RDP di Biak Diintervensi, Masyarakat Saireri Minta Referendum

0
1991

MANOKWARI, SUARAPAPUA.com — Rapat dengar pendapat (RDP) tentang Otonomi Khusus di Tanah Papua yang diagendakan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Biak, dikabarkan diintervensi pemerintah daerah bersama aparat keamanan.

Mananwir Apolos Sroyer, ketua Dewan Suku Byak, kepada suarapapua.com dari Biak melalui telepon seluler, Rabu (19/11/2020), menjelaskan, kegiatan RDP yang diadakan 17-19 November 2020 untuk wilayah adat Saireri, dibatasi dengan tujuan agar masyarakat tidak menyampaikan aspirasinya.

“Kegiatan itu telah dipolitisir oleh kedua kepala daerah bersama aparat serta Barisan Merah Putih dari LMA,” kata Mananwir Apolos.

Ia mengatakan, kegiatan dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan seluruh masyarakat adat Saireri (Biak, Numfor, Yapen dan Waropen).

Apolos yang juga terlibat dalam pertemuan itu menjelaskan, pemerintah dan komponen masyarakat yang hadir bersepakat bahwa Otsus dilanjutkan. Kesembilan Mananwir (kepala suku) yang hadir, kata dia, tidak diberi ruang dalam RDP sesuai amanat pasal 77 Otsus Papua.

ads

Seluruh kepala suku Byak menolak keputusan bupati Biak dan seluruh perangkatnya tentang evaluasi Otsus yang mengatasnamakan masyarakat adat Biak dan itu dianggap ilegal karena seluruh masyarakat tidak dilibatkan.

“Pertemuan tertutup itu kami semua tidak hadir ini sama sekali masyarakat tidak tahu. Jadi itu hanya kepentingan elit politik saja,” ujarnya.

Apolos menambahkan, masyarakat Biak dari sembilan wilayah adat suku menyatakan menolak Otsus. Karena itu, ia mengimbau bupati Biak dan pejabat asli Papua jangan mempolitisir masyarakat dengan cara-cara yang berujung mengorbankan seluruh pemilik Tanah Papua.

Baca Juga:  Velix Vernando Wanggai Pimpin Asosiasi Kepala Daerah se-Tanah Papua

Gerard Kafiar, sekretaris Kainkain Karkara, mengatakan, selama satu hari penuh dari pagi hingga malam pada Rabu (18/11/2020) para Mananwir Byak sudah menunggu kedatangan MRP untuk menyampaikan aspirasi yang disepakati bersama masyarakat adat, tetapi tidak ada kabar.

Sekira pukul 01:30 WP dini hari, dokumen pernyataan sikap berhasil diserahkan kepada dua orang wakil MRP, Neles Rumbarar dan Yuliana Wambrauw di luar arena RDP.

“Kami masyarakat adat Biak menyatakan sikap tolak Otsus dan minta referendum. Pernyataan itu diharapkan dikirim kepada MRP, ULMWP, Dewan Adat Gereja Papua dan pihak internasional.”

Kafiar menceritakan saat MRP berada di Biak, kelompok Barisan Merah Putih dari LMA yang dipimpin David Rumansara dan Speniel Koibur melakukan demonstrasi di kantor bupati Biak dengan tujuan menolak kehadiran MRP agar RDP tidak dilaksanakan.

“Aksi mereka diboncengi pemerintah dan aparat. Bagi kami tidak ada ruang demokrasi sama sekali.”

Pada prinsipnya Dewan Adat Byak dan seluruh masyarakat adat menyatakan tolak Otsus dan minta referendum harus dilakukan untuk memastikan persetujuan masyarakat adat Papua secara adil, jujur dan bermartabat.

Halaman akhir isi pernyataan sikap.

Pernyataan sikap Kainkain Karkara Byak, Dewan Suku Byak

1. Pelaksanaan Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 belum efektif mempertahankan wilayah Tanah Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Indonesia, dimana tuntutan hak penentuan nasib sendiri masyarakat adat Papua masih ada dan semakin tinggi hingga saat ini, dengan kata lain konflik status politik Papua semakin hari semakin tinggi. Konflik status politik ini belum diselesaikan secara adil dan bermartabat, hal ini mengakibatkan tingkat pelanggaran hak asasi manusia semakin hari semakin tinggi dialami oleh masyarakat adat Papua.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program

2. Pelaksanaan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 belum efektif untuk mempertahankan masyarakat adat Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan belum efektif menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat adat Papua.

3. Pelaksanaan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 belum efektif membangun masyarakat adat Papua yang adil, makmur, dan sejahtera.

4. Pelaksanaan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 belum efektif menghormati masyarakat adat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar dan bermartabat.

5. Pelaksanaan Undang-undang nomor 21 Tahun 2001 belum efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua, dimana belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia khususnya masyarakat adat Papua.

6. Pelaksanaan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 belum efektif dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam di Tanah Papua, dimana belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Papua, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara masyarakat adat Papua dan masyarakat bukan orang asli Papua di provinsi Papua dan Papua Barat, serta merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat Papua.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

7. Pelaksanaan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 belum efektif melindungi nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak masyarakat adat Papua, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara.

8. Dampak pelaksanaan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tidak sesuai dengan yang diperkirakan dari undang-undang tersebut, sehingga tidak memberikan manfaat bagi masyarakat adat Papua.

9. Pelaksanaan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 belum efektif dalam memajukan mata pencaharian berkelanjutan bagi masyarakat adat Papua.

10. Pelaksanaan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tidak efektif untuk mendorong lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.

11. Pemerintah pusat dan daerah gagal dalam kewajiban dan tanggungjawabnya melaksanakan amanat Undang-Undang nomor 21 tahun 2001. Sehingga pemerintahlah yang melanggar atau mengingkari janjinya untuk menghormati, melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat Papua.

Pewarta: Charles Maniani
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaBerbagai Elemen di Paniai Nyatakan Siap Sukseskan MSN
Artikel berikutnyaSinode GKI Resmikan Kantor Bakal Klasis GKI Aitinyo dan Abun