Masyarakat Awyu Daftar Banding Putusan PTUN Jayapura di PTTUN Manado

0
474
Poster bertulisan “Papua bukan tanah kosong! Stop jangan rampas tanah adat!!” dibentangkan massa aksi di halaman PTUN Jayapura. (Dok. Greenpeace Indonesia)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Hendrikus ‘Franky’ Woro, pejuang lingkungan hidup suku Awyu, menempuh upaya banding atas gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado, Rabu, 22 November 2023.

Gugatan banding dilakukan setelah majelis hakim PTUN Jayapura menolak gugatan terhadap izin lingkungan hidup dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu (DPMPTSP) provinsi Papua ke perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL).

“Upaya banding ini dilakukan agar hakim memperbaiki putusan hakim PTUN Jayapura. Kami menilai majelis hakim PTUN Jayapura salah dalam menerapkan pertimbangan-pertimbangan putusan,” kata Tigor Gemdita Hutapea, salah satu kuasa hukum masyarakat adat suku Awyu, melalui siaran pers Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, Kamis (23/11/2023).

Dibandingkan putusan-putusan lingkungan lainnya, kata Hutapea, putusan PTUN Jayapura tidak menggambarkan perlindungan terhadap lingkungan dan keberadaan masyarakat adat.

“Kami yakin hakim pengadilan tinggi PTTUN Manado akan lebih bijaksana memutus permohonan banding ini dengan berpedoman pada peraturan yang benar,” ujarnya.

ads

Hutapea menyatakan, upaya banding tersebut berdasarkan keyakinan bahwa PTUN Jayapura sebagai judex facti tingkat pertama telah salah menerapkan hukum, misalnya tentang batas waktu gugatan, aspek prosedur dan substansi perkara pasca Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup.

Baca Juga:  Media Sangat Penting, Beginilah Tembakan Pertama Asosiasi Wartawan Papua

“Tidak mempertimbangkan fakta hukum bahwa prosedur pengumuman objek sengketa bertentangan dengan pasal 50 ayat 3 peraturan pemerintah nomor 22 tahun 2021 dan kesalahan dalam memberi pertimbangan terkait partisipasi publik,” jelas Tigor.

Lanjut Tigor, sesuai kerangka asas umum pemerintahan yang baik, hakim PTUN Jayapura luput menganalisis fakta bahwa objek sengketa juga bertentangan asas kearifan lokal, asas kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, kehati-hatian, ekoregion, keanekaragaman hayati, asas tertib penyelenggara negara, asas kehati-hatian, asas keadilan, serta asas kemanfaatan.

Emanuel Gobay, salah satu tim kuasa hukum, juga menyatakan, putusan tersebut tanpa mempertimbangkan fakta hukum penolakan dari pimpinan marga Woro.

“Putusan tersebut jelas-jelas melanggar hak masyarakat adat yang dijamin Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua yang dilakukan dengan cara menggunakan surat LMA dan mengabaikan fakta hukum penolakan yang dilakukan oleh pimpinan marga Woro,” kata Emanuel.

Baca Juga:  PWI Pusat Awali Pra UKW, 30 Wartawan di Papua Tengah Siap Mengikuti UKW

Dengan dasar itu, Gobay berharap, melalui upaya banding majelis hakim pemeriksa di PTTUN Manado nantinya dapat menegakkan hak masyarakat adat Papua melalui putusan yang berprinsip pada dasar perlindungan hak masyarakat adat demi memberikan kepastian hukum bagi penerus marga Woro yang akan mewarisi hak atas tanah dan hutan di atas wilayah adat marga Woro.

Asep Komarudin, aktivis Greenpeace Indonesia dan anggota tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, menyebut penting bagi publik untuk mengawal perkara ini bersama-sama dan Mahkamah Agung karena perkara tersebut bukan hanya permasalahan administratif belaka, tetapi ada hak masyarakat adat yang dirampas dan bahkan tidak diakui keberadaannya.

“Dikarenakan ada potensi dampak terhadap iklim jika perusahaan melakukan pembukaan lahan yang akan melepaskan setidaknya 23 juta ton CO2. Ini bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim,” ujar Komarudin.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

Bersamaan dengan pengajuan banding dari Hendrikus Woro, kata Asep, dua penggugat intervensi yakni Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Walhi Eksekutif Nasional juga mengajukan banding atas putusan PTUN Jayapura dengan nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR yang telah mengabaikan prinsip in dubio pro natura, yang bermakna jika hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya, demi kelanjutan hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Papua.

Diwartakan media ini sebelumnya, majelis hakim PTUN Jayapura yang dipimpin hakim ketua Merna Cinthia didampingi hakim anggota Donny Poja dan Ratna Jaya, membacakan amar putusan menolak gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim tersebut pada Kamis (2/11/2023) lalu.

Gugatan tersebut diadvokasi Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, diantaranya Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Eknas Walhi, Walhi Papua, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia, PILNet Indonesia, Satya Bumi, dan LBH Papua. []

Artikel sebelumnyaUsia Kabupaten Fakfak 123 Tahun, SDM Semakin Terabaikan
Artikel berikutnyaOknum Todat dan LMA Diwarning Tak Korbankan Masyarakat Adat Moi Salkma