan hingga tewas terhadap dua warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, oleh oknum anggota TNI yang bertugas disana. Insiden tersebut terjadi pada hari Sabtu, 18 Juli 2020.

Berdasarkan kronologi yang dihimpun Amnesty International Indonesia, penembakan terjadi sekitar pukul 15.00 waktu setempat. Kedua korban atas nama Selu Karunggu, 20 tahun (anak laki-laki) dan Elias Karunggu, 34 tahun (ayah). Mereka adalah penduduk sipil berstatus pengungsi pasca peristiwa 2 Desember 2018 di Distrik Yigi, Nduga.

Baca Juga:  Nomenklatur KKB Menjadi OPM, TNI Legitimasi Operasi Militer di Papua

Keduanya diduga ditembak oleh oknum TNI saat hendak menuju ke Keneyam, Ibu Kota Kabupaten Nduga, dan selama ini bertahan di hutan tempat pengungsian yang tidak layak. Banyak orang dilaporkan mati kelaparan di pengungsian tersebut.

Lokasi kejadian bertempat di kampung Masanggorak di pinggir sungai Keneyam, hanya berjarak setengah kilometer dari Kota Keneyam. Oknum TNI menembak kedua korban dari pos darurat mereka di pinggir sungai saat keduanya menyeberang sungai.

Saat itu pengungsi hendak menuju Keneyam bersama beberapa pengungsi lain dalam satu rombongan. Mereka berasal dari tiga distrik yang berbeda. Namun kedua korban lebih dulu tiba dibandingkan pengungsi lain.

Merespon peristiwa ini, Pemda dan masyarakat Nduga turun ke jalan pada Minggu, 19 Juli 2020 dari pagi hingga sore, meminta jenazah kedua korban dimakamkan sore itu juga di pinggir lapangan terbang Keneyam. Mereka juga meminta Presiden Joko Widodo bertanggung jawab atas kasus ini dan menarik Pasukan TNI dan Polri dari seluruh Kabupaten Nduga.

Warga Papua kerap kali menjadi korban pembunuhan di luar hukum oleh oknum-oknum aparat negara. Di tahun 2018, Amnesty International Indonesia menerbitkan laporan berjudul “Sudah, Kasih Tinggal Dia Mati!” yang mencatat sebanyak 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua antara Januari 2010 sampai Februari 2018, dengan memakan 95 korban jiwa. Dalam 34 kasus, para tersangka pelaku berasal dari kepolisian, dalam 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan dalam 11 kasus kedua aparat keamanan itu diduga terlibat bersama-sama. Selain itu, satu kasus tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), lembaga di bawah pemerintah daerah yang ditugaskan untuk menegakan peraturan daerah. Sebagian besar korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis Papua.

Baca Juga:  Usut Tuntas Oknum Aparat yang Diduga Aniaya Warga Sipil Papua

Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional tentang perlindungan terhadap hak untuk hidup, di antaranya adalah Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal 6 ICCPR menegaskan bahwa “setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.” Maka kegagalan proses hukum dan keadilan atas pelaku penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

REDAKSI

SUMBERAmnesty Internasional Indonesia
Artikel sebelumnyaLawyers for Lawyers Nominasikan Gustaf Rudolf Kawer untuk IBA Award 2020
Artikel berikutnyaSoal Otsus, Haris Azhar: Pihak Luar Akan Masuk dan Ambil Keuntungan