ArtikelMafia Tanah Adat di Tanah Papua, Lawan!

Mafia Tanah Adat di Tanah Papua, Lawan!

Oleh: John NR Gobai
*) Ketua Fraksi Otsus DPR Provinsi Papua

Masyarakat adat di Tanah Papua telah hidup di wilayah adatnya masing-masing sejak leluhur tanpa saling mengganggu. Pada waktu-waktu lalu, upaya penguasaan kadang berakhir dengan konflik fisik, dan harus diakui bahwa terjadi juga migrasi dari satu wilayah adat ke wilayah adat lain akibat konflik dalam keluarga atau saat perang dan lain-lain.

Kehadiran Gereja dan pemerintah berpengaruh pada adanya migrasi masyarakat adat dari satu wilayah ke wilayah adat lainnya, ketika menempati sebuah wilayah adat atau daerah di dalamnya, karena pemberian atau karena hak.

Masyarakat adat kadang tidak mengurus sertifikat, karena merasa tanah tersebut merupakan warisan dari orang tua atau leluhurnya, dengan batas-batas alam dan peta pikirannya.

Negara melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, mewajibkan bahwa demi legalitas tanah, semua tanah harus bersertifikat. Bila yang belum bersertifikat, dapat disebut merupakan tanah negara.

Sumber Masalah

Kadang mereka kaum berduit merebut tanah warga yang belum bersertifikat, mereka bisa saja melegalisasi tanah tersebut dan mendapatkan sertifikat dengan berkolusi dengan oknum pejabat Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan oknum masyarakat adat, padahal bukan haknya yang penting untuk memenuhi ketentuan peraturan perundangan.

Mafia tanah adalah kelompok kriminal yang merampas hak tanah pihak lain. Pelaku mafia tanah membuat tanah rakyat, swasta, atau bahkan milik negara diam-diam berpindah tangan tanpa disertai dokumen resmi yang namanya sertifikat. Dan, prosesnya melanggar hukum. Kadang juga tanah yang telah bersertifikat dijual lagi oleh pemegang sertifikat, kemudian pembeli berkonflik dengan masyarakat yang berada di objek tanah atau daerah tertentu.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Ironisnya, dalam praktek mafia tanah, banyak oknum aparat, masyarakat dan pemerintah sering terlibat.

Pandangan Ahli

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof. Dr. Nia Kurniati, SH, MH, bahwa mafia tanah hadir karena pengawasan yang rendah serta minimnya penegakan hukum.

“Banyak persoalan yang timbul akibat mafia tanah,” ujar Prof. Kurniati saat berbicara dalam Satu Jam Berbincang Ilmu (Sajabi) bertajuk “Mafia Tanah dan Permasalahan Hukum Yang Ditimbulkan” digelar secara virtual oleh Dewan Profesor Unpad, Sabtu, 11 Maret 2023.

Nia Kurniati mengatakan bahwa mafia tanah merupakan kejahatan pertanahan yang melibatkan sekelompok orang untuk menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah atau melanggar hukum.

Pada umumnya, modus operandi yang dilakukan oleh mafia tanah adalah pemalsuan dokumen dan melakukan kolusi dengan oknum aparat.

Selain itu, mafia tanah juga bisa melakukan rekayasa perkara serta melakukan penipuan atau penggelapan hak suatu benda untuk merebut tanah milik orang lain.

Mafia Tanah Adat

Masyarakat adat atau pemilik tanah kadang enggan mengurus sertifikat, karena meyakini tanah itu merupakan warisan orang tua atau leluhurnya.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Sementara, negara mewajibkan sertifikat, karena itu masyarakat kadang kehilangan tanah adat yang belum bersertifikat, ulah kelompok tertentu baik kelompok dari masyarakat adat sendiri, ataupun berbagai kelompok lainnya dengan surat pelepasan, padahal bukan tanah wilayah adatnya.

Pola-pola penipuan dalam pelepasan tanpa musyawarah adat tanpa melibatkan semua masyarakat atau dengan pola-pola penipuan, pemberian bantuan bersyarat, tekanan dan manipulasi atau kolusi dengan oknum pejabat BPN atau Agraria dalam menerbitkan sertifikat tanah tanpa sepengetahuan orang yang berada di atas dan atau objek tanah yang akan dibuatkan sertifikat dan juga wilayah adatnya. Hal ini ditandai kadang dengan tindakan cacat administrasi atau dokumennya disulap.

Kepemilikan tanah masyarakat adat haruslah dihormati, baik dengan dan tanpa sertifikat. Cerita riwayat kepemilikan sebuah bidang tanah dan wilayah adat haruslah diakui oleh pemerintah, kelembagaan adat dan oknum yang menamakan diri tokoh atau kepala suku, tentu harus juga dievaluasi bagaimana proses penunjukan dan pengangkatannya, serta proses pelepasan tanah haruslah terbuka dan melibatkan semua pihak agar tidak terlibat mafia tanah.

Masyarakat mafia tanah merupakan kejahatan pertanahan yang melibatkan sekelompok orang untuk menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah atau melanggar hukum.

Mafia tanah juga kadang memanfaatkan lembaga peradilan untuk mengesahkan bukti kepemilikan atas tanah. Polanya mengajukan gugatan dengan menggunakan surat yang prosesnya tidak sesuai dengan aturan dan proses yang tidak benar, namun karena mafia ketika gugatan tersebut diputus dan telah berkekuatan hukum tetap, surat tersebut dijadikan sebagai alas hak pada Kementerian ATR/BPN, sedangkan pemilik tanah yang sah tidak mengetahui proses penerbitan sertifikat.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Mengupayakan agar putusan pengadilan tersebut berpihak kepadanya/kelompoknya, sehingga merugikan masyarakat adat yang berada diatas obyek tanah, sehingga memunculkan konflik tanah.

Saran

Makin masifnya mafia tanah memang perlu dicegah sedini mungkin. Lawan mafia tanah di Tanah Papua harus dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya, kepemilikan tanah masyarakat adat mesti dihormati, baik dengan dan tanpa sertifikat.

Dalam kaitan ini, cerita riwayat kepemilikan sebuah bidang tanah dan wilayah adat haruslah diakui dan menjadi patokan oleh Kementerian ATR/BPN dan Kantor ATR/BPN, pemerintah dan lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan.

Karena mafia tanah adalah kejahatan pertanahan, maka kalau bukan tanah pribadi, keluarga atau margamu, sebaiknya jangan kamu bersekongkol untuk jual kepada orang lain. Kalau bukan wilayah adatmu, hargai pemilik tanah yang ada, minta izin mereka, bicara dengan mereka.

Kemudian, jangan juga gunakan sertifikat, lembaga peradilan, kapasitas atau jabatan untuk menipu, menjebak dan menindas masyarakat adat untuk mengambil tanah pada objek, daerah dan wilayah adat mereka.

Dengan bersamaan itu, upaya lain harus ditempuh, yakni perlu dilakukan pemetaan batas ulayat suku yang jelas. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.