Kisah Alion Belau yang Inspiratif, Perjuangan Menuju Sekolah Pilot di Amerika

0
5613

ALION Belau akhirnya lulus dari bangku SMA pada tahun 2012 di Semarang, Jawa Tengah. Namun, setelah lulus ia tidak langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, lantaran ada banyak kendala yang harus dihadapinya. Akhirnya Alion menganggur selama beberapa bulan.

Alion diberi pilihan oleh pihak asrama ingin mengambil jurusan apa. Namun Pilihan Alion teguh pada cita-citanya, yaitu ingin menjadi seorang pilot. Tetapi pada saat itu menurut Alion, terdapat perdebatan diinternal LPMAK (sekarang YPMAK)terkait pilihan jurusan kuliahnya, sehingga ia harus menunggu proses yang cukup lama.

Menurut pemikiran Alion saat itu, kemungkinan saja karena biaya sekolah penerbang cukup mahal, sehingga LPMAK untuk mengambil keputusan harus mendapat persetujuan dari seluruh badan pengurus yang ada, tidak serta merta langsung menyetujui keinginan Alion.

“Menurut saya, mungkin karena biaya sekolah penerbangan itu sangat mahal, sehingga memang harus ada keputusan yang dikeluarkan dari seluruh badan pengurus LPMAK, tidak bisa satu dua orang saja” kata Alion.

“Akhirnya itu menjadi pertimbangan besar, dan itu menunda saya untuk melanjutkan di sekolah penerbangan. Itu butuh waktu yang lama untuk mengambil keputusan apakah saya dibiayai di sekolah pilot atau tidak,” lanjutnya.

ads

Baca juga: Alion Belau, Captain Pilot Termuda dari Tanah Migani

Sambil menunggu itu, Alion diminta pihak asrama untuk memilih jurusan lainnya sementara, tetapi Alion bersikeras dan mengatakan jika tidak dibiayai ke sekolah jurusan penerbangan, lebih baik ia pulang dan kembali ke Timika untuk mencari kerja hanya dengan modal ijazah SMA.

“Jadi kalau tidak mau biaya saya sekolah pilot, saya pulang. Saya tahu buat jerat, saya tahu berburu babi hutan. Saya tahu karena bapak saya sudah ajari. Saya bisa kembali ke hutan, karena saya sudah besar. Jadi saya bilang terima kasih saja sudah biayai SMA saya, jadi kalau saya tidak jadi pilot saya kembali ke hutan, atau saya cari kerja pakai ijazah SMA,” ujarnya.

Apa yang dikatakan Alion bukanlah ancaman, melainkan yang sesungguhnya keluar dari dalam hati melalui ucapan mulutnya. Sebab, Alion beranggapan semenjak datang ke Semarang pihak asrama sudah mengetahui cita-citanya, apalagi hal-hal yang sudah ditunjukkannnya selama di berada di asrama, seperti keuletan mempelajari bahasa inggris yang menjadi hal dasar untuk menjadi seorang pilot.

Tetapi asrama justru menyampaikan kepada Alion jika hal itu sulit untuk diwujudkan, sebab dana yang harus disiapkan menempuh sekolah pilot sangat mahal. Pihak asrama kemudian memberi saran agar kuliah jurusan lain, dan sekolah pilot bisa dipikirkan dilain waktu. Karena, Alion masih memiliki kesempatan di lain waktu jika ingin sekolah pilot, yang penting saat itu Alion melanjutkan dulu kuliah pada jurusan lain agar tidak ketinggalan.

“Mereka bilang, mungkin ada jurusan alternatif kah, supaya kuliah itu saja dulu. Jadi pilot itu kapan saja bisa, kamu kuliah di jurusan ini saja dulu, nanti selesai baru kamu sekolah pilot. Tapi saya bilang tidak, saya minta maaf dan saya tolak semua. Kalau tidak biayai saya sekolah pilot, saya mau pulang,” tegas Alion.

Baca juga: Kisah Alion Belau, Capt Pilot yang Menginspirasi: Berawal Dari Sering ke Bandara

Akhirnya Alion menganggur sambil menunggu keputusan dari LPMAK tentang dana sekolah pilot, apakah akan disalurkan atau tidak. Keteguhan dan niat Alion dipuji Paul Sudiyo, Pimpinan Asrama Bintebusih di Semarang. Paul pun mencoba melakukan koordinasi dengan pihak LPMAK.

Karena belum mendapatkan jawaban, sembari menunggu, Alion mencari informasi di internet sekolah penerbangan yang ada di Indonesia. Ia kemudian menemukan Deraya Flying School yang terletak di Jakarta Timur. Saat itu, untuk biaya pendaftaran saja, Alion harus membayar Rp2,7 juta. Oleh karena itu Alion mencari akal bagaimana mendapatkan uang untuk sekdear mandaftar saja. Hal itu dilakukan Alion tanpa sepengetahun pihak asrama.

Alion lalu menghubungi ibunya di Timika dan menyampaikan dirinya sudah lulus SMA dan ingin melanjutkan sekolah pilot. Tetapi hingga saat itu belum mendapatkan bantuan pembiayaan, sehingga meminta sang ibu untuk membantu. Jika tidak bisa, Alion terpaksa pulang ke Timika.

Mendengar itu sang ibu bersedih dan menangis, lalu bertanya dan berkata, seperti apa sekolah pilot itu? Keuangan keluarga pun tidak ada. Untuk sekolah pilot pasti membutuhkan biaya yang sangat besar, karena itu merupakan sekolah untuk orang-orang hebat.

“Saya tanya, Mama ada uang tidak? Mama bilang tidak ada. Terus saya tanya, yang ada apa? Mama bilang ada babi kecil. Terus saya bilang tolong jual sekarang, terus uangnya kirim ke saya, karena uang pendaftaran 2,7 juta. Akhirnya Mama jual babi 3 juta, terus 3 juta itu dikirim ke saya semuanya,” kata Alion.

“Saya minta tolong ke Mama sesegera mungkin. Mama menangis saja, pikiran tidak ada dana yang bisa support saya untuk sekolah pilot. Apalagi kan orangtua saya kalau dikatakan sekolah pilot dan lain-lain, kan mereka macam wow, inikan biaya luar biasa, tidak ada gambaran mereka seperti apa sekolah pilot itu,” sambungnya.

Uang Rp3 juta yang dikirim sang ibu digunakan Alion untuk mendaftar di Deraya Flying School. Setelah itu pihak panitia pendaftaran meminta Alion berangkan ke Jakarta, sedangkan saat itu uangnya tersisa Rp300 ribu. Alion menyampaikan ke Paul Sudiyo bahwa dirinya akan ke Jakarta mendaftar di sekolah pilot.

“Bapak Paul bingung, kan tidak ada yang mau biaya, kenapa mau ke Jakarta ke sekolah pilot dan lain-lain. Saya bilang Bapak, saya minta bantuan, tolong untuk pegangan sampai Jakarta. Akhirnya bapak Paul bantu saya uang 1 juta,” ujar Alion.

Nekat dan tanpa mengetahui seluk beluk Jakarta serta membawa modal uang Rp1,3 juta di saku, Alion berangkat ke Jakarta menaiki kereta api menempuh perjalanan selama kurang lebih 12 jam. Ia turun di stasiun Jati Negara. Sesampai di Jakarta Alion menghubungi teman-temannya untuk menumpang tinggal sementara.

Keesokan paginya Alion ke Deraya Flying School untuk mengisi formulir, dan setelah itu ia pulang. Saat pulang Alion tidak bisa beristirahat lantaran stres. Pasalnya, setelah mendaftar Alion harus melakukan medical check up dengan attitude test atau tes bakat dibidang penerbangan. Sedangkan untuk melakukan keduanya itu biaya yang harus disiapkan mencapai Rp15 juta, dan sebelum masuk ke sekolah itu harus membayar biaya tahap pertama senilai Rp150 juta.

“Saya dengar bunyi (biaya) itu tuh, saya pulang langsung tunduk, pikir-pikir. Jadi saya ke tempatnya teman-teman itu saya stres parah, saya bilang ini siapa yang akan biayai saya,” ujarnya.

Karena tidak memiliki uang untuk melakukan medical check up, Alion tidak bisa tidur hingga pukul 4.30 WIB subuh. Paginya ia malah kaget karena terbangun pada pukul 8.00. Seharusnya sudah berangkat lebih awal ke sekolah itu, karena teman-temannya lainnya yang juga mendaftar di sekolah itu sedari pukul 6.00 WIB sudah berangkat mengikuti tes. Pihak sekolah kemudian menyampaikan ke Alion untuk melakukan medical check up sendirian, laporan hasil medical beserta nota pembayarannya kemudian disampaikan ke pihak sekolah.

Alion yang kebingungan lalu pulang. Namun saat perjalanan pulang ia justru mendapatkan kabar dari bapak Paul Sudiyo dan menanyakan posisi Alion. Paul Suidyo lalu menyampaikan kabar gembira ke Alion bahwa ada utusan dari PT Freeport Indonesia (PTFI) atau LPMAK untuk melakukan tes menjaring anak-anak di Asrama Binterbusih yang ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah penerbang. Alion pun diminta pulang ke Semarang hari itu juga, karena besoknya sudah dilakukan tes.

Hari itu juga Alion balik ke Asrama Binterbusih Semarang dengan menaiki bus, dan tiba keesokan paginya. Saat tiba di asrama, Alion langsung menaruh barang bawaannya di kamar lalu naik ke ruangan atas tempat diadakannya tes. Tes itu sendiri diikuiti oleh enam orang anak termasuk Alion.

Tes itu diadakan oleh George Resubun selaku utusan. Dalam tes itu George kagum dengan Bahasa Inggris yang dikuasai Alion, kemudian menyodorkan kertas kosong untuk diisi dan meminta menulis sekolah penerbangan di negara mana yang dinginkan. Alion bingung, lalu menyampaikan kepada George sekolah mana saja, yang penting adalah sekolah yang dapat mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang pilot.

Setelah tes, George menyampaikan bahwa hasil tes baru dapat diketahui setelah beberapa hari kemudian. Setelah hasil keluar, ternyata dari enam orang yang mengikuti tes hanya Alion yang lolos. Akhirnya George menghubungi Alion dan menyampaikan akan memperjuangkan Alion di LPMAK untuk dibiayai sekolah pilot.

“Dia (Bapak George) bilang orang seperti kamu itu pantas jadi pilot, karena kemampuan kamu itu luar biasa. Saya bilang puji Tuhan, saya senang sekali,” kata Alion.

Akhirnya LPMAK membincangkan soal Alion lantaran melihat hasil tes yang luar biasa. Mereka kemudian rapat dan memasukkan Alion ke dalam agenda untuk dibahas. Akhirnya pada saat rapat semua itu disetujui, LPMAK akhirnya mengalokasikan anggaran untuk biaya pendidikan Alion. George menawarkan dan menyampaikan kepada Alion bahwa dirinya sangat cocok sekolah pilot di Amerika. Kemudian Alion dicarikan sekolah di Amerika, sebab ada anak dari rekan pilot George di Timika yang juga sedang menempuh sekolah pilot di Amerika.

“Akhirnya bapak George kirim saya ke Balikpapan untuk kursus bahasa inggris lagi, tapi di khususkan untuk conversation, percakapan saja yang diperdalam,” katanya.

Selama tiga bulan di Balikpapan, Alion masih bertahan dalam perjuangannya untuk menjadi seorang pilot. Di bulan Februari hingga Maret 2013 dimulai dengan pengurusan visa. Hal ini ternyata tidak diketahui oleh pihak LPMAK. Sebab LPMAK hanya mengetahui bahwa Alion menempuh sekolah pilot di Jakarta.

“Mereka (LPMAK) pikirnya saya kuliah di Jakarta. Mereka kasih bantuan untuk beberapa semester saja dulu, nanti kalau sudah ada keterangan nilai dari sekolah, progresnya seperti apa, barulah mereka akan bantu lagi. Jadi uangnya itu digunakan untuk saya ke Amerika,” ungkap Alion.

Setelah mendaftar di sekolah penerbangan di Amerika, akhirnya Alion diterima. Lalu ia membangun komunikasi dengan anak dari rekan bapak George di Amerika untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang Amerika, terutama terkait sekolah penerbangan di negara Paman Sam itu.

Pengurusan visa selesai di bulan April 2013, Alio kemudian berangkat ke Amerika sendirian, hanya diantar George sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Akhirnya setelah menempuh penerbangan yang cukup melelahkan berada didalam pesawat, Alion tiba di negara Paman Sam, Amerika, tepatnya Dallas Fort Worth, Texas.

Bermodal bahasa inggris, dengan sendirinya Alion mengurus surat-surat penting seperti asuransi, sertifikat medical yang diperlukan bagi seorang pilot, lalu ke pihak perhubungan Amerika untuk mendapatkan Student Pilot License yang berfungsi layaknya surat izin mengemudi (SIM) untuk menerbangkan pesawat.

“Jadi siswa untuk terbang itu, dia harus punya semacam SIM untuk terbang, namanya Student Pilot License,” katanya.

Setelah semua itu diurus, dibulan April itu juga Alion mulai terbang dengan pesawat. Oleh intrukturnya Alion diajar langsung mengoperasikan pesawat, tidak seperti sekolah penerbangan yang ada di Indonesia, harus mengikuti serangkaian materi-materi yang harus dipelajari terlebih dulu sebelum terbang mengoperasikan pesawat.

“Jadi, di sekolah saya itu, saya dikasih buku tebal-tebal untuk materi, belajar sendiri. Untuk terbang baru mereka yang ajar. Itu terbang pakai pakaian biasa saja, pakai celana pendek, bahkan biasa pakai sandal. Nama sekolahnya itu Crew Aircraft Flight Training di Dallas, Fort Worth, Texas,” terang Alion.

Baca juga: Kisah Pilot Capt. Alion Belau, Berfikir Dewasa Sejak Kecil

Alion mulai terbang dari nol pengetahuan tentang pesawat maupun penerbangan. Langsung disuruh naik pesawat oleh instruktur dari Crew Aircraft Flight Training, ia disuruh duduk di sisi kiri kemudi, kemudian diberi tahu fungsi-fungsi dari sekian banyak tombol maupun tuas diruang kendali pesawat jenis Cessna 150, yang adalah pesawat pertama diterbangkan oleh Alion.

“Saya ikuti semua, dan saya kaget ini pesawat sudah di udara. Pengalaman pertama itu saya agak takut, tapi saya merasa, aduh Tuhan, terima kasih. Akhirnya saya sudah bisa mulai menerbangkan pesawat. Jadi pengalaman pertama itu takut, tapi menyenangkan,” ujar Alion sembil tertawa.

Setiap hari selama tiga bulan Alion terus belajar menerbangkan pesawat didampingi instruktur. Setelah tiga bulan, dengan melihat perkembangan dan pencapaian pada diri Alion, akhirnya dipercaya menerbangkan sendiri pesawat. Itu juga setelah di cek dari sisi pengetahuan penerbangan, skill atau kemampuan, hingga motorik menerbangkan. Jika sudah memenuhi standar Federal Aviation Administration (FAA) yang merupakan badan penerbangan Amerika, Alion sudah bisa dinyatakan dapat mengoperasikan pesawat sendirian.

“Kalau saya sudah mampu sesuai dengan standarnya mereka, berarti oke. Akhirnya saya terbang sendiri, masih pakai pesawat yang sama, begitu terus,” jelasnya.

Hampir sembilan bulan di Amerika, biaya sekolah Alion bermasalah dan mempengaruhi penerbangannya dalam mengikuti proses menuntut ilmu. Hal itu disebabkan pihak LPMAK baru mengetahui setelah tiga bulan Alion bersekolah di Amerika. Seharusnya Alion sekolah pilot di Jakarta.

“Mereka kaget, inikan seharusnya sekolah di Jakarta, kalau di Amerika lagi biaya semakin membengkak. Akhirnya biaya saya semakin tidak mulus seperti semula, dan akhirnya sudah mulai tidak diperhatikan,” ujarnya.

“Setelah sembilan bulan disana, itu musim salju, saya berhenti sejenak dua bulan. Pas bulan Desember tanggal 30 visa saya juga masa berlakunya habis, karena visa pelajar. Saya dapat kabar dari Bapak George, kamu kembali ke Indonesia,” sambungnya.

Bagi yang ingin informasi seputar pilihan sekolah pilot baik di Indonesia, Filipina, New Zealand, Australia, atau di Amerika, bisa kunjungi sekolah-pilot.com. (*)
SUMBERSeputar Papua
Artikel sebelumnyaBPJN Wamena Siap Berdayakan Kontraktor OAP
Artikel berikutnyaLima Negara Mikronesia Nyatakan Keluar dari Pacific Islands Forum