Pernyataan HIPMAPAS Semarang Terkait KLB Asmat

0
2447

Laporan tabloidjubi.com (media paling terkemuka di Papua saat ini) pada 25 Januari 2018 menulis, ada 69 bayi di Asmat meninggal dalam sebulan terakhir. Media terkemuka di Indonesia, KOMPAS, adalah yang pertama meliput dan memberitakan Kejadian Luar Biasa (KLB) Asmat ini selama tiga hari berturut-turut di halaman depan.

Bila dilihat ke belakang, KLB Asmat bukan peristiwa serupa yang pertama. Berdasar pada pemberitaan Tabloid Jubi, ternyata kematian bayi, balita dan anak Papua asli telah dimulai sejak 2003, dua tahun setelah paket Otonomi Khusus (Otsus) diberlakukan. Antara kurun waktu 2015-2018 misalnya, ada 2.044 anak Papua asli meninggal dalam insiden serupa KLB Asmat, dengan rincian: Kabupaten Lani Jaya 37 anak, Kabupaten Deiyai 250 anak, Kabupaten Jayawijaya 1.716 anak, Kabupaten Yahukimo 48 anak, Kabupaten Nduga 101 anak, Kabupaten Asmat (yang mengemuka dan jadi sorotan karena diberitakan KOMPAS) 69 anak, terakhir di Kabupaten Pegunungan Bintang di bulan Januari 2018, 23 anak meninggal.

Data statistik dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua pada 2016 lalu menunjukan, di era Otsus, angka kematian anak Papua malah makin meningkat. Dinkes menyebut, sejak Otsus, rata-rata ada 2.300 anak Papua asli (OAP) meninggal setiap tahun.

Dinkes juga memberi data, di tahun 2013, ada 2.379 anak Papua asli yang meninggal. Tahun 2014 meningkat menjadi 2.674 anak meninggal. Tahun 2015 menjadi 2.765 anak meninggal. Menurut Dinkes, di tahun 2007, dari 1.000 anak Papua asli yang lahir selamat, 64 diantaranya meninggal.

Angka ini meningkat pesat. Di tahun 2012 misalnya, dari 1.000 anak Papua asli yang lahir selamat, 115 anak diantaranya meninggal.

ads

Tentu saja data dari Dinkes yan adalah lembaga resmi negara di atas itu tidak bisa diandalkan atau dianggap kredibel, antara lain karena status politik Papua yang hingga hari ini bermasalah dan isu depopulasi OAP dan genosida menjadi dua isu yang sensitif. Diperkirakan, data sebenarnya lebih parah dari yang dilaporkan Dinkes.

Pendatang di Papua yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua tahun 2016, berjumlah 52% (Orang Asli Papua/OAP 48%) tinggalnya di pusat-pusat kota yang notabene layanan pendidikan, kesehatan dan akses atas layanan pemerintah lainnya terjamin itu terhindar dari KLB. Belum ada satu anak pendatang yang terdata jadi korban KLB sejak tahun 2003 di Papua.

Selain karena KLB, fenomena depopulasi OAP didukung oleh tingginya angka Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Papua paling tinggi di Indonesia yang epideminya seperti fenomena gunung es.

Penyebab KLB dan Penanganannya

Baca Juga:  Pemkab Yahukimo dan PGGJ Diminta Perhatikan Keamanan Warga Sipil

Alasan-alasan klasik selalu digunakan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten untuk menjelaskan penyebab KLB terjadi, sejak tahun 2003. Beberapa alasan yang selalu disebut adalah malnutrisi/gizi buruk, campak, kolera dan diare. Dinkes Provinsi Papua bahkan berani menyebut KLB diakibatkan penyakit misterius.

Masyarakat yang mengalami KLB ketika diwawancarai menyebutkan hal itu menimpa mereka karena gangguan suanggi/spok/setan dan kutukan Tuhan.

Sejak tahun 2003, dari data KLB yang ada, pemerintah pusat menggunakan dalih pelimpahan wewenang dan alokasi dana dalam paket Otsus sebagai sarana menyematkan beban dan tanggungjawab atas KLB pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Papua. Sementara Dinkes Provinsi Papua dan tingkat kabupaten/kota menyalahkan alokasi dana di dinasnya yang dianggap kurang, faktor medan/alam/geografis yang sulit dijangkau, keterbatasan infrastruktur dan distribusi sarana-prasarana kesehatan yang terpusat di kota-kota besar seperti Jayapura, Sorong dan Manokwari.

KLB di Asmat dan Deiyai adalah yang sempat diberitakan di media Nasional di Jakarta. Lalu beberapa KLB lain misal di Merauke, Boven Digoel, Intan Jaya, Lanny Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Korowai, dan Nduga cenderung luput atau tidak diberitakan, sehingga tidak diketahui publik. Akses jurnalis ke Papua yang cenderung dibatasi, wartawan yang harus dikawal anggota TNI/Polri dengan alasan keamanan, dan pembatasan fisik-psikis lainnya adalah penyebab mengapa rentetan KLB tidak diketahui publik dan menjadi elegi bisu bangsa Papua di atas tanah emasnya.

Untuk KLB Asmat, seperti yang dilakukannya sejak tahun 2003 lalu, Pemerintah Pusat, melalui instansi terkait seperti Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi menerjunkan tim ke lokasi KLB, memberikan bantuan makanan, pakaian, obat-obatan, selimut, bantuan tenaga medis. Namun setelah beberapa bulan berselang dan kondisi membaik, semua bantuan dan perhatian berhenti dan tidak berlanjut.

Itulah alasan mengapa Kabupaten Nduga yang menderita KLB serupa tahun 2013 harus mengalaminya lagi di tahun 2016 dan pertengahan tahun 2017. Lanny Jaya dua kali dalam dua tahun mengalami KLB. Asmat sudah 2 kali, hanya saja yang terakhir ini diangkat KOMPAS dan jadi perhatian nasional.

Artinya, bagi OAP, tidak ada penanganan kesehatan yang intensif, berkelanjutan, sebagaimana definisi layanan kesehatan menurut PBB melalui WHO yakni meliputi akses, kualitas dan berkelanjutan.

Para Pemangku Kepentingan dalam Lingkaran KLB

Selama ini, dalam tiap kasus KLB serupa sejak 2003, para pemangku kepentingan yang mengemuka hanya OAP yang jadi korban dan pemerintah (Pusat dan daerah) dalam hal ini Dinkes sebagai yang bertanggungjawab. Lalu di kasus KLB Nduga dan Asmat, muncul aktor baru: TNI dan Polri yang bergerak cepat mendahului Dinkes terjun ke tempat KLB terjadi.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Di KLB Asmat awal tahun ini misalnya, TNI telah menerjunkan 259 personel. Mereka adalah anggota aktif TNI yang juga punya keahlian sebagai dokter, perawat dan petugas kesehatan. Hal ini sebenarnya sangat ditentang tokoh gereja dan pimpinan Jaringan Damai Papua (JDP), Pastor Neles Tebay, karena secara psikologis akan mengingatkan kembali OAP akan trauma kekerasan TNI semasa Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), walaupun, TNI dalam arti positif, ingin memperbaiki wajah pembunuh dan statusnya sebagai aktor utama pelanggar HAM terhadap OAP itu di hadapan OAP, rakyat Indonesia dan dunia melalui aksi tersebut.

Selain tiga aktor di atas, aktor paling berpengaruh yang selalu tersembunyi adalah para taipan AS, Indonesia, Cina, Korea dan Jepang yang berkepentingan atas kekayaan alam Papua untuk dieksploitasi demi keuntungan mereka dan pajak bagi negara dalam skema haluan ekonomi Indonesia hari ini yang neo-liberal.

KLB Asmat terjadi hari itu telah ditindaklanjuti oleh laporan lapangan dari TNI/Polri, ‘mengharuskan’ presiden Jokowi memanggil Gubernur Papua Lukas Enembe dan Bupati Asmat dan mendesak mereka agar penduduk Asmat direlokasi ke kota (biar kami lanjutkan: agar tanah Asmat yang saat ini dihuni oleh orang Asmat itu dikosongkan, lalu dipakai buat digali sumur minyak untuk merampok 15 miliar barel oil yang adalah cadangan minyak terbesar di Asia saat ini yang belum dieksploitasi walau kementrian ESDM telah memetakan dan melakukan penelitian geologi sejak tahun 2003).

KLB di Merauke, Boven Digoel, dan Asmat terkait erat dengan kerusakan hutan akibat aktivitas perusahaan sawit, penambangan emas, dan pengambilan kayu gelondongan. Akibatnya, air tercemar itulah yang dikonsumsi OAP. Habitus laut yang teracun itulah yang dikonsumsi OAP. Hutan yang terbabat itu bikin OAP sulit dapat daging buruan dan sagu, makanan pokok orang Merauke, Boven dan Asmat. Akibatnya mereka beralih makanan ke beras, sarden, Indomie, dan lain-lain yang dikelola dan dikendalikan oleh para taipan di Jakarta dalam satu jaringan distribusi produk berskala besar di Papua yang diragukan kualitasnya.

Lagipula semua itu bukan makanan asli orang Asmat. Fakta membuktikan, selama ribuan tahun sebelumnya, orang Papua telah hidup harmonis dengan alam dalam hubungan saling menguntungkan dan memberi kehidupan.

KLB di Intan Jaya, Lanny Jaya, Nduga, Tolikara, terkait erat dengan distribusi makanan kadaluarsa, minuman keras dan lem aibon, yang dijual dengan harga tinggi di sana oleh para taipan di Jakarta, Makassar, Manado, yang dengan kelebihan uangnya dapat gampang menyewa helikopter dan pesawat juga kapal dan kontainer-kontainer, membangun sentra-sentra gudang di kota-kota kabupaten di pegunungan, dan demi untung, mendistribusikannya ke setiap distrik-distrik terkecil melalui pedagang-pedagang biasa dengan harga tinggi tanpa peduli pada kualitas produk.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Fakta tahun lalu dimana satu pesawat Hercules milik TNI AD penuh minuman keras untuk dijual di Wamena yang didatangkan dari luar Papua oleh TNI yang digagalkan petugas bandar udara Wamena adalah bukti tak terbantahkan.

Sesungguhnya yang menjadi pemain inti dari KLB adalah permainan kepentingan para taipan ini demi keuntungan di Papua melalui investasinya dan pengamanan atas perkebunan sawit, penebangan kayu, bubur kayu, penambangan emas, perusahaan minyak bumi, dan distribusi produk-produk tadi yang sangat diragukan kualitasnya hingga ke tingkat kecamatan/distrik di pedalaman Papua. Semua kepentingan itu diamankan dengan baik oleh TNI/Polri karena mendapat persennya atas keuntungan, dan pemerintah yang memberi izin operasi (pusat dan daerah) tentu saja mendapat pajak untuk PAD.

Mahasiswa Papua se-Kota Semarang menghendaki, negara segera bertanggungjawab atas KLB Asmat dan fakta demografi di Papua yang menunjukkan OAP minoritas di tanahnya sendiri. Wujud pertanggungjawabannya adalah penanganan kesehatan secara menyeluruh untuk menghentikan arus kematian OAP, dengan membebaskan dari malaria, malnutrisi, campak, diare, bahkan HIV/AIDS.

Mahasiswa juga menuntut negara segera menghentikan aktivitas dan mencabut izin semua perusahaan baik yang lokal, berskala nasional dan trans nasional yang menghancurkan hutan sebagai gudang makanan bagi orang Papua, yang mencermarkan air dan habitusnya.

Mendesak segera hentikan pembangunan nasional yang malah menghancurkan ketahanan pangan lokal. Karena yang terjadi hari ini, pembangunan tol laut, infrastruktur jalan, jembatan dan BBM satu harga pada kenyataannya tidak menguntungkan rakyat Papua, tetapi menguntungkan para taipan China, Jepang, Korea, AS dan Indonesia yang berkepentingan mengeksploitasi Papua didukung penuh oleh kekuatan militer Indonesia (TNI/Polri) siap membunuh di Papua.

Mahasiswa mendesak semua pihak mendengar, memahami dan melihat Asmat dan Papua dengan sikap tidak sombong, tidak merasa diri superior dan lebih manusiawi dan tidak bikin diri tahu segalanya tentang Asmat dan Papua. Pertahankan dan kembangkan makanan asli orang Asmat dan usir semua korporasi di Papua yang merusak keharmonisan hidup alam dan manusia Papua yang terjalin selama ribuan tahun sebelum semua bangsa lain datang ke Papua.

Mahasiswa Papua ingin rakyat Papua tetap menjadi subjek yang menentukan arah dan kehidupannya ke depan, bahkan bila pilihan orang Papua adalah menentukan nasib sendiri sebagai jawaban atas semua persoalan di seantero tanah air Papua. ***

Artikel sebelumnyaSelamatkan Papua dari Korporasi dan Pembangunan Tidak Ekologis
Artikel berikutnyaBeberapa Program Prioritas Bupati Dumupa Wujudkan Visi Dogiyai Bahagia