Imparsial: Operasi Militer di Papua Ilegal

0
1918

Peneliti dari Imparsial menyebut operasi militer yang dilakukan di Papua adalah ilegal karena tak sesuai dengan Pasal 7 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Benarkah demikian?

Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, mengatakan operasi militer yang dilakukan pasukan TNI merupakan tindakan ilegal karena tak sesuai dengan Pasal 7 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Operasi militer itu pun dinilai telah mendorong adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Bumi Cenderawasih. Hal tersebut dikatakan Hussein dalam acara diskusi Swarga Fest dengan tema “Kekerasan Bersenjata di Papua: Kapankah Akan Berakhir?”.

“Itu yang kemudian menjadi bermasalah bahwa operasi militer yang dilakukan di Papua sebenarnya adalah operasi yang ilegal. Tidak ada dasar hukum yang bisa membenarkan operasi militer di Papua saat ini,” katanya, Jumat (10/12) sore seperti dilansir voaindonesia.com yang dikutip media ini.

Pasal 7 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan bahwa operasi untuk perang maupun bukan harus berdasarkan keputusan politik negara. Oleh karena itu menurut Hussein, dapat disimpulkan bahwa keputusan politik negara adalah ketetapan presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.

Baca Juga:  Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan

“Pertanyaannya kirim pasukan ke Intan Jaya dan buat pos di kampung-kampung Papua itu ada keputusan presidennya enggak? Sampai saat ini dasar hukum itu yang melandasi apakah operasi militer secara hukum boleh atau enggak, tidak ada sampai sekarang,” ujar Hussein.

ads

Kendati operasi militer yang dilakukan pasukan TNI di Papua tak sesuai undang-undang. Namun, pihak eksekutif maupun DPR-MPR tak pernah protes terkait operasi militer yang tidak sejalan dengan Pasal 7 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“MPR dan DPR sebagai lembaga pengawas khususnya Komisi I tidak pernah protes. Kewenangan dia dilampaui dengan tiba-tiba adanya pengiriman pasukan yang kita tidak tahu jumlahnya berapa. Seharusnya itu semua dibuka. Sayangnya anggota DPR maupun pemerintah tidak concern terhadap masalah ini. Tidak ada pengawasan terhadap hal itu,” ungkap Hussein.

Sementara itu, Kelvin Molama dari Aliansi Mahasiswa Papua, menilai persoalan yang terjadi di Papua sejak tahun 1962 sampai sekarang merupakan ulah militer. Operasi militer yang dilakukan dengan dalih mengamankan dan melindungi rakyat Papua, ujarnya, justru kerap menimbulkan pelanggaran HAM. Kini rakyat Papua berharap dapat merayakan Natal dengan damai, namun operasi militer masih terus dilakukan seperti di Kabupaten Maybrat, Yahukimo, dan Nduga.

Baca Juga:  Soal Satu WNA di Enarotali, Begini Kata Pakum Satgas dan Kapolres Paniai

“Itu masih ada masyarakat mengungsi akibat operasi militer. Natal tidak bisa dirayakan dalam suasana yang damai,” ujarnya.

Pemerintah Terus Langsungkan Dialog

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, mengatakan pemerintah terus melakukan dialog dan mengatasi berbagai permasalahan yang ada di Papua melalui pendekatan kesejahteraan. Hal tersebut dilakukan sesuai amanat INPRES No 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan Undang-Undang No 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.

Selain melakukan pendekatan kesejahteraan, pemerintah terus mengutamakan dialog dalam rangka membangun Papua. Mahfud MD menegaskan Papua adalah bagian dari NKRI sama seperti wilayah di Indonesia lainnya.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

“Ada yang mengatakan kita harus dialog dengan rakyat Papua. Kita akan terus meneruskan melakukan dialog karena selama ini juga seperti masyarakat tahu kami terus lakukan berdialog. Saya mengundang mereka ke sini, berdialog dengan kepala adat, akademisi, pimpinan keagamaan, dan organisasi kepemudaan. Kita akan terus mengutamakan dialog dalam rangka membangun Papua,“ ujar Mahfud seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Polhukam.

Lanjut Mahfud, saat ini aparat telah mengidentifikasi wilayah yang belum kondusif di Papua, di mana masih ditemukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

“Kita sudah mapping daerah yang agak panas. Yang agak panas daerah tertentu saja dan orangnya itu itu saja. Jangan terlalu banyak buang energi ke situ. Oleh sebab itu kita membina Papua sebagai saudara kita. Papua itu saudara kita, bukan KKB. Papua itu saudara kita sama dengan Jawa, Sumatra, Bugis, dan Aceh. Papua kita perlakukan sama sebagai bagian dari NKRI,” pungkasnya. (*)

SUMBERvoindonesia.com
Artikel sebelumnyaSTFT Fajar Timur Serukan Panggilan Moral untuk Kemanusiaan
Artikel berikutnyaMahasiswa: Referendum adalah Solusi untuk Menyelesaikan Pelanggaran HAM di Papua