JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pastor Alberto John Bunai, Pr, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) dan Koordinator 57 Pastor Pribumi Papua dari lima Keuskupan di Tanah Papua menegaskan Otsus bukan hanya soal uang, tetapi lebih dari itu. Maka Jakarta dan seluruh elit politik diminta untuk dengar apa yang orang Papua inginkan.
“Beberapa waktu lalu dalam seruan kami, kami menegaskan agar Jakarta tidak memaksakan untuk melanjutkan Otsus. Karena banyak pihak menolak Otsus dan yang menolak Otsus adalah manusia, maka dengan apa dan kenapa mereka (orang Papua) menolak Otsus,” tegas Pastor John kepada suarapapua.com pada Sabtu (1/8/2020) di Abepura.
Pastor John menyarankan agar Jakarta memberikan kebebasan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) supaya orang-orang yang menolak itu dapat dikumpulkan dan dibicarakan bersama.
“Saya minta supaya negara berikan kebebasan kepada masyarakat Papua agar bersama MRP dan DPRP bicarakan apa yang terbaik ke depan. Caranya, gunakan dana Otsus satu tahun ke depan untuk membiayai pertemuan besar orang Papua,” kata Pastor John menyarankan.
Sehingga, lanjut dia, hasil pertemuan yang sudah dibahas dan sudah disepakati itu yang kemudian diajukan ke Jakarta.
“Ini satu cara supaya tidak boleh lagi ada krisis kemanusiaan di Tanah Papua. Jadi pada moment ini masyarakat Papua harus tentukan apa yang baik untuk mereka. Bukan lagi Jakarta yang tentukan,” ujarnya.
Bupati Kabupaten Mimika, Eltinus Omaleng meminta kepada pemerintah pusat agar jika Otonomi Khusus diperpanjang di Papua, maka sebaiknya mengumpulkan elit-elit politik, tokoh masyarakat, agama dan adat.
Kata Omaleng, para toko ini harus dikumpulkan untuk kemudian diberikan sosialisasi tentang perpanjangan Otsus. Tokoh-tokoh yang dikumpulkan juga seharusnya yang selama ini ikut berproses dalam pengelolaan dana Otsus.
Bupati Mimika dua periode itu menyebutkan, selama ini jika ada pertemuan Gubernur dan bupati-bupati se Papua, selalu membahas tentang Otsus dimana orang Papua hanya uang saja tetapi tidak dengan kewenangan.
“Dan selalu kita perkumpulan bupati gubernur selalu mengatakan bahwa, Otsus itu hanya uang saja, kewenangan penuh tidak pernah memberikan kepada OAP,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM DPR Papua, Laurenzus Kadepa menyebut, jika bicara Otonomi Khusus (Otsus) Papua bukan hanya mengenai uang (dana Otsus), namun yang lebih penting adalah penghormatan terhadap hak-hak orang asli Papua seperti dilansir jubi.co.id pada Juli 2019 lalu.
Pernyataan itu dikatakan Kadepa sebagai respons terhadap tanggapan berbagai pihak belakangan ini terkait akan berakhirnya pemberian dana Otsus untuk Papua pada 2021 mendatang.
“Bagi saya, keputusannya ada pada rakyat Papua. Apakah (rakyat Papua ingin pemberian dana) Otsus dilanjutkan atau tidak karena Otsus bukan soal uang, namun penghormatan terhadap hak, harkat dan martabat orang asli Papua,” kata Kadepa.
Menurutnya, penghormatan terhadap hak, harkat dan martabat orang asli Papua inilah yang merupakan tolok ukur kekhususan Papua oleh Pemerintah Indonesia dan masyarakat Indonesia lainnya.
Kata Kadepa, tidak hanya pemanfaatan dana Otsus Papua yang hingga kini dinilai berbagai pihak belum sepenuhnya menyentuh orang asli Papua. Pasal-pasal dalam UU 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua juga sebagian besar belum diimplementasikan.
Kadepa mencontohkan penegakan hak asasi manusia dengan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR), hingga kini tidak pernah terwujud, meski hal tersebut merupakan amanat pasal 45 dan 46 UU Otsus Papua.
Upaya pembentukan KKR katanya, selalu menemui hambatan. Apalagi setelah UU nomor 27 tahun 2004 tentang KKR dibatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 006/PUU-IV/2006.
Kini pembentukan KKR lanjutnya, mesti melalui Keputusan Presiden atau Keppres. Namun presiden tidak kunjung mengeluarkan Keppres, agar pasal 45 dan 46 UU Otsus tentang KKR dapat dilaksanakan.
Kata Kadepa, ketika bicara Otsus jangan hanya uang yang menjadi topik utama. Namun hak dan harga diri orang asli Papua. Kini orang asli Papua semakin terpinggirkan di tanahnya.
Pengelolaan kekayaan alam, sistem ekonomi hingga tenaga kerja di semua sektor dikuasai orang dari luar Papua. Pasal-pasal dalam UU Otsus tidak berdaya memproteksi orang asli Papua, karena dilemahkan dengan berbagai regulasi yang dinilai lebih tinggi.
“Kalau seperti ini, apa kita masih harus fokus pada masalah uang Otsus? Otsus bukan masalah uang, tapi penghormatan terhadap hak dan harga diri orang asli Papua,” ujarnya.
Gelar Musyawarah di 7 Wilayah Adat
Namun, sebelum pertemuan besar antara MRP, DPRP dan masyarakat Papau itu terlaksana, dia meminta agar aparat tidak lagi dikirim ke Papua dan tarik semua pasukan non organik yang ada di Tanah Papua.
“Karena selama ada pengiriman pasukan dan selama ada militer non organik di Tanah Papua, masalah Papua tidak akan pernah diselesaikan,” tegasnya.
Selain itu, untuk anggarannya, Pastor John juga sarankan agar menggunakan seluruh dana yang bersumber dari dana Otsus untuk MRP bisa kumpulkan seluruh masyarakat Papua di provinsi Papua maupun Papua Barat.
“Tidak usah bahas Otsus untuk dievaluasi dan lain-lain. Saya usulkan supaya dana yang ada digunakan untuk mobilisasi seluruh masyarakat di Papua dan Papua Barat dan kumpulkan orang Papua. Setelah itu bikin musyawarah di tingkat 7 wilayah adat dan dengar apa yang masyarakat adat mau,” katanya.
Selanjutnya, jika pertemuan dengan masyarakat adat di 7 wilayah adat sudah dilakukan, maka kumpulkan dan lakukan musyawarah yang serupa dengan berbagai kalangan dan kelompok di Papua dan Papua Barat.
“Supaya orang Papua bicara tentang dirinya, masa depannya, haknya, martabatnya selama di dalam NKRI kedepan. Baru bisa bikin evaluasi Otsus. Kalau langkah ini belum dilakukan, jangan pernah revisi,” tegas Pastor John.
Pewarta: Arnold Belau