JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Jubi Documentary pada akhir September ini meluncurkan lima film dokumenter tentang Tanah Papua. Tiga film diantaranya diluncurkan dengan acara nonton bareng di sekretariat Social Movement Institute (SMI) Yogyakarta, Padukuhan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, Rabu (27/9/2023).
Lima film dokumenter itu berjudul ‘Saat Mikrofon Menyala’, ‘Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis?’; ‘Mutiara Hitam Jenderal Lapangan’; ‘Sa Punya Nama Pengungsi’; dan ‘Suara dari Lembah Grime’.
Film-film dokumenter yang diluncurkan Jubi itu diproduksi selama dua tahun oleh Jubi Documentary, kompartemen film dokumenter media Jubi yang berbasis di kota Jayapura, Papua.
Film tentang Tanah Papua itu diproduksi dengan supervisi Watchdoc, rumah produksi audio visual yang didirikan Andhy Panca Kurniawan dan Dandhy Dwi Laksono sejak 2009 dan telah memproduksi lebih dari 400 episode film dokumenter maupun 1.000 lebih feature televisi. Watchdoc dikenal dengan berbagai karya film dokumenter bertema keadilan sosial yang mengantarnya peraih Penghargaan Ramon Magsaysay 2021 untuk kategori ‘Emergent Leadership’.
Film ‘Saat Mikrofon Menyala’, ‘Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis?’, dan ‘Sa Punya Nama Pengungsi’ diluncurkan dalam acara nonton bareng di sekretariat SMI Yogyakarta, Rabu (27/9/2023). Film ‘Saat Mikrofon Menyala’ yang disutradarai Aries Munandar mengulas kelugasan para rapper dan musisi hip hop mengekspresikan kegelisahan mereka melihat situasi sosial politik di Tanah Papua.
Film ‘Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis?’ disutradarai Hengky Yeimo dan Helena Kobogau menelusuri persoalan yang disebut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, sekarang bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN) sebagai “akar masalah Papua”, yaitu kontroversi versi sejarah antara pemerintah Indonesia dan masyarakat di Tanah Papua.
Sedangkan, film ‘Sa Punya Nama Pengungsi’ yang disutradarai Yuliana Lantipo bertutur tentang situasi konflik bersenjata di berbagai kabupaten di Tanah Papua, serta kisah dua anak yang dilahirkan pengungsi konflik bersenjata dari dua kabupaten berbeda di Tanah Papua dan sama-sama diberi nama “Pengungsi”.
Nonton bareng ‘Saat Mikrofon Menyala’, ‘Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis?’, dan ‘Sa Punya Nama Pengungsi’ di sekretariat SMI Yogyakarta diikuti dengan diskusi yang menghadirkan sutradara Hengky Yeimo dan videografer Rabin Yarangga.
Hadir pula Amiruddin Al-Rahab, wakil ketua Badan Pengurus Perkumpulan Elsam, sebagai penanggap dan narasumber ahli dalam diskusi film yang dihadiri sekira 150 orang terdiri dari para aktivis, seniman, jurnalis, dan mahasiswa.
Sementara itu, dua film lainnya, ‘Suara dari Lembah Grime’ dan ‘Mutiara Hitam Jenderal Lapangan’ diluncurkan secara terpisah dalam acara nonton bareng yang digelar di Jayapura dan Jakarta.
Film ‘Suara dari Lembah Grime’ yang disutradarai Angela Flassy memaparkan berbagai dampak sosial yang ditimbulkan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di kabupaten Keerom dan kabupaten Jayapura, dua kabupaten yang ada di provinsi Papua.
Film ‘Mutiara Hitam Jenderal Lapangan’ yang disutradarai Maurids Yansip berkisah tentang keberadaan tim Persipura Jayapura sebagai simbol kebanggaan dan identitas bersama orang di Tanah Papua, meraih 4 gelar juara liga utama, dan kini tengah berjuang untuk kembali promosi ke Liga 1 musim depan. []