AMPTPI: Segera Tutup Freeport dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk Papua Barat

0
1277

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se – Indonesia (AMPTPI) mendesak negara untuk tutup PT Freeprt Indonesia dan berikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua. Selain itu aliansi ini juga menyatakan sikap menolak Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II.

Menurut Sekjen AMPTPI, Ambrosius Mulait, hak penentuan nasib sendiri yang diatur dengan cara dan mekanisme internasional adalah solusi demokratis bagi bangsa west Papua untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi di Tanah Papua.

Ambrosius menjelaskan, perjanjian Roma yang ditandatangani oleh Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat merupakan perjanjian yang sangat kontroversial dengan 29 pasal yang mengatur dalam perjanjian New York, yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA kepada Indonesia.

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

“Berdasarkan perjanjian tersebut, klaim Indonesia atas tanah Papua sudah dilakukan pasca penyerahan kekuasan wilayah Papua Barat dari tangan Belanda kepada Indonesia melalui Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA pada 1 Mei 1963. Selanjutnya Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua,” jelasnya.

Lebih ironis, kata Ambrosius, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.

ads
Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Freeport Mc Moran melakukan tambang terbesar dengan kekuatan militer yang berlebihan, mulai sejak tahun 1967 rezim orde baru dan memulai eksplorasi pada 1970-an, areal Freeport Mc Moran dikendalikan oleh militer Indonesia dengan beranggapan bahwa menjaga “Objek vital atau daerah yang harus di jaga”.

“Penjagaan sepanjang 46 mil, dari pelabuhan Amamapare (Sekitar 30 km dari kota Timika) hingga puncak gunung Nemangkawi dan setiap orang yang masuk kesana, entah suku asli maupun luar dari itu masuk melalui Mil 26 dan Mil 28 dengan pengawasan ketat oleh militer Indonesia dan harus ada tanda pengenal (ID card), jika tidak ada bahkan masyarakat asli pun dilarang masuk,” katanya.

Baca Juga:  Nomenklatur KKB Menjadi OPM, TNI Legitimasi Operasi Militer di Papua

Sementara itu, Aeynusy dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menambahkan, pada 7 April Tahun 1967 usai tanda tangan kontrak karya Freeport Mc Moran pertama militer Indonesia membangun Helipad dan Basecamp di lembah Waa dan Banti sekitar gunung Nemangkawi, sehingga sejak itulah masyarakat sekitar tidak menerima kehadiran militer Indonesia.

Rapat khusus yang di buat oleh Freeport Mc Moran dan pemerintah Indonesia untuk mengirim TNI angkatan darat demi mengamankan aktivitas eksploitasi.

“Sekitar 60 orang suku Amungme menjadi korban dalam insiden tersebut. Freeport Mc Moran melalui militer Indonesia dan pemerintah Indonesia mengusir masayarakat suku Amungme dengan cara operasi militer,” tegasnya.

Pewarta : Agus Pabika
Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaMahasiswa dan Pelajar Papua Desak Tutup Freeport dan Tolak Otsus Jilid II
Artikel berikutnyaAmnesty Internasional: Situasi Impunitas Terus Berlangsung di Papua dan Papua Barat