Pemprov Papua Usulkan Pencabutan Izin 35 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit

0
1297

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sejak tahun 2019 – 2021, pemerintah Provinsi Papua dan Tim Stranas PK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi) dari KPK, melakukan kajian perijinan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berada di wilayah Provinsi Papua.

Dalam webinar #roadtowakatobi yang diselenggarakan Kementerian ATR/BPN (12/08/2021), Mohammad Isro dari sekretariat Stranas PK, menjelaskan setiap dua tahun disusun Aksi Pencegahan Korupsi (PK) berdasarkan hasil pemetaan dan kajian. Pada Aksi PK 2021-2022, salah satu aksi lanjutan adalah kepastian percepatan perijinan SDA melalui implementasi kebijakan satu peta, termasuk di Provinsi Papua.

“Kebijakan satu peta dapat dijadikan sebagai satu tools untuk mendorong adanya penyelesaian tumpang tindih dan perbaikan tata kelola sawit,” jelas Mohammad Isro.

Beberapa temuan kajian Stranas PK, antara lain beneficial owner pemilik sawit, orangnya itu-itu juga, terjadi tumpang tindih izin, ada SK (Surat Keputusan) tapi tidak ada lampiran petanya, ada juga tidak ada SKnya.

Pemerintah Provinsi Papua telah melakukan review dan kajian perijinan, inventarisasi dan verifikasi hingga analisis perijinan 62 perusahaan kelapa sawit yang berada pada 8 (delapan) kabupaten di Provinsi Papua.

ads
Baca Juga:  Angkatan Bersenjata Selandia Baru Tiba di Honiara Guna Mendukung Demokrasi Pemilu Solomon

“Hasil analisis menghasilkan dua hal, kategori pertama, Pemerintah Provinsi mengusulkan pencabutan dan penghapusan izin dari daftar pemegang izin untuk 35 perusahaan. Kalau dikonversi luasannya (lahan) mencapai 522.397 ha dari jumlah keseluruhan 989.678 ha,” ungkap Mohammad Musa’ad, Asisten II Gubernur Provinsi Papua Bidang Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat, yang turut hadir dan menjadi narasumber dalam webinar #roadtowakatobi, bertema “Peluang dan Harapan dari pelaksanaan Program Strategis Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Evaluasi Perijinan Kebun Kelapa Sawit di Provinsi Papua (12/08/2021).

Musa’ad menjelaskan, alasan pencabutan izin karena adanya temuan permasalahan tumpang tindih, ada overlapping perijinan, banyak perijinan berada dalam satu wilayah yang sama, ada yang antar kawasan, ada yang tidak memenuhi atau tidak mengikuti RTRW.

Kategori kedua, pemerintah melakukan tindakan korektif administratif terhadap 19 perusahaan. Melakukan penataan kembali, perbaikan tata kelola, penyelarasan, penyesuaian, penyempurnaan terhadap tuntutan administratif yang harus dipenuhi oleh perusahaan tersebut. Perijinan perusahaan ini masih bisa diperbaiki.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Tidak Ada Tanah yang Tidak Bertuan

Pemerintah Provinsi Papua memetik pembelajaran dari Stranas PK dan evaluasi perijinan kelapa sawit di Provinsi Papua, yang sangat besar manfaatnya untuk dapat mengurangi resiko dari deforestasi, dan juga mendukung komitmen pembangunan berkelanjutan untuk menjaga asset alam Papua.

Visi pembangunan berkelanjutan Papua diantaranya memberikan kesempatan yang luas bagi Orang Asli Papua dan meningkatkan kualitas hidup OAP, termasuk dalam hal mengakui dan menghormati hak OAP dalam penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.

“Agak Berbeda provinsi papua dengan provinisi lain, di Papua ini tidak ada tanah yang tidak bertuan, semua tanah ada yang punya, kalau ini bisa kita kembalikan hak kepada yang punya, ini di satu sisi ada kesyukuran besar bagi yang punya karena mendapatkan kembali haknya yaitu masyarakat adat,” ungkap Musa’ad.

Baca Juga:  Festival Angkat Sampah di Lembah Emereuw, Bentuk Kritik Terhadap Pemerintah

Optimalisasi pemanfaatan lahan pasca pencabutan izin dengan mengembalikan hak-hak masyarakat adat. Pemulihan dan penguatan hak masyarakat pasca pencabutan izin, juga disampaikan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, MS, narasumber ahli dari Stranas PK.

“Orientasi ke depan adalah dipastikan kelompok masyarakat dapat terus melanjutkan kehidupannya sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki sekarang dan mengembangkan berdasarkan objek yang dihadapi,” jelas Hariadi Kartodiharjo.

Hariadi Kartodiharjo menyampaikan bahwa masyarakat juga harus mendapatkan perlindungan dari arah perizinan yang baru dan keterlibatan sampai pada penetapan tata ruang. Opsi legalitas, pemerintah melalui SK Bupati untuk menetapkan wilayah indikatif hutan adat sudah cukup untuk mengamankan wilayah adat dari perijinan baru.

Political will dan kehadiran negara ditengah-tengah masyarakat sangat diperlukan untuk melaksanakan pertumbuhan hijau, mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua. (*)

SUMBERPUSAKA.OR.ID
Artikel sebelumnyaCara AMAN Sorong Raya Tingkatkan Kesadaran Tentang Tanah Adat Kepada Generasai Muda
Artikel berikutnyaBuchtar Tabuni Desak Bebaskan Victor Yeimo dari Rutan Brimob Papua