HRM Mencatat Kasus di Papua Masih Didominasi Pelanggaran Kebebasan Berkumpul

0
290
Sekretariat KNPB Maybrat yang digrebek aparat. (ist)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com—- Human Rights Monitor atau organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) Monitor yang fokus mengadvokasi soal-soal Papua merelease situasi perkembangan HAM dan Konflik di tanah Papua sejak 1 April hingga Juni 2023.

Berikut adalah data yang dicatat Human Rights Monitor (HRM) terkait kasus-kasus yang terjadi di tanah Papua selama 1 tahun lebih dari 2022-2023.

Data kasus selama satu tahun lebih dari 2022-2023 yang didokumentasikan oleh Human Rigths Monitor (HRM). (Tangkapan layar – SP)

Terkait hak asasi manusia, berdasarkan catatan HRM, statistik HAM di Papua sepanjang periode pelaporan menunjukkan stagnasi.

Pola kasus masih didominasi oleh pelanggaran kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai, kebebasan berekspresi, penyiksaan, penganiayaan, dan pembunuhan di luar hukum. Meskipun jumlah korban dapat bervariasi secara signifikan antara satu insiden dengan insiden lainnya, jumlah kasus menunjukkan sedikit penyimpangan.

Pola penghilangan paksa muncul kembali dalam periode pelaporan. Pelanggaran ini terkait erat dengan razia keamanan di daerah-daerah terpencil, dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai indikator kekerasan konflik yang semakin parah.

ads

Polisi dan institusi penegak hukum berpegang pada strategi mereka untuk membatasi kebebasan berekspresi di Papua, membatasi kebebasan berkumpul secara damai dan kebebasan media.

Baca Juga:  HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai

Para pembela hak asasi manusia dan aktivis politik menjadi sasaran kriminalisasi dan intimidasi. Jaksa juga menggunakan dakwaan hukum yang tidak jelas, seperti Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang makar dan Pasal 110 KUHP tentang konspirasi kriminal melawan negara untuk membungkam kritik.

Penangkapan atau pelecehan oleh anggota polisi sering kali disertai dengan tindakan penganiayaan dan penyiksaan terhadap tersangka.

Contoh kriminalisasi yang menonjol terhadap aktivis pro-Papua adalah persidangan yang sedang berlangsung terhadap Haris Azhar dan Fatiah Mulidyanti di Jakarta, atau penuntutan terhadap juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat, Victor Yeimo. Ia didakwa dengan tuduhan makar dan konspirasi kriminal.

Pada 5 Mei 2023, hakim di Pengadilan Negeri Jayapura menjatuhkan hukuman delapan bulan penjara kepada Victor Yeimo, karena melanggar Pasal 155 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai tindakan penyiaran, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program

Pengadilan tinggi membatalkan putusan tersebut pada awal Juli dengan alasan bahwa Yeimo terbukti melakukan tindakan makar. Hukumannya dinaikkan menjadi satu tahun.

Sementara, dari sisi konflik menurut HRM, terus berdampak kuat pada situasi hak asasi manusia di Papua sepanjang kuartal kedua tahun 2023.

Aparat keamanan melakukan penggerebekan untuk melacak anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di kabupaten-kabupaten yang terkena dampak konflik. Penggerebekan di Kabupaten Yahukimo, Intan Jaya, Lanny Jaya, dan Tambrauw dilakukan tanpa surat perintah. Penduduk ditahan secara sewenang-wenang, dan puluhan orang disiksa.

Pemerintah terus menggerakan anggota pasukan keamanan tambahan ke Papua Barat. Menurut sumber media nasional, setidaknya 4.500 personel pasukan keamanan tambahan dikerahkan ke Papua Barat selama periode pelaporan.

Dalam kasus ini, HRM mendokumentasikan 25 serangan bersenjata dan bentrokan selama kuartal kedua 2023, yang dilaporkan menyebabkan 24 korban jiwa di antara pasukan keamanan dan 3 warga sipil.

Baca Juga:  Perusahaan HTI PT Merauke RJ di Boven Digoel Diduga Melakukan Tindakan Melawan Hukum

Militer Indonesia tampaknya meningkatkan kehadirannya di daerah konflik. Sebagian besar pengerahan pasukan tersebut terkait dengan penculikan kapten pilot Selandia Baru Philip Mark Mehrtens.

Hingga awal Juli 2023, negosiasi mengenai pembebasan Mehrtens belum menghasilkan kemajuan, namun TPNPB secara resmi telah mencabut ancaman pembunuhan terhadap pilot tersebut pada 26 Mei 2023.

Tetapi pihaknya menekankan bahwa mereka hanya akan membebaskan Mehrtens sesuai dengan tuntutan penarikan pasukan dari Nduga dan pembicaraan diplomatik dengan Pemerintah Selandia Baru dan Indonesia dengan difasilitasi negara netral atau PBB.

Sementara, ditingkat internasional, pengamat hak asasi manusia internasional menyoroti situasi hak asasi manusia yang memburuk di Papua Barat. Di mana pada 5 Mei 2023, lima Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB memulai komunikasi dengan pemerintah Indonesia terkait kasus-kasus kekerasan, termasuk pembunuhan di luar proses hukum di Papua Barat.

Laporan selengkapnya bisa dibaca di HRM Papua Monitor

Artikel sebelumnyaMeski KTT MSG Ditunda, Rakyat Papua Tetap Gelar Aksi Dukungan Kepada ULMWP
Artikel berikutnyaKeluarga Korban Penembakan di Dogiyai Selamatkan Satu Orang Non OAP