MANOKWARI, SUARAPAPUA.com— Sayang Mandabayan Eks Tahanan Politik Papua Barat kembali dilaporkan dan telah dipanggil pihak kepolisian terkait dengan sebuah unggahannya di sosial media facebook.
Mandabayan dipanggil dengan surat panggilan bernomor B/456/VII/2020 Diskrimsus. Dalm surat itu dia dipanggil untuk melakukan klarifikasi dan diminta penuhi panggilan pada hari Rabu, (29/7/2020) jam 10:00 di ruang pemeriksaan subdit V siber direktorat reserse kriminal Polda Papua Barat.
Pada poin satu huruf d dalam surat tersebut disebutkan dia dipanggil atas laporan Polisi (Nomor: LI/31/VII/2020/subdit siber/ Diskrimsus) tanggal 25 Juli 2020 tentang penyelidikan dugaan perkara tindak pidana bidang ITE (Ujaran Kebencian berdasarkan SARA).
Saat dikonfirmasi suarapapua.com, Sayang mengatakan, belum bisa berkomentar terkait hal ini. Dia memberikan kepercayaan kepada pendamping hukumnya untuk menjelaskan secara detail terkait pemanggilan tersebut.
Menanggapi pemanggilan tersebut, Markus Yenu Gubernur West Papua National Authority (WPNA) menilai pemanggilan tersebut merupakan wujud upaya polisi untuk kriminalisasi Sayang Mandabayan di ruang demokrasi. Menurutnya Sayang saat ini tidak melakukan kejahatan yang melawan negara.
“Saya kira putusan kemarin sudah jelas [finish], sayang tidak melakukan makar, dia seorang perempuan yang melahirkan dan menyusui,” Kata Markus kepada wartawan di Manokwari, Papua Barat.
Markus menilai pemanggilan dari polisi itu terlalu berlebihan. Dia juga menegaskan, Putusan kemarin sudah sah dan Sayang tidak melakukan kesalahan.
Sementara itu, Edison Baransano Ketua Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua “Tiki” korwil Papua Barat mengatakan, Negara jangan membungkam, negara harus memberikan ruang kepada perempuan untuk berekspresi menyampaikan pendapat di ruang demokrasi untuk membela hak Perempuan.
“Di Papua identik dengan 10 hak Perempuan. Salah satunya kebebasan perempuan menyampaikan pendapat. UU Otsus juga menjamin menyampaikan pendapat terhadap hak-hak perempuan,” Terangnya.
Dia mencontohkan, di MRP ada Pokja perempuan yang mewakili hak perempuan. Jadi, dia mau bicara merdeka atau NKRI itu haknya, dia bebas untuk berekspresi yang tidak perlu dibatasi.
“Perempuan di Papua ini kaum yang paling terdampak, baik dari sisi pendidikan, sosial ekonomi, politik hingga korban kekerasan. Negara harus memberikan kebebasan bagi perempuan,” katanya.
Pewarta : Charles Maniani
Editor : Arnold Belau