RUU Ciptaker Sah, Indonesia Berpotensi Alami Krisis HAM

0
1432

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Menanggapi pengesahan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang baru hari ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan Pengesahan Ciptaker hari ini menunjukkan kurangnya komitmen Pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI untuk menegakkan hak asasi manusia.

“Mereka yang menentang karena substansi Ciptaker dan prosedur penyusunan UU baru ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan. Anggota dewan dan pemerintah, nampaknya, lebih memilih untuk mendengar kelompok kecil yang diuntungkan oleh aturan ini. Sementara hak jutaan pekerja kini terancam,” tuturnya dalam pers release di website amnesty internasional, Mingggu, (5/10/2020).

Dirinya mengatakan, serikat pekerja dan kelompok masyarakat sipil seharusnya dilibatkan secara terus-menerus dalam pembahasan Undang-Undang ini, dari awal, karena anggota mereka-lah yang akan menanggung langsung dampak dari berlakunya Omnibus Ciptaker.

“Peristiwa penting di rapat paripurna hari ini akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja, dan akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang,” ujarnya.

Belum lagi, kata Hamid, perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap. Aturan seperti ini berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap.

ads
Baca Juga:  Lima Bank Besar di Indonesia Turut Mendanai Kerusakan Hutan Hingga Pelanggaran HAM

“Kami mendesak anggota DPR untuk merevisi aturan-aturan bermasalah dalam UU Ciptaker. Hak asasi manusia harus menjadi prioritas di dalam setiap pengambilan keputusan. Pemerintah juga harus melindungi dan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi dari mereka yang dirugikan atas pengesahan Ciptaker ini. Pandemi Covid-19, lagi-lagi, tidak boleh dijadikan alasan untuk melindungi hak mereka karena bersuara adalah satu-satunya jalan untuk didengar bagi mereka yang haknya dirampas,” ujarnya.

Lanjutnya, jangan sampai pengesahan ini menjadi awal krisis hak asasi manusia baru, di mana mereka yang menentang kebijakan baru dibungkam.

Latar belakang

Pada tanggal 5 Oktober 2020, DPR RI mengesahkan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) dalam rapat paripurna. Sejak pertama kali diusulkan, Omnibus Cipta Kerja telah menuai kontroversi di kalangan serikat pekerja dan kelompok masyarakat karena memuat pasal-pasal yang mengancam hak pekerja.

Proses penyusunan RUU Cipta Kerja dinilai sejumlah kelompok masyarakat kurang terbuka dan kurang transparan. Pembahasan yang dilakukan tertutup saat hari libur dan waktu pengesahan yang lebih cepat dari yang dijadwalkan memicu protes. Pembahasan yang dilakukan sejak awal dengan minim konsultasi melanggar hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik dan hak atas informasi.

Baca Juga:  Warga Tiom Ollo Duduki Kantor Bupati Lanny Jaya Minta Atasi Bencana Longsor

Selain itu, Amnesty menilai pasal-pasal berikut atau peniadaan pasal-pasal berikut berpotensi untuk melanggar hak asasi para pekerja:

  1. Masuknya Pasal 88B yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan). Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum
  2. Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan, yang mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan; apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi. Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang. Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.
  3. Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT. Meski demikian, jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, namun disebutkan akan diatur dalam PP. Catatan: aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap. Hal ini menghilangkan kepastian kerja
  4. Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP). Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.
Baca Juga:  Bangun RS Tak Harus Korbankan Warga Sekitar Sakit Akibat Banjir dan Kehilangan Tempat Tinggal

Sebelumnya, tanggal 2 Oktober 2020, Kapolri mengeluarkan telegram ke Kapolda di seluruh Indonesia yang berisi tentang imbauan untuk mendeteksi aksi unjuk rasa di berbagai kota terkait penolakan Omnibus Cipta Kerja. Dalam telegram itu, Kapolri mengimbau jajarannya untuk mencegah aksi unjuk rasa dan melakukan patrol siber terhadap mereka yang menolak Omnibus Cipta Kerja.

 

Pewarta : Agus Pabika

Editor : Arnold Belau

 

Artikel sebelumnyaTolak TGPF, PAHAM Papua Desak Komnas HAM Bentuk KPP HAM
Artikel berikutnyaTolak Otsus Jilid II, Rakyat Paniyai Tuntut Referendum