Siapakah yang Sebenarnya Kolonial?

0
5862
adv
loading...

Oleh: Ibiroma Wamla)*

Apakah benar Papua Barat telah menjadi bagian Indonesia sejak sebelum Indonesia merdeka? Benarkan Papua Barat menjadi lebih baik ketika menjadi bagian Indonesia? – Tulisan ini adalah tanggapan dari artikel “Papua adalah Indonesia” yang dimuat di situs bersatoe.com pada 3 Mei 2016.

Semenjak Perang Dunia II berakhir, banyak bangsa yang merdeka setelah bangsa penjajah meninggalkan daerah jajahannya, termasuk Indonesia. Indonesia pernah menjadi daerah jajahan Portugis, Belanda, dan Jepang. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada 15 Agustus 1945 menyebabkan Jepang menjadi negara penjajah terakhir, yang meninggalkan Indonesia. Artikel ini mengulas dampak kehadiran Belanda, Jepang, dan Indonesia di Papua Barat.

Papua Barat Menurut Indonesia

Papua Barat pernah menjadi tempat persinggahan Belanda selama 64 tahun, sejak 1898 hingga 1962. Juga Jepang yang mendarat di Numbay (Jayapura) pada 19 April 1942. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 6 Juni 1944, Jepang meninggalkan Papua Barat. Jepang hengkang setelah kalah perang melawan Sekutu. Tidak ada banyak bukti tercatat yang menunjukkan perjuangan rakyat Papua melawan Belanda dan Jepang, sebagai wujud dari nasionalisme Indonesia.

ads

Ada beberapa gerakan kultus kargo atau mesianik yang dipergunakan dan diyakini —dalam catatan sejarah— pemerintah Indonesia sebagai wujud perjuangan orang Papua Barat melawan penjajahan Belanda. Dengan keyakinan ini, pemerintah Indonesia menulis bahwa perjuangan rakyat Papua Barat melawan Belanda dimulai sejak 1930, ketika Benteng Fort du Buis di Teluk Triton yang dibangun tanggal 24 Agustus 1828 di Kaimana diserbu masyarakat setempat. Penyerbuan itu kemudian diteruskan dengan Gerakan Reni pada 1931 di Kepulauan Raja Ampat yang dipimpin Wasyari Faidan. Juga Gerakan Kanon di Waigeo pada 1932 yang dipimpin oleh Tula dan Gerakan Warbesren pada 1933 di Batduta, di bawah pimpinan Warbesren.

Ketika 1935 terjadi tiga gerakan di tempat yang berbeda yaitu, gerakan Sen di Kayu Ijau, gerakan Manggarega di Teluk Arguni, dan gerakan Damo di Kentuk Gresi, Sentani. Selanjutnya, pada 1938 terjadi pula Gerakan Koreri di Biak yang di pimpin oleh Angganeta Manufandu yang diteruskan oleh Stevanus Simopiaref dan Boseren.

Ada juga gerakan Nyawomos di Pam (Sorong) 1941 dan Gerakan Simon di Jayapura pada 1940 hingga 1943. Gerakan Simon ini juga terjadi pada 1944 hingga 1946 di kampung Tablasufa dan Tablanusu, 75 km sebelah barat Jayapura.

Seterusnya, pada 1948 terjadi gerakan Kasyep di sekitar Kecamatan Nimboran dan Unurum Guay, 150 km sebelah barat Jayapura. Gerakan Kasyep ini berlangsung cukup lama. hingga sepuluh tahun.

Semua gerakan perjuangan itu sebenarnya bukanlah gerakan politis melawan Belanda sebagai penjajah. Gerakan ini sebenarnya lebih merupakan gerakan kultus kargo yang bersifat relijius. Sebuah perjuangan melawan Kekristenan karena benturan antara nilai-nilai agama Kristen dan budaya masyarakat Papua. Agama kristen ditampilkan sebagai agama orang kulit putih dengan tokoh “Mesias putih”. Mesias putih disembah di gedung-gedung gereja yang di bangun dalam bentuk asing, dan dimuliakan dengan lagu-lagu Eropa.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Saat itu dalam benak orang Papua, Mesias putih adalah jawaban atas semua persoalan. Namun akibat perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik terjadi begitu cepat di Papua Barat, Kekristenan dengan “Mesias Putih-nya” dianggap gagal memenuhi kebutuhan yang didambakan kelompok asli Papua Barat. Masyarakat belum juga memperoleh keselamatan, dirinya telah ditelanjangi konsep tradisional akan martabat manusia. Konsep tradisional mereka itu telah diganti dengan seri tradisi yang berbau asing.

Perjuangan, aktivis Papua Barat, seperti Marthin Indey, Silas Papare, Corinus Krey, Wattebossy (1945-1946) yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional adalah akibat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para tahanan politik Indonesia, yang diasingkan ke Digul (ex-Digulis). Sebagai misal, Bung Hatta, Sugoro dan Syahrir. Termasuk para tahanan politik di Serui, Dr Gerungan “GSJA” Sam Ratulangi, dan L Tobing. Perjuangan tokoh-tokoh Papua itu bukanlah suatu upaya yang didasari oleh sebuah pemahaman bahwa mereka telah dijajah Belanda dan berkepentingan membangun nasionalisme Papua Barat, melainkan karena pengaruh para “buangan” Indonesia.

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda pada 1949, Indonesia menyinggung keberadaan Papua Barat, namun sesungguhnya perjuangan Indonesia menguasai Papua Barat baru dimulai di Yogyakarta, 19 Desember 1961. Ketika itu Soekarno memaklumatkan Tri Komando Rakyat (Trikora). Namun jauh sebelum itu, saat BPUPKI mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta menolak penggabungan Papua Barat dengan Indonesia karena perbedaan ras dan budaya.

Juga tak beralasan jika sejarah Kerajaan Sriwijaya pada abad ke 7 dan sejarah Majapahit pada abad ke 14 dipakai sebagai dasar pendudukan Indonesia di Papua Barat. Dasar tersebut dengan sendirinya tidak berarti, saat sejarah kedua kerajaan tersebut dikaji.

Konon, para pedagang Cina yang kembali ke negaranya menghadiahkan burung indah (mungkin itu burung merak) yang di bawa dari kerajaan Sriwijaya kepada kaisarnya. Berdasarkan keterangan itu, Papua Barat dianggap merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya yang disebut dalam pelayaran Jongi (Hongi).

Kemudian Kerajaan Majapahit yang dalam buku Negarakertagama karangan Mpu Prapanca dalam salah satu bagiannya menyebutkan kata wwanin  dan Timur (Ikaɳ saka sanusanusa makhasar butun / bangawi, kunir ggaliyau mwan i salaya sumba solot / muar, muwah tikhan i wandan ambwan athawa maloko wwanin, ri seran i timur makadinin aneka nusatutur—pupuh 14  kitab Negarakertagama. Artinya; Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar, Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain (terjemahan Prof. Slamet Muljana).

Wwanin kemudain diartikan sebagai kata lain dari Onin sebuah daerah di Wilayah Bomberai. Tetapi sampai saat ini tidak diketahui dan belum ada bukti dan data sejarah tentang aktivitas Kerajaan Majapahit di Papua Barat. Sejarawan D.G.E. Hall, juga mengemukakan, bahwa dari bukti-bukti yang ada, negara Majapahit terbatas sampai Jawa Timur, Madura, dan Bali.

Demikian pula tidak terdapat bukti-bukti sejarah yang memperkuat bahwa Kesultanan Tidore di Maluku menguasai Papua Barat sebagai wakil dari Negeri Belanda berdasarkan Perjanjian antara Sultan Tidore dan Negeri Belanda tahun 1660.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Jepang, Belanda dan Indonesia

Jepang yang hanya sesaat di Papua Barat tak sempat berbuat banyak, begitu pula dengan sekutu yang telah mengalahkan Jepang. Tentang Jepang, walaupun masa “huninya” di Papua Barat singkat, tapi skala perilaku destruktif-nya sangat besar dan mengerikan. Perilaku serdadu Jepang menjadi catatan hitam bagi masyarakat asli Papua Barat.

Setelah Jepang angkat kaki dari Papua Barat, Belanda kembali membangun masyarakat dan daerah Papua Barat. Sekolah dan kursus-kursus kejuruan dibuka bagi pemuda Papua Barat sebagai persiapan menduduki instansi-instansi pemerintahan yang ada. Salah satu lembaga dari lembaga pendidikan yang didirikan adalah kursus kejuruan VTC (Vocational Trainning Centre) yang merupakan yang terbaik di Pasifik.

Pada 3 Juni 1959 dibuka dan diresmikan pemakaian rumah sakit umum pemerintah di Dok II Hollandia (Jayapura kini-Red) yang berkapasitas 360 buah tempat tidur. Dr Scragg, Kepala Dinas Kesehatan Papua New Guinea yang bersama tamu asing lain yang ikut menghadiri upacara peresmian, mengagumi kelengkapan fasilitas moderen di gedung-gedung rumah sakit itu. Ia memuji rumah sakit di Dok II ini sebagai satu-satunya rumah sakit termodern di seluruh Pasifik Selatan. Pernyataan tersebut dibenarkan oleh pengunjung asing lainnya pada saat itu dan pada tahun-tahun berikutnya.

Pada 1960, masyarakat dan daerah Papua terus dikembangkan Belanda ke segala bidang, termasuk mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Pada masa-masa itu, perekonomian stabil, harga barang murah dan di subsidi pemerintah Belanda. Semua kebutuhan pokok, sandang dan pangan bisa diperoleh dengan mudah. Jika di daerah-daerah lain di Indonesia belum ada roti dan keju yang bisa diperoleh dengan mudah, maka di Papua Barat justru sebaliknya.

Saat itu perekonomian Indonesia morat-marit. Tapi, masyarakat Papua Barat cukup makmur dari peninggalan Belanda. Kondisi tersebut berubah drastis ketika Papua Barat dianeksasi oleh Bung Karno (Presiden Sukarno). Harian Kompas edisi 29 Agustus-11 September 1968 di bawah judul, Memperkenalkan Irian Barat, memuat berita berikut:” Rakjat Irian Barat diperas sampai habis-habisan oleh petugas-petugas kita. Mereka berlagak seperti “saudara tua”, tapi tingkah lakunja persis gelandangan jang kelaparan. Sampai-sampai kaleng-kaleng bekas makanan milik rakjat diangkut ke Djawa. Dalam waktu jang singkat barang-barang kebutuhan pokok rakjat dirampok habis”.

Puluhan tahun sudah berlalu, Papua Barat dimasukkan dalam “kotak” dari Indonesia Raya, tapi selama kurun waktu ini, masyarakat Papua Barat tidak pernah merasakan kenyataan menjadi bagian dari Indonesia. Karena memang, semangat perjuangan kerajaan-kerajaan di Jawa dan daerah-daerah lain melawan Belanda, tidak pernah dirasakan rakyat Papua Barat. Begitu pula dengan deklarasi Sumpah Pemuda dan Kebangkitan Nasional yang melibatkan Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Borneo, dan Jong-jong lainnya. Dan tidak pernah ada Jong Papua Barat di sana.

Dalam masa pendudukan Indonesia di Papua Barat pun, justru banyak terjadi perlakuan diskriminatif dan pembantaian yang sudah terjadi sejak 1963. Saat mana Papua diakui secara sepihak oleh Indonesia melalui referendum rekayasa, Pepera, pada 1969 yang melibatkan Amerika Serikat.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Catatan merah atau sikap “saudara tua” pemerintah Indonesia terus berlangsung. Sekalipun kekuasaan Sukarno telah dirampas Soeharto yang diharapkan dapat membawa angin perubahan, ternyata angan itu hanya impian belaka. Kekejaman TNI —kaki tangan penguasa— masih saja berlangsung. Pembantaian masyarakat pedalaman Papua pada 1977 tak pernah diusut, rekayasa pembunuhan Arnold Ap didiamkan. Begitu pun Kasus Bintang Kejora pada 1998, dikubur. Papua Barat telah menjadi daerah security fee (untuk menjaga PT Freeport), training ground bagi TNI. Hal-hal tersebut tidak pernah terjadi pada masa-masa kekuasaan Belanda.

Dalam membangun Papua, pemerintah Indonesia juga tidak pernah bersungguh-sungguh. Kesulitan medan sering dijadikan dalih. Itulah yang menjadi sebab ketertinggalan pembangunan fisik Papua Barat dibanding daerah-daerah lainnya. Pengetahuan masyarakat Papua tentang bercocok tanam dihilangkan, tanah-tanah adat dirampas. Kasus Ohee di Kampung Harapan, Sentani adalah contoh dari sekian banyak kasus yang tak terselesaikan.

Juga pembangunan rumah sehat, sekitar tahun 80-an —yang tidak sesuai dengan adat dan budaya masyarakat— di sepanjang jalan antara Bokondini dan Kelila, Kabupaten Jayawijaya. Perumahan tersebut akhirnya rusak tak terpakai karena ditinggalkan penghuninya.

Dengan dalih masa panen petatas dan sagu lebih lama serta rendah kandungan karbohidratnya, pemerintah memasukkan tanaman padi. Penyeragaman makanan ini menyebabkan peralihan konsumsi masyarakat Papua Barat dari petatas dan sagu ke nasi. Akibatnya tercipta ketergantungan pada beras. Sehingga jangan heran bila ada generasi Papua Barat yang sudah tidak bisa makan petatas dan papeda.

Yang tidak lucu, sementara di Papua Barat orang disuruh makan nasi, di tempat-tempat lain pemerintah menyarankan penganekaragaman bahan pangan. Semisal roti yang bahan bakunya terbuat dari kasbi atau singkong. Ini merupakan sistem kolonialisme baru yang membuat masyarakat asli Papua Barat terus tergatung pada kepada Jakarta.

Praktek-praktek kolonialisme maupun pemecah belahan masyarakat (devide et impera) juga diterapkan di Papua Barat. Pemekaran Papua Barat menjadi tiga provinsi adalah salah satu yang terasa sangat dipaksakan. Pemerintah masih memandang masyarakat Papua sebagai masyarakat yang terbelakang, primitif, dan masih perlu dibudayakan (yang sering dirujuk para pejabat adalah masyarakat pedalaman Papua). Cara pandang ini juga yang menyebabkan Papua Barat selalu dianaktirikannya dalam setiap kebijakan Pemerintah Indonesia.

Selama puluhan tahun pendudukan Indonesia, konsep “pembangunan” yang tak tentu arah itu telah menciptakan ketergantungan dan perpecahan. Pembangunan oleh masyarakat asli Papua diartikan sebagai penjajahan model baru. Sebagian masyarakat Papua Barat telah kehilangan jati dirinya sebagai Bangsa.

Tulisan ini juga pernah dimuat di buku Tanah Papua di Garis Batas dan terbit pada 2016 lagi di bersatoe.com. Atas izin penulis, artikel ini dipublikasikan lagi di situs Suara Papua.

)* Penulis adalah Alumni pers mahasiswa Indonesia, dewan Kota Malang. Pelajar adat dan budaya Papua.

Artikel sebelumnyaPemerintah Tolikara Akan Utamakan Pembangunan Infrastruktur Sosial dan Fisik
Artikel berikutnyaProblematika Sosial di Kabupaten Dogiyai