Pengacara Spesialis HAM di Papua Semakin Sedikit

0
2352

MANOKWARI, SUARAPAPUA.com — Lulusan perguruan tinggi di bidang hukum yang memiliki sertifikat dan ijin beracara dan memenuhi syarat sesuai Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat di Tanah Papua dinilai semakin berkurang. Khususnya pengacara yang memiliki pengetahuan tentang instrumen hukum HAM secara spesifik bisa dihitung dengan jari.

Hal ini berbanding terbalik dengan fakta akan terus meningkatnya rentetan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Direktur Lembaga Studi Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, Ferdinand Marisan pada Mei 2016 lalu telah mengakui telah ada ratusan kasus pelanggaran HAM yang belum ditangani.

“Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Sejak ELSHAM ini berdiri pada 5 Mei 1998 hingga sekarang, kami telah mencatat ratusan dugaan kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Namun dari ratusan pelanggaran HAM tersebut, kami petakan, ada sekitar 13 kasus pelanggaran HAM berat dan dari 13 kasus tersebut, hanya satu kasus yang berhasil didorong ke pengadilan HAM di Makassar,” jelas Marisan dilansir tabloidjubi.com edisi 6 Mei 2016.

Baca Juga:  Komnas HAM RI Didesak Selidiki Kasus Penyiksaan Warga Sipil Papua di Puncak

Fenomena ini tentu saja merupakan sebuah ketimpangan dan memprihatinkan. Seorang pemerhati hukum dan HAM di Tanah Papua, Yosef Rumaseb mengeluhkan hal ini.

Menurutnya, pada masa Orde Baru, banyak advokat spesialis HAM dari Tanah Papua yang karyanya bersinar. Misalnya, Yohanis G. Bonay (John Bonay) mantan Direktur ELSHAM Papua, Latifah Anum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) yang menerima penghargaan hak asasi manusia dari “The Gwangju Human Rigths Award 2015” yang berkedudukan di Korea Selatan dan Yan Christ Warinussy dari Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH), peraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Kanada Tahun 2005.

ads

“Masih ada pengacara spesialis HAM yang konsisten bertahan, tetapi jumlahnya makin sedikit. Dan makin ke sini, jumlah pengacara spesialis HAM makin berkurang. Beberapa lembaga advokasi HAM malah nihil pengacara. Komnas HAM Perwakilan Maluku dan Papua pun sepertinya tidak didukung oleh advokat profesional spesialis HAM,” jelas Rumaseb melalui pernyataan tertulisnya.

Baca Juga:  Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan

Semakin sedikitnya advokat spesialis HAM di Tanah Papua seolah dipercepat dengan meninggalnya Olga Helena Hamadi (34 tahun) di Jayapura, Kamis (28/7/2016). Tabloidjubi.com mencatat Olga Helena Hamadi sebagai Advokat HAM pemberani, yang ikut mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua.

Menurut Rumaseb, ada tiga solusi yang bisa ditempuh. Pertama, perlu pengkaderan. Hal ini diuntungkan dengan fakta bahwa Papua memiliki banyak mahasiswa jurusan hukum yang menunjukan simpati dan empati dengan berbagai cara terhadap berbagai persoalan di Tanah Papua dan melakukan advokasi. Beberapa diantaranya ditahan aparat, disiksa atau bahkan dibunuh.

“Masalahnya kemudian, adakah program pengkaderan itu? Adakah sosialisasi yang cukup mengenai perlunya profesi ini? Kerja sama di antara lembaga pendidikan tinggi, Komnas HAM Papua, Lembaga Bantuan Hukum dan promosi HAM serta pelaksana sertifikasi pengacara dan lembaga pelaksana kursus pengacara spesialis HAM perlu digagas dan diselenggarakan,” tulis Rumaseb lagi.

Baca Juga:  PGGY Kebumikan Dua Jasad Pasca Ditembak Satgas ODC di Dekai

Kedua, dunia usaha yang reputasinya dipengaruhi oleh performancenya di bidang HAM sebaiknya melakukan investasi sosial dengan memperkuat pengembangan SDM untuk advokasi persoalan HAM di Tanah Papua.

Ketiga, Pemda dari level provinsi dan terutama di level kabupaten, menurut Rumaseb, sebaiknya menyadari bahwa terbitnya UU Otsus yang secara hukum memayungi kucuran dana Otsus ke Papua dilatarbelakangi adanya pelanggaran HAM di Tanah Papua. Hal ini didukung oleh fakta bahwa kabupaten/kota mendapatkan 80% dana Otsus saat ini.

“Tidak sedikit nyawa dan darah anak Papua yang jadi korban pelanggaran HAM yang menjadi penyebab adanya UU dan Dana Otsus yang dikelola Pemda saat ini. Oleh karena itu, seyogyanya ada komitmen untuk menggunakan dana itu juga untuk mengatasi masalah HAM di Tanah Papua. Komitmen untuk membantu program pendidikan dan pelatihan di bidang hukum untuk menghasilkan pengacara spesialis HAM adalah salah satu langkah penting,” jelas Rumaseb.

 

Pewarta: Bastian Tebai

Artikel sebelumnyaMenemukan Landasan Penjajahan Atas Papua
Artikel berikutnyaRedupnya Sinar Pengacara Spesialis HAM di Papua