Perpanjangan sepihak Otonomi Khusus dan penangkapan sewenang-wenang demonstran di Tanah Papua

0
825

CIVICUS dan TAPOL menyesalkan revisi dan perpanjangan Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) yang semakin melucuti aspek penting dari desentralisasi dan otonomi di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat). Kami juga sangat prihatin tentang penangkapan sewenang-wenang terhadap para demonstran dan pembubaran paksa aksi damai menentang perpanjangan Otsus tersebut. Meski banyak protes dan kurang konsultasi dengan Orang Papua, perpanjangan Otsus tetap disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 15 Juli.

Aksi-aksi protes seminggu belakangan ini merupakan rangkaian terakhir dari demonstrasi oleh Orang Papua dalam menentang keputusan pemerintah Indonesia untuk memperpanjang status Otsus dan meminta referendum kemerdekaan yang diawasi internasional. Polisi menangkap 23 mahasiswa dan aktivis di Jayapura pada 14 Juli 2021, dan empat demonstran mengalami luka-luka. Pada 15 Juli, 18 demonstran ditangkap di Kaimana dan demonstrasi diblokade di Manokwari. Lima puluh demonstran lainnya ditangkap dan dipukuli di depan DPR di Jakarta pada 15 Juli sesaat sebelum disahkannya perpanjangannya Otsus.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Kami mendesak otoritas Indonesia untuk menghentikan represi atas aksi damai yang memprotes perpanjangan Otsus. Hak atas aksi damai adalah bagian penting dari sebuah demokrasi, yang Indonesia perlu segera wujudkan di Tanah Papua.

UU Otsus di Tanah Papua pertama kali diberlakukan pada 2001 dan kini baru saja diperpanjang hingga 20 tahun berikutnya, dengan beberapa perubahan yang mengkhawatirkan. Undang-undang yang awalnya diundangkan itu sendiri telah lama ditolak oleh banyak Orang Papua karena gagal mewujudkan otonomi yang berarti.

Terdapat 18 pasal yang diamandemen dan dua pasal tambahan, yang menyebabkan implikasi serius pada desentralisasi dan otonomi. Menurut Pasal 76, pemerintah pusat kini bisa memutuskan pemekaran. Hal ini telah seringkali ditentang oleh Orang Papua karena bisa memperparah marjinalisasi dan militerisasi di Tanah Papua. Dua ayat dari Pasal 28 dihapus, yang mana menghilangkan hak untuk mendirikan partai politik lokal. Sebuah aturan baru juga diberlakukan untuk mengatur bahwa wakil presiden akan berkantor di Tanah Papua untuk mengawasi jalannya Otsus.

ads
Baca Juga:  Kemenparekraf Ajak Seluruh Pelaku Usaha Kreatif di Indonesia Ikut AKI 2024

Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak diikutkan dalam pembahasan amandemen meskipun keikutsertaannya dalam konsultasi telah ditentukan secara eksplisit oleh UU Otsus. MRP menyatakan bahwa perpanjangan ini bukan merupakan keinginan Orang Papua. Petisi Rakyat Papua, yang terdiri dari 112 organisasi, telah mengumpulkan 714.066 tanda tangan Orang Papua di akar rumput yang menentang Otsus.

Baca Juga:  HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai

Keputusan sepihak oleh Pemerintah Indonesia untuk merevisi dan memperpanjang UU Otsus adalah pelanggaran besar terhadap hak atas penentuan nasib sendiri Orang Papua.

Kami mendesak Presiden Indonesia Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU Otsus. Alih-alih memaksakan perpanjangan ini, pihak yang berwenang seharusnya melakukan konsultasi yang berarti dengan Orang Papua untuk mengatasi keluhan mereka, menangani ketidakadilan yang mereka hadapi dan untuk mengakhiri konflik. Ini termasuk dengan membebaskan semua tahanan politik yang ditangkap akibat aktivisme mereka termasuk Victor Yeimo, menghentikan serangan terhadap para pembela HAM, aktivis, mahasiswa, dan lainnya di Tanah Papua dan memastikan semua pelanggaran serius yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia diinvestigasi, temuannya dipublikasikan, dan semua korban serta keluarganya menerima reparasi.

Artikel sebelumnyaIndonesia: Unilateral renewal of Special Autonomy and arbitrary arrest of protesters in West Papua
Artikel berikutnyaWPNA: Pengesahan UU Otsus Tunjukkan Bahwa Indonesia adalah Negara Penjajah di Papua