Nasional & DuniaCarmel Budiarjo, Pendiri Tapol dan Putri Sulung Papua Meninggal Dunia

Carmel Budiarjo, Pendiri Tapol dan Putri Sulung Papua Meninggal Dunia

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pendiri Tapol dan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), Carmel Budiarjo, meninggal dunia pada, Sabtu 9 Juli 2021 di London Inggris pada usia 96 tahun. Pengumuman meninggalnya Carmel diumumkan melalui twitter Tapol.

“Dengan kesedihan besar, kami sampaikan meninggalnya Carmel Budiarjo, pendiri kami pada, Sabtu pagi jam 09:00.”

Carmel Budiardjo menurut catatan Andreas Harsono, dari Human Rights Watch (HRW) Indonesia, lahir pada tahun 1925 di London, Inggris. Dia lulus dari University of London pada tahun 1946. Dia bertemu dengan Suwondo Budiardjo, seorang pegawai Indonesia, ketika mereka ada di Praha. Mereka menikah dan pindah ke Jawa pada 1952. Belakangan Carmel bekerja untuk Departemen Luar Negeri.

Pada 1965, Mayjen Soeharto mengambil alih kekuasaan serta memenjarakan ribuan kaum komunis Indonesia, termasuk Suwondo selama 12 tahun. Carmel sendiri sebagai ekonom kiri, di penjara tiga tahun, dibebaskan karena dia warga negara Inggris, dan di deportasi dari Indonesia pada tahun 1971.

Di London pada 1973, Carmel Budiardjo mendirikan Tapol, singkatan dari “tahanan politik,” guna kampanye pembebasan para tapol di Indonesia. Tapol lantas memperluas kampanye mereka dengan riset tentang kegiatan militer Indonesia dan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, Aceh dan Papua.

Baca Juga:  Proyek Strategis Nasional “Serbu” Merauke

Buletin Tapol merupakan referensi penting soal hak asasi manusia di Indonesia pada 1970an hingga 1990an. Pada 1983, Tapol menerbitkan buku West Papua: The Obliteration of a People.

Dia menulis otobiografi Surviving Indonesia’s Gulag soal kekejaman militer Indonesia terhadap para tapol komunis.

Kerja Budiardjo di bidang hak asasi manusia mendapat penghargaan di berbagai tempat. Pada 1995, Carmel Budiardjo menerima penghargaan Right Livelihood Award dari Stockholm. Pada 1999, International Forum for Aceh, yang berpusat di New York, memberi gelar khas perempuan Aceh kepada “Tjut Carmel Budiardjo.”

Selain itu, Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu memberikan gelar “Putri Sulung Bangsa Papua” kepada Carmel Budiardjo pada 28 Desember 2010 di Bali. Acara penghargaan itu diselenggarakan di Bali karena Carmel, sebagai non-warga Indonesia memerlukan “surat jalan” bila hendak masuk ke Papua. Aturan tersebut dipakai oleh Indonesia untuk menghalangi aktivis, wartawan maupun diplomat internasional datang ke Papua.

Carmel Budiardjo dibaptis dengan nama: Papuaumau (bahasa Mee) atau Venia Ati (bahasa Maybrat) atau Bin Syowi (bahasa Biak). Semua kata tersebut berarti “putri sulung” dalam tiga bahasa di Papua.

Carmel Budiarjo dimata aktivis Papua

Carmel Budiardjo, TapolUK, dalam demonstrasi damai menuntut pembebasan tahanan politik Papua di London pada 2014. Gambar ini masih relevan karena Victor Yeimo sedang ditahan. (ist)

“Kita sangat kehilangan orang yang empati soal penegakan HAM di Papua. Selamat jalan “Orang Samaria Yang Baik Hati,” kata Gustaf Kawer, pegiat HAM di tanah Papua dan Ketua PAHAM Papua kepada suarapapua.com, Minggu (11/7/2021).

Baca Juga:  Jurnalis, Pembela HAM dan Masyarakat Sipil Gelar Aksi Demo Tuntut Polda Papua Ungkap Kasus Bom di Kantor Jubi

“Kami PAHAM Papua turut berduka cita atas meninggalnya ibu Carmel Budiardjo. Saya sebagai Ketua PAHAM mengenal ibu Carmel Budiardjo sekitar 2004 dalam advokasi kasus Abepura 7 Desember 2000. Beliau lewat Tapol mendukung penegakan hukum dan HAM bagi pelaku dalam kasus tersebut.”

“Setelah itu lewat lembaga yang didirikannya, banyak memberi kontribusi dalam dukungan bagi advokasi-advokasi HAM  di Papua melalui kampanye Papua di forum-forum internasional. Ia juga turut terlibat berkontribusi dalam pendirian beberapa NGO HAM di Papua, termasuk PAHAM Papua,” tukas Kawer.

Selain itu kata Gustaf, ibu Carmel Budiardjo lewat Tapol juga mempunyai andil besar dalam promosi bagi perlindungan HRD Papua di level internasional, dan juga turut mendorong diberikannya penghargaan bagi Lawyers di Papua.

“Seperti nominasi dari Tapol, sehingga dua lawyers dari Papua pada 2013 mendapat penghargaan internasional dari Lawyers for Lawyers di Amsterdam.Tahun ini Tapol juga telah menominasikan penghargaan yang sama kepada beberapa lawyers muda Papua untuk mendapatkan penghargaan.”

“Kami atas nama korban pelanggaran HAM di Papua yang ada di kepulauan, pesisir, lembah-lembah dan pegunungan mengucapkan terima kasih untuk dedikasi yang luar biasa buat kami di Papua. Kami akan mengingatmu seperti “Orang Samaria yang baik hati” yang hadir untuk menolong kami kaum tertindas di Tanah ini.”

Baca Juga:  Bukan Tanah Kosong, Papua Tak Terima Transmigrasi

Rosa Moiwend, aktivis HAM Papua lainnya mengakui bahwa Carmel adalah seorang pejuang HAM yang berjasa bagi rakyat Timor Leste, rakyat Aceh dan rakyat Papua. Dia menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran sepenuhnya untuk kemanusiaan serta penegakan HAM.

“Hampir seluruh waktunya dari pagi sampai malam hanya untuk berfikir dan bekerja bagi Papua. Meskipun belum pernah datang ke Papua, tetapi kontak dan relasinya dengan orang Papua serta perjuangan orang Papua sangat dekat, terutama dengan pekerja HAM.”

“Bagi saya pribadi yang mengenalnya secara langsung sejak tahun 2010 ketika bergabung sebagai staf di Tapol UK, dia adalah seorang guru, mentor, suporter, inspirator dan motivator bagi saya dalam pekerjaan saya sebagai pembela HAM. Semoga ia beristirahat dalam damai, dan semoga cita-citanya dan warisannya terus hidup.”

Mengenang kepergian Carmel, aktivis dan kedua anaknya gelar doa bersama, dan berbagi cerita semasa hidup Carmel Budiardjo melalui pertemuan virtual pada, Minggu 11 Juli 2021 pukul 20.00 waktu Papua.

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.