BeritaKasus Dekai Yahukimo, DPRD Minta Aparat Tidak Represif dan Fokus Menangkap Pelaku

Kasus Dekai Yahukimo, DPRD Minta Aparat Tidak Represif dan Fokus Menangkap Pelaku

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Bernard Aheyon, Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Yahukimo yang membidangi Pemerintahan, Hukum, Politik dan HAM menyesalkan tindakan aparat gabungan TNI/Polri yang melakukan penyisiran kepada warga masyarakat di Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua belakangan ini atas kasus pembunuhan sejumlah warga.

Aheyon minta agar aparat tidak melakukan penyisiran secara keseluruhan, melainkan fokus menangkap oknum yang melakukan perbuatan menghilangkan nyawa manusia.

“Kami ini ada di negara hukum, maka tidak bisa pihak kepolisian langsung melakukan penyisiran ke warga. Itu kurang tepat. Lebih baik cari oknumnya dan tangkap dia beri hukuman sesuai dengan hukum yang ada di Negara Republik Indonesia ini,” kata Aheyon ketika dihubungi suarapapua.com, Jumat (28/8/2020).

Ia mengatakan, aparat tidak bisa melakukan tindakan penyitaan alat tajam seperti parang dan kapak yang selama ini digunakan warga Yahukimo untuk berkebun. Menurutnya, warga Yahukimo sudah terbiasa berkebun dan sejak lama berkebun dengan alat-alat itu, sehingga tidak bisa mengeneralisasi.

“Saat kejadiankan jelas bahwa tidak dilakukan dengan kelompok besar, jadi kalau cari harus fokus pada oknumnya. Jadi saya sebagai Ketua Komisi A berpesan kepada pihak keamanan agar mencari oknumnya, supaya jelas. Kemudian masyarakat Yahukimo adalah warga negara, sehingga oknum yang menghalangi pembangunan itu saja yang cari dan tangkap. Saya juga minta jangan lagi melakukan penembakan terhadap masyarakat yang tidak tahu masalah,” tegasnya.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

Katanya, dirinya mendukung pemerintah dalam melakukan pembangunan, tetapi dalam konteks ini pihak aparat mesti melakukan komunikasi dengan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat Yahukimo untuk mencari jalan lain dalam menyelesaikan persoalan ini.

“Jadi dalam konteks ini saya tidak salahkan pihak keamanan, saya turut mendukung, tetapi intinya mereka [aparat] kejar oknumnya. Kasihan kalau lakukan penyisiran begitu mereka [masyarakat] mau ke mana. Itu kurang baik. Harus ada kemanusiaan.”

Selain itu ia mengatakan, seperti yang disampaikan Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpauw terkait pembunuhan staf KPU Yahukimo, pelakunya adalah mantan anggota TNI yang dipecat, maka kasus ini jelas pelakunya. Sementara pembunuhan seorang pekerja yang terjadi baru-baru ini oknumnya belum jelas, maka pihak aparat tidak bisa mengeneralisasi rentetan kasus-kasus ini untuk melakukan penyisiran yang seolah-olah semua orang Yahukimo ikut terlibat.

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

“Katanya waktu penyisiran ada warga yang ditelanjangi dan dikumpulkan di gereja. Itu tidak boleh dilakukan. Perlu ada pendekatan terhadap masyarakat, karena jika kita tunjukkan cara seperti itu, masyarakat akan trauma dan tidak suka dengan pemerintah. Oleh sebab itu saya minta bedakan pelaku dan masyarakat umum.”

Amsal Siep, Wakil Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Yahukimo. (Dok. Pribadi)

Serupa disampaikan Amsal Siep, Wakil Ketua Komisi A. Menurutnya, pihak aparat tidak boleh lagi melakukan tindakan penyisiran terhadap warga di Dekai Yahukimo.

“Saya berharap penyisiran aparat tidak boleh masyarakat lainnya terganggu secara psikologis atau rasa takut. UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah memuat pasal-pasal yang menjamin perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM. Menurut saya, jaminan HAM yang sering dilanggar atau disampingkan, baik oleh negara maupun kelompok individu adalah hak atas rasa aman. Menurut UUD 1945 pada amandemen yang ke-II secara tegas sudah memasukan hak atas rasa aman ini di dalam pasal 28a- 28i,” kata Amsal.

Oleh sebab itu ia berharap agar aparat bisa mencari tahu pelaku pembunuhan itu dengan cara-cara kerja intelijen dan pelakunya diproses hukum. Agar masyarakat lainnya tidak terganggu psikologis mereka.

Baca Juga:  ULMWP Mengutuk Tindakan TNI Tak Berperikemanusiaan di Puncak Papua

“Saya berharap juga alat-alat tradisional rakyat seperti panah dan juga alat kerja mereka seperti parang, pisau dan kapak tidak boleh sita sembarang, karena itu alat kerja rakyat untuk mencari makan,” tukas Amsal.

Heron Pabingga, Anggota Komisi C DPRD Yahukimo minta agar aparat tidak melakukan penyisiran di jalan Gunung Dekai di rumah-rumah warga.

“Orang-orang kasih telanjang begitu kurang bagus. Jadi kami anggota DPR minta agar aparat harus cari oknumnya yang melakukan pembunuhan itu. Tangkap dia dan memproses sesuai hukum. Masyarakat Yahukimo juga berkebun dengan kapak dan parang, jadi tidak boleh sita alat kerja itu, tetapi cari oknumnya saja,” tutur Pabingga.

“Yang kemarin lakukan itu saja, tidak boleh lakukan lagi. Saya perwakilan Anggota Komisi C minta cari oknumnya dan tidak boleh lakukan tindakan ke masyarakat,” tukasnya.

Peristiwa pembunuhan pertama terjadi pada tanggal 31 Juli 2020 atas nama Eresa Kabak dan tanggal 20 Agustus 2020 atas nama M Tyb. Yang terakhir terjadi pada tanggal 26 Agustus 2020 atas nama Yausan.

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.