Pengaruh Boaz Solossa dan Arti Persipura Bagi Masyarakat Papua (Bagian II)

0
3110

Oleh: Mecky Mulait)*
)* Penulis adalah Pencinta Persipura

Pertama-tama, tulisan ini merupakan bagian kedua dari tulisan sebelumnya yang sudah terbit dengan judul Arti Dibalik Air Mata Boaz Solossa. Tulisan ini juga merupakan pandangan pribadi saya sebagai pencinta Persipura Jayapura.

Persoalan yang menimpa Persipura saat ini, cukup merisihkan nama baik Persipura bagi publik sepak bola nasional (Indonesia). Orang tahu bahwa Persipura merupakan jenderal sepak bola Indonesia dengan 4 bintangnya ditambah satu bintang liga tidak resmi.

Publik dikagetkan dengan sikap manajemen yang memecat kedua legenda hidup Persipura yang telah mengantarkan Persipura raih gelar sebagai raja lapangan hijau di Indonesia.

Dalam beberapa hari belakangan, saya mencoba membaca sejumlah komentar dari netizen terhadap persoalan yang menimpa Persipura. Bagi pendukung Persipura, nadanya tidak begitu menjelekkan. Sebaliknya, fans Persipura memaklumi tindakan indisipliner kedua pemain senior itu dengan argumentasi hanya perlu diberi sangsi, bukan memecat. Tetapi masyarakat umum di Indonesia cara menanggapinya sangat negatif. Narasi yang dibangun menyangkut miras. Lalu kasus itu ditafsir dan dibesar-besarkan bahwa memang pemain Persipura itu tukang miras sama seperti stigma negatif orang Papua tukang miras. Barangkali manajemen memilih jalan itu sebagai jalan terbaik sesudah mempertimbangkan kemungkinan lain.

ads

Tetapi, menurut hemat penulis, cara itu bukan saja mengecewakan dan melukai hati pemain, tetapi juga masyarakat Papua. Orang Papua terutama para pencinta Persipura termasuk sebagian aktivis kemanusiaan Papua telah menarasikan Persipura sebagai tim kebanggaan orang Papua.

Kata “kebanggaan orang Papua” ini memiliki arti yang cukup mendasar yang berkaitan dengan harga diri orang Papua. Persipura dianggap sarana, suara, hati dan jiwa serta kemampuan orang Papua yang dapat diekspresikan melalui sepak bola di arena pertandingan. Apakah ungkapan ini berlebihan? Tentu alasannya sangat rasional karena sepak bola telah menjadi arena pertarungan harga diri suatu bangsa/daerah ataupun negara. Karena itu bicara Persipura bagi orang lain mungkin sama levelnya dengan tim-tim sepak bola di nusantara seperti Persija, Persib, Arema, Sriwijaya, PSM, dan lain sebagainya.

Tetapi lain narasi dan roh bagi masyarakat Papua.

Bagi masyarakat Papua, Persipura itu selevel timnas yang membawa nama dan harga diri orang Papua. Maka dalam mengolah Persipura pun, manajemen dan pelatih mesti memahami semangat/roh tim kebanggaan orang Papua tersebut.

Baca Juga:  Rasisme dan Penindasan di Papua Barat (Bagian 1)

Semangat inilah yang melatarbelakangi para pencinta Persipura sesalkan kebijakan manajemen. Menurut mereka, manajemen melepaskan dua pemain penting Persipura dibalik 4 bintang itu tanpa menghormati jasa mereka.

Bagi penulis, masuk akal bahwa apapun alasannya, dan kemarahan manajemen terhadap sikap kedua pemain yang dalam bahasa ketua umum Benhur Tomi Mano: “tidak menghargai mereka dan menampar balik muka mereka.” Sekalipun mestinya ada pelepasan secara resmi dari manajemen melalui suatu pertandingan resmi yang disaksikan publik yang lazim dilakukan tim-tim Eropa melepas pemain yang mereka banggakan atas loyalitas dan kesetiaan terhadap klub yang dibelanya. Atau setidaknya dalam suatu pertemuan resmi bersama tim sebagaimana yang diharapkan oleh Boaz sendiri.

“Saya merasa tidak dihargai dengan dilepas begitu saja tanpa ada acara perpisahan yang resmi supaya di situ ada kesempatan untuk kami sampaikan ucapan terima kasih maupun perpisahan. Itulah yang buat kami kecewa,” kata Boaz dalam sebuah wawancara usai menerima surat pemecatan.

Atau juga minimal ada perwakilan manajemen ketika sang pemain mengambil surat keputusan pelepasan oleh manajemen di kantor Persipura. Boaz mengaku ambil sendiri (didampingi anak perempuannya) tanpa satupun perwakilan dari manajemen Persipura. Keadaan itu tampaknya membuat Boaz sedih. Sesudah mengambil surat itu, Boaz menyampaikan beberapa kata untuk Persipura dan akhir kata Boaz mengatakan “Persipura, Tuhan Yesus memberkati”.

Nada kalimat terakhir terkesan Boaz mencucurkan air mata, tetapi tidak begitu jelas karena tertutup dengan masker hitam. Di situlah publik Papua yang mencintainya pasti ikut terharu pemain sekelas Boaz diperlakukan seperti itu. Kita turut terharu terhadap situasi itu apapun alasan manajemennya. Karena orang semua tahu loyalitas dan kecintaan Boaz terhadap Persipura. Ia rela mengorbankan masa emasnya demi Persipura dan tawaran-tawaran menggiurkan datang silih berganti baik dari tim dalam negeri maupun luar negeri, tidak satupun mampu meluluhkan hati Boaz untuk pergi tinggalkan Persipura. Boaz tetap tunjukkan jati dirinya sebagai anak Papua yang membaktikan seluruh kekuatan dan kemampuan emasnya bagi negeri dan masyarakat yang ia cintai.

Oleh karena itulah tindakan manajemen baik sadar maupun tidak sadar, dipengaruhi dengan sikap emosional karena merasa tidak dihargai ataupun tanpa mereka sadar ada penyusupan pihak ketika melalui orang dalam untuk menghancurkan kekuatan kekeluargaan yang dibangun Persipura bertahun-tahun sebagai satu kekuatan yang berbeda dengan tim lain telah menghina orang Papua pada umumnya dan pencinta Persipura khususnya.

Baca Juga:  Adili Masalah Yang Tak Bisa Dibuktikan Hukùm Positif Dengan Peradilan Adat di Papua

Tindakan memperlakukan Boaz dan Tinus dengan cara seperti itu merupakan penghinaan besar meskipun manajemen tidak merasa begitu. Ini persoalan tafsiran para pencinta Persipura yang dalam menafsirkan selalu ada hubungannya dengan jasa para pemain yang masuk dalam kategori sejarah perjalanan hidup.

Mengapa itu terjadi? Roh yang menggerakkan itu semua dapat saya uraikan pada pokok berikut.

Air mata Boaz

Air mata Boaz Solossa yang terlinang tidak terlihat jelas saat mengambil surat keputusan manajemen pada tanggal 6 Juli 2021, terjawab jelas lewat rekaman video saat diwawancarai wartawan di kediamannya.

Boaz menjawab, “saat mengambil surat keputusan dari manajemen, saya sempat meneteskan air mata karena di situ tidak ada satu orang pun perwakilan dari manajemen. Saya hanya ditemani dengan anak dan berusaha menahan rasa sedih itu di hadapannya. Lihat hal itu, anak saya menangis dan saya katakan  bapa sudah bermain di Persipura sebelum kalian semua ada. Tetapi saya diperlakukan seperti ini, sehingga merasa sedih.”

Dalam suatu tindakan penghinaan, sang penghina seringkali tidak sadar akan tindakannya karena saat itu lebih kuasai oleh emosi, tekanan psikologi maupun juga motivasi lain (motif ekonomi, politik, dan lain-lain. Semua itu bisa membuat sang penghina menguburkan secara rapat dalam waktu singkat terhadap kebaikan dan jasa yang telah dibuktikan oleh yang dihina.

Ilmu sejarah dan psikologi menjelaskan hanya sejarah dalam waktu yang dapat membuktikan kebenaran. Apa yang dialami oleh Boaz dan Tipa sebenarnya tidak terlalu menyakiti hati para pencinta Persipura kalau manajemen dapat mengontrol emosi dan berpikir lebih rasional untuk menciptakan suatu moment perpisahan buat menghargai dua pahlawan bola Papua tersebut kendati merasa dihina.

Apakah menciptakan moment perpisahan begitu sulit buat kedua pemain tersebut? Ataukah moment perpisahan tersebut tidak akan diterima oleh kedua pemain, sehingga hanya diberikan surat keputusan pemberhentian? Ini pertanyaan yang mengganggu publik sepak bola Papua dan akan tercatat dalam sejarah kebijakan manajemen yang melukai hati pencinta Persipura.

Boaz sendiri mengakui dan harapannya tidak muluk-muluk meski yang mulukpun sudah layak ia dapatkan karena ia telah mempertaruhkan segala yang ia miliki termasuk cedera patah (2 kali) yang menimpa dirinya saat membela Persipura. Boaz hanya berharap kalau buat acara perpisahan dengan dirinya bersama rekannya dirasa berat minimal ada utusan manajemen yang memberikan surat secara resmi (pengakuan saat wawancara di rumahnya. Lihat video). Ini suatu peristiwa yang cukup misterius karena apa yang rasional bagi publik Papua tidak dapat/mampu dilakukan oleh manajemen.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Karena itu, kesimpulan terburuk adalah penghinaan manajemen bukan saja kepada kedua pemain, tetapi juga rakyat Papua yang mencintai mereka. Manajemen pasti akan berdalih bahwa merekalah yang paling tahu apa yang sesungguhnya terjadi dan paling tahu tentang perjalanan tim Persipura serta apa yang terbaik untuk Persipura ke depan. Tetapi tanpa menghargai para pahlawan 4 bintang Persipura sama saja tidak menghargai sejarah perjuangan Persipura sendiri.

Ini persis tipikal bangsa Indonesia. Suatu bangsa yang cenderung tidak tahu dan tidak mampu menghargai sejarah perjuangan para pendahulu. Tipikal dan karakter tidak tahu menghargai perjuangan para pendahulu ini terpatri dan terekspresi dalam kebijakan pembangunan di segala lini kehidupan di negeri ini. Bongkar pasang pembangun infrastruktur tanpa ujung-pangkal yang jelas. Mencanangkan pembangunan nasional dalam jangka waktu tertentu tanpa rujukan catatan sejarah bangsanya sendiri. Akibatnya, dalam membangun negara kopi paste dari bangsa lain yang memiliki sejarah perjuangan, kondisi dan kebutuhan nasionalnya yang berbeda.

Hal yang sama diperlakukan satu legenda hidup Persipura Eduard Ivakdalam. Di akhir masa pensiunnya, meskipun para pencinta Persipura menuntut manajemen memperlakukan sang legenda dengan penghormatan yang selayaknya dengan membuat patung paitua Edu sapaan akrabnya di stadion Mandala Jayapura, namun manajemen mengabaikan begitu saja. Tindakan manajemen Persipura seakan tidak menghargai jasa para legenda Persipura yang secara layak.

Paitua Edu pun memiliki kisah yang memilukan di akhir karir bersama Persipura. Menurutnya apa yang dialami Boaz sama dengan perlakuan yang diterimanya pada masa ketua umum bapak MR Kambu. Paitua Edu bahkan tidak diberi tahu bahwa Persipura ada latihan, padahal ia masih menyandang kapten. Tetapi rupanya itu menjadi tanda bahwa Edu sudah tidak dibutuhkan lagi oleh manajemen Persipura.

Itulah yang membuat para pencinta Persipura marah dengan nada yang keras bahwa kepengurusan Persipura tidak mampu belajar dari sejarah kelemahannya sendiri. (*)

Bersambung… (Bagian ketiga dari tulisan ini akan terbit dengan judul ‘Boaz dan Tipa Generasi Emas Persipura’)

Artikel sebelumnyaPendukung Edi Daby – John Wilil di Yalimo Tolak Putusan MK
Artikel berikutnyaKitorang Pilih Anggota Executive Kaskado