Akademisi Unipa: Lima Provinsi di Tanah Papua adalah Provinsi Termiskin di Indonesia

0
2041

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Akademisi Universitas Papua Manokwari, Dr. Agus Sumule membeberkan hal yang mengejutkan. Menurut dia, lima provinsi di Tanah Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia sesuai data resmi pemerintah yaitu data Badan Pusat Statistik (BPS).

Sumule menjelaskan, dua provinsi induk, yakni provinsi Papua dan Papua Barat, serta tiga provinsi baru yang telah diresmikan pemerintah pusat tercatat sebagai provinsi termiskin di Indonesia. Hal ini terungkap melalui data resmi pemerintah, yakni data BPS.

“Untuk provinsi termiskin di Indonesia, ada 7 provinsi yaitu provinsi Aceh (14,64%), provinsi NTT (20,05%), provinsi Papua Selatan (20,24%), provinsi Papua Barat (21,84%), provinsi Papua (26,86%), provinsi Papua Tengah (32,25%) dan provinsi Papua Pegunungan (35,46%). Dengan nilai rata-rata kemiskinan di Indonesia 9,54%,” ungkap Sumule saat menghubungi suarapapua.com dari Manokwari, Papua Barat, Jumat (18/11/2022).

Dijelaskan, data angka-angka persenan tersebut diolah dari penerbitan-penerbitan BPS. Kata dia, data-data yang dipublikasikan BPS tidak bisa dibantah, sebab data tersebut merupakan dara resmi.

Sumule mengaku menghitung angka kemiskinan lima provinsi di Papua tersebut dengan tujuan untuk mengingatkan para pihak, bahwa pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) bukanlah obat mujarab untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan.

ads

“Saya sengaja menghitung dan menyajikan angka-angka kemiskinan seperti di atas untuk mengingatkan para pihak, bahwa DOB itu bukan obat manjur untuk semua penyakit. Buktinya, provinsi Papua Tengah dan provinsi Papua Pegunungan menjadi jauh lebih miskin sesudah menjadi DOB,” ujarnya.

Baca Juga:  Soal Satu WNA di Enarotali, Begini Kata Pakum Satgas dan Kapolres Paniai

Ia berpendapat, menurunkan tingkat kemiskinan dari 30-an% menjadi dibawah 10% membutuhkan kecerdasan, kejujuran dan kekudusan hidup.

“Kalau korupsi dan bad governance tetap merajalela, maka sampai mau tambah banyak provinsi dan kabupaten di Tanah Papua, tidak akan ada banyak perubahan.”

Data Penduduk dan Kemiskinan yang diolah dari data BPS. (Dok Dr. Agus Sumule)

Sebelumnya, pada Februari 2022, Dr. Agus Sumule juga pernah mengingatkan pemerintah, bahwa pemekaran empat provinsi baru yang kini sudah menjadi provinsi baru di Indonesia merupakan cara yang efektif untuk mendatangkan masyarakat non Papua ke Tanah Papua dalam skala besar dan bebas di seluruh Tanah Papua, baik di provinsi Papua maupun provinsi Papua Barat.

Sumule berpandangan, jika rakyat Papua masih mempertanyakan kehadiran pemekaran, itu karena populasi orang asli Papua lebih sedikit dibanding penduduk non Papua. Itu artinya, orang Papua mau mengatakan sejujurnya bahwa pemekaran bukan untuk OAP, tetapi untuk orang non Papua.

“Kalau wacana pemekaran ditolak dan dipertanyakan oleh orang asli Papua, maka itu artinya orang Papua merasa pemekaran provinsi bukan untuk orang Papua. Itu jelas,” tegasnya kepada suarapapua.com saat itu.

Kata Agus, jika setiap daerah belum mempunyai kebijakan untuk menanggulangi imigrasi masuk dari luar Papua, berarti dengan demikian pemekaran adalah cara paling efektif untuk membuka pintu besar dan leluasa untuk orang non Papua masuk ke Tanah Papua.

“Sepanjang setiap pemerintah daerah tidak membuat suatu kebijakan untuk menanggulangi transmigrasi masuk dari seluruh nusantara. Hal tersebut menunjukan bahwa cara paling efektif untuk mendatangkan atau membuka pintu besar-besar untuk orang-orang seperti saya  (non Papua) untuk masuk bebas di Papua ya melalui pemekaran propinsi dan kabupaten di seluruh Papua.”

Baca Juga:  Komnas HAM RI Didesak Selidiki Kasus Penyiksaan Warga Sipil Papua di Puncak

Menurut Sumule, dulu pemerintah pusat membuat kebijakan transmigrasi secara terbuka. Saat ini, ia menilai pemekaran merupakan salah satu cara untuk mengirim penduduk luar ke Papua maupun ke daerah-daerah lain di Indonesia dari tempat yang penduduknya padat.

“Kalo dulu bahasanya melalui transmigrasi. Sekarang melalui pemekaran. Dari mana kita tahu kepentingan transmigrasi. Otsus 20 tahun kita bisa melihat dan mengetahui arus masuk masyarakat non Papua sangat tinggi di seluruh Papua. Jika pemekaran masih dipertanyakan oleh masyarakat Papua, maka kehadiran pemekaran ialah mendatangkan transmigrasi skala besar di seluruh Tanah Papua,” tegasnya.

Agus menyatakan, sampai saat ini belum ada dasar ilmiah atau kajian ilmiah yang menunjukan bahwa pemekaran kabupaten/kota dan provinsi baru harus dimekarkan di Tanah Papua. Sesuatu yang dilakukan tanpa kajian ilmiah menunjukan bahwa para elit Papua yang memperjuangkan pemekaran sedang mengajak masyarakat Papua untuk  masuk dalam lorong kegelapan.

“Masyarakat dibuat tidak tahu bagaimana dampaknya. Dasar untuk melakukan pemekaran saya belum pernah melihat. Saya belum pernah membaca suatu tulisan ilmiah bahwa ada pembuktian ilmiah yang menunjukan pemekaran dibutuhkan untuk segera dimekarkan, sehingga kita melakukan pemerkaran,” paparnya.

Lanjut Agus, dengan belum adanya suatu kajian ilmiah yang menunjukan atau menyatakan alasan kenapa harus melakukan pemekaran.

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

“Sampai saat ini, tidak  pernah ada kajian tentang pemekaran. Kita berkali-berkali melihat pembangunan itu gagal, tapi tidak membuat kajian. Suatu kegiatan tanpa kajian adalah kita diajak masuk dalam suatu lorong yang gelap gulita, sehingga kita tidak tahu ujungnya bagaimana. Baik atau tidak. Bisakah kita melakukan kajian sebelum pemekaran? Dari hasil kajian tersebut, lalu ditimbang bersama. Kajian ilmiah dapat mempertimbangkan semua faktor,” jelasnya.

Ia pun berpendapat, pemekaran empat provinsi dapat menciptakan kesenjangan baru antar wilayah dan ketimpangan tajam tentang akses sumber daya alam (SDA) antar wilayah. Dicontohkan, PT. Freeport Indonesia (PT.FI)  sebelum pemekaran provinsi Papua Barat (PB) FI masih membagi hasilnya sampai di wilayah PB, namun ketika pemekaran provinsi sudah tidak ada pembagian hasil SDA.

Lebih jauh dikatakan, pemekaran kalau benar-benar terwujud, maka kesenjangan baru antar wilayah akan terjadi. Ketimpangan tajam tentang akses SDA juga terjadi.

“Nanti pemekaran provinsi sendiri, maka wilayah yang akan mendapat perhatian penuh dari FI ialah wilayah pemekaran Papua Tengah, bukan Papua, bukan Papua Selatan, bukan Papua Pegunungan. Perusahaan BP LG sekarang bagi hasil jika nanti pemekaran Papua Barat Daya (PBD), maka tidak akan bagi hasil SDA. Oleh sebab itu, mari kita sisihkan waktu sebagian membaca data-data sederhana tersebut, sehingga memahami dampak negatif dari pemekaran daerah,” papar Sumule.

REDAKSI

Artikel sebelumnyaPemkab Tambrauw dan Sorong Bahas Tapal Batas
Artikel berikutnyaDiduga Seorang Mahasiswa Keracunan Makanan, Warung Makan pun Jadi Korban