BeritaPolhukamKetua OPM: Indonesia di Papua Barat Ilegal

Ketua OPM: Indonesia di Papua Barat Ilegal

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Dalam pidato penolakan 59 tahun New York Agreement, ketua Organisasi Papua Merdeka (OPM) Jefrrey Bomanak menyatakan bahwa status politik Papua Barat di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum final.

“Indonesia ada di Papua Barat, ilegal. Sumber masalahnya adalah New York Agreement pada tanggal 15 Agustus 1962 yang tidak pernah libatkan orang Papua Barat,” ujar Jefrrey saat menyampaikan pidato penolakan 59 tahun New York Agreement yang disiarkan melalui akun facebooknya.

Ketua OPM mengatakan bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 dilakukan berdasarkan New York Agreement, dalam pelaksanaannya melenceng dari yang seharusnya. Hasil PEPERA penuh rekayasa dan dibawah tekanan militer dengan peserta dipilih pemerintah Indonesia yang tidak mewakili seluruh rakyat Papua Barat.

“Tanggal 15 Agustus 1962 di New York adalah sebuah proses kesepakatan sepihak tanpa melibatkan orang Papua Barat. Maka itu kami menolak, dengan tegas atas nama Tuhan, atas nama alam dan leluhur bangsa Papua, atas nama demokrasi, hak asasi manusia dan hukum internasional, kami menolak New York Agreement dan kami tidak pernah membenarkan bahwa proses itu sah. Semua proses keputusan yang ada dalam New York Agreement semuanya tidak benar dan tidak adil,” tegasnya.

Sekalipun Papua Barat diserahkan ke Indonesia dan pendudukan masih berlanjut hingga hari ini, dia tegaskan, api perjuangan kemerdekaan tidak akan pernah padam yang sejak 1961 diperjuangkan.

“Rakyat Papua Barat mempertahankan perjuangan ini dari tahun 1961,” kata Jeffrey.

Baca Juga:  Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan

Tanggal 1 Desember 1961 adalah hari embrio pencetusan negara Papua Barat. Tanggal 15 Agustus 1962 terjadi New York Agreement. Menurutnya, itu hari pelecehan terhadap hak asasi manusia dan hak politik bangsa Papua.

“Embrio negara dihancurkan karena kepentingan ekonomi. Kepentingan negara kapitalis Amerika Serikat atas Freeport McMoran. Kami menuntut, pemerintah Belanda, Amerika Serikat dan Indonesia bersama PBB yang memfasilitasi penandatanganan di New York pada tanggal 15 Agustus 1962 harus bertanggungjawab. Rakyat Papua Barat tidak pernah dilibatkan dalam proses New York Agreement,” ujarnya.

Jeffrey tegaskan bahwa belum pernah satu orang Papua Barat yang merepresentasi seluruh rakyat Papua Barat untuk bersama-sama dengan pemerintah Belanda, Indonesia, Amerika dalam melaksanakan penandatanganan New York Agreement. Dalam New York Agreement diatur tentang pelaksanaan PEPERA tahun 1969. PEPERA dilaksanakan dengan legalitas kesepakatan New York Agreement.

“Bagaimana mungkin orang Papua Barat yang punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri tidak pernah dilibatkan dalam sebuah proses kesepakatan yang sangat penting tentang masa depan. Pada tahun 1961 sudah banyak orang Papua Barat yang diandalkan untuk mewakili bangsa Papua Barat. Ada doktor orang asli Papua. Orang yang terdidik sudah ada. Orang yang mengerti tentang membentuk sebuah negara. Tetapi tidak pernah libatkan,” bebernya.

Dia bahkan membantah jika ada klaim bahwa pada tahun 1961 belum ada orang Papua yang terdidik untuk diajak terlibat dalam proses kesepakatan di New York.

Baca Juga:  Soal Pembentukan Koops Habema, Usman: Pemerintah Perlu Konsisten Pada Ucapan dan Pilihan Kebijakan

“Itu omong kosong. Itu penipuan besar. Karena pada saat itu sudah ada banyak orang Papua yang bisa menentukan nasib bangsa Papua, dan pada waktu itu orang Papua sudah memiliki aspirasi, tekad dan komitmen untuk mendirikan sebuah negara merdeka,” ujar Jeffrey.

Seluruh proses kesepakatan dan penandatanganan New York Agreement yang berdampak buruk di kemudian hari bagi rakyat Papua Barat, tegas dia, harus ditinjau kembali sesuai hukum internasional.

“Sebuah proses aneksasi yang harus dibicarakan. Indonesia, Amerika, Belanda dan PBB harus bertanggungjawab terhadap hak rakyat bangsa Papua Barat,” tegasnya.

Jeffrey menyatakan, “Sesuatu yang ilegal tidak akan pernah bertahan lama.”

Organisasi Papua Merdeka bersama rakyat Papua Barat yang merindukan kemerdekaan, kata Jeffrey, tahu bahwa kami ada dalam sejarah yang benar. Kami mempertahankan sejarah kebenaran. Maka itu, pada kesempatan ini, kami mau menyampaikan kepada seluruh rakyat Papua, bahwa tetap konsisten. Rakyat Papua tetap konsisten dengan perjuangan. Kami tetap melawan. Kami ditangkap. Seluruh aktivis KNPB ditangkap. Dan, termasuk terakhir juru bicara internasional KNPB Victor Yeimo ditahan. Ditangkap dan ditahan hanya karena kepentingan Indonesia.

NKRI sudah tahu bahwa menangkap Victor Yeimo merupakan pelanggaran HAM. Untuk menjaga integritas Indonesia di Papua Barat, harus menangkap semua aktivis Papua Barat, yang mempertahankan kebenaran.

Untuk itu, dia tegaskan kepada pemerintah Indonesia bahwa OPM dan TPNPB tidak akan pernah mundur selangkahpun dan tetap konsisten untuk menuntut Indonesia bersama pemerintah Belanda, Amerika dan PBB untuk membuka diri demi melakukan eksternal negosiasi, perundingan internasional yang demokrasi dan adil untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, siapa yang punya hak terhadap seluruh kekayaan alam Papua, siapa yang punya hak untuk mendirikan sebuah negara di Papua Barat.

Baca Juga:  Nomenklatur KKB Menjadi OPM, TNI Legitimasi Operasi Militer di Papua

“Harus dibuka sebuah proses demokrasi yang legal. Hal itu harus dicatat dan dimengerti oleh pemerintah Indonesia, Amerika dan Belanda,” ujar Jeffrey.

Untuk itu, ketua OPM minta dukungan dari negara-negara Melanesia, negara-negara Pasifik, masyarakat internasional dan negara-negara di seluruh dunia, bahwa rakyat Papua Barat tidak akan pernah mundur selangkahpun.

“Sudah 50 tahun kami berjuang. Kami sudah membuktikan bahwa kami mampu. Kami mampu bertahan secara konsisten mempertahankan kebenaran. Untuk itu, kami akan tetap berjuang.”

Jeffrey berharap pesan ini harus diperhatikan sebagai sebuah konsistensi dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

“Perjuangan kita tetap berlanjut dengan secara militer, politik dan diplomasi. Selama 50 tahun kami berjuang. Senjata melawan senjata. 50 tahun nyawa ganti nyawa. 50 tahun darah terus mengalir di Tanah Papua. Kami akan tetap merdeka,” tegasnya mengakhiri pidato.

Sementara itu, Sebby Sambom, juru bicara TPNPB, menyatakan, pemberontakan demi kemerdekaan Papua Barat terus dilanjutkan di semua lini seperti halnya patriot di rimba.

“Perjuangan harus kami lanjutkan sampai merdeka. Indonesia tidak berhak ada di West Papua,” ujar Sebby.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.