JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Corry Ap-Bukorpioper (70), istri almarhum Arnold Clemens Ap, dari Belanda, ikut menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pemerhati budaya Papua di Jayapura dan dimana pun pada tiap tahun peringati kematian personil group musik Mambesak.
“Terima kasih untuk saudara-saudara di tanah air yang hari ini sudah bisa mengenang bapak, suami (almarhum Arnold C Ap) dan ade Eduard Mofu. Mereka tidak meninggal untuk keluarga Ap dan Mofu saja. Melainkan mereka meninggal untuk semua rakyat bangsa Papua yang sampai hari ini masih hidup dan berjuang,” kata istri almarhum lewat video pendek yang diunggah di akun youtube milik Oridek Ap (klik di sini).
Ucapan terima kasih dan pesan dari keluarga disampaikan pada peringatan meninggalnya Arnold C. Ap dan Eduard Mofu yang ke-33.
Di Jayapura, peringatan hari kematian budayawan Papua ini diadakan di Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih, Rabu kemarin.
Dari Den Haag, Belanda, Mama Corry berpesan, “Saudara-saudara memperjuangkan terus karena kami juga ingat semangat dan spirit Arnold Ap (Mambesak) tinggal bersama saudara-saudara. Sekarang dan waktu yang akan datang. Sekali lagi ini yang bisa kami sampaikan.”
“Kami tidak sumbang apa-apa untuk saudara-saudara. Tetapi kami akan berdoa untuk saudara-saudara agar Tuhan kasih kekuatan dan umur panjang,” ucap Mama Corry.
Oridek Ap, putra pertama almarhum turut memberikan ucapan dan semangat kepada generasai muda Papua yang hingg kini masih terus merawat ingatan dan melawan lupa.
“Saya juga sampaikan kepada semua yang telah menyempatkan waktu untuk mengingat Kamam (ayah) almarhum Arnold Ap dan Kamam Eduard Mofu yang telah meninggal 33 tahun lalu. Kami di sini merasa bangga, sebab kawan-kawan semua masih ingat bapak dan kami percaya semua perjuangan bapak masih hidup sampai saat ini,” tutur Oridek.
Ia yakin bahwa Arnold Ap bisa mempersatukan semua suku lewat lagu dan tidak ada jurang pemisah antara orang Papua itu karena budaya dan hanya ada satu yaitu Tanah Papua.
“Bukan bapak saja yang dibunuh karena tanah ini, namun banyak juga orang Papua yang dibunuh karena tanah ini. Bapak akan hidup bersama kalian semua,” pesan putra sulung.
Arnold Ap lahir di pulau Numfor, Biak, 1 Juli 1945. Ia meninggal dunia pada tanggal 26 April 1984. Kepergiannya masih misteri sampai saat ini. Ia adalah tokoh seniman Papua di era 70-an sampai 80-an.
Dari berbagai kesaksian, Arnold dibunuh militer lantaran kian populernya Mambesak, grup musik budaya Papua. Melaluinya ia bersama teman-teman kala itu mengangkat spirit orang Papua dengan nyanyian atau lagu pemersatu rakyat Papua.
Menurut catatan sejarah yang dimiliki Yan Christian Warinussy, beberapa hari sebelum ditemukan tak bernyawa, Arnold berada di penjara Jayapura, tempat ia ditahan sejak 30 November 1983.
“Arnold Ap bersama rekan-rekannya sedang menjalani status sebagai tahanan di Markas Polda Papua di Jalan Koti, APO Jayapura karena sesuatu tuduhan hukum. Tetapi entah bagaimana caranya, Arnold Ap yang juga saat itu sebagai Kurator Museum Antropologi Universitas Cenderawasih, bisa dibawa keluar dari ruang tahanan hingga menemui ajalnya di Pantai Base-G.”
Musisi legendaris tradisional Papua ini diduga keras dianiaya bahkan dibunuh secara kilat oleh sekelompok aparat keamanan di pantai Base-G Jayapura, Papua. Kopassandha (kini, Kopassus), diduga kuat terlibat dalam kasus tersebut.
“Di tubuhnya kala itu terdapat beberapa luka yang diduga keras bekas penganiayaan dan bekas tembakan senjata api, Arnold tewas bersimbah darah dan ditemukan di Pantai Base-G, kemudian jenazahnya sempat dilarikan ke Rumah Sakit TNI AD Aryoko, Kloofkamp, Jayapura, untuk dibersihkan dan kemudian diantar untuk disemayamkan di rumah kediamannya di depan Kampus Uncen, Abepura, Jayapura.”
Arnold Ap dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Abepura. Bekas rumahnya sebuah Kingstreen (rumah dari seng aluminium tebal buatan Jerman) di tepi Jalan Raya Abepura-Padang Bulan, ada hingga kini.
Mendiang meninggalkan 4 anak laki-laki: Oridek (42), Mambri (41), Erisam (34), Mansorak (32). Bersama mama Corry Ap-Bukorpioper (70) mereka tinggal di Belanda sejak peristiwa pembunuhan tersebut. Mereka terpaksa harus mengungsi dan hingga kini bertahan di negeri pengasingan.
Pewarta: Harun Rumbarar